Selasa, 30 Desember 2008

SELAMAT TAHUN BARU 1430 H & 2009 M

Puji syukur kepada Allah SWT yang masih memberikan nikmat sehat kepada saya.
Tidak terasa saat ini dan beberapa hari ke depan, tahun baru di 2 hitungan kalender jatuh secara hampir bersamaan. Banyak hal telah terjadi di tahun 2008 atau 1429 yang baru dan akan berlalu. Secara spritual maupun duniawi banyak kejadian yang menarik di tahun tersebut. Mudah-mudahan saja kebajikan di tahun yang baru dan akan berlalu tersebut lebih banyak dibandingkan kema'siatan. Amin.
Usia hampir memasuki 34, tentunya semakin sedikit waktu yang tersisa. Semoga dapat diisi dengan amal kebajikan.

Wish me luck brother / sister............

Selasa, 09 Desember 2008

Haul KH Muhadjirin Amsar Addary Ke-6

Minggu 30 November 2008, alhamdulillah pelaksanaan acara peringatan meninggalnya orangtua kami dapat berjalan dengan baik dan lancar. Musim hujan yang sudah mulai masuk di awal november setidaknya menambah pikiran yang tidak dapat dikalkulasikan secara matematik. Namun alhamdulillah acara tersebut dapat berlangsung tanpa guyuran hujan.
Jamaah yang hadir pada acara tersebut lebih dari 1000 orang yang terdiri dari para murid beliau dan juga masyarakat Bekasi dan sekitarnya.
Adapun acara Haul tersebut diisi dengan :
1.Pembacaan burdah oleh santri Annida Al Islamy, yaitu Suderajat, Mahfuz, dan Muadz.
2.Maulid Nabi oleh H.Lukman Hakim dan Narwi Subandi.
3. Pembacaan Al Qur'an oleh H.Zainudin Qosim
4.Penceramah utama oleh Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf dari Bukit Duri Tebet.
Mudah-mudahan acara tersebut memberikan "pencerahan" bagi kami semua, baik keluarga maupun mudrid beliau.Amin

Selasa, 18 November 2008

MA'HAD ANNIDA AL ISLAMY
MENGUNDANG SEGENAP KAUM MUSLIMIN
UNTUK HADIR DALAM ACARA
"HAUL VI SYEKH MUHAMMAD MUHADJIRIN AMSAR ADDARY ALLAH YARHAM"
YANG AKAN DILAKSANAKAN PADA :
HARI/TANGGAL : AHAD, 30 NOVEMBER 2008
WAKTU : PUKUL 8.30 S/D SELESAI
TEMPAT : PONDOK PESANTREN ANNIDA AL ISLAMY
JL.IR.H.JUANDA NO 124 A TELPON 8801394 BEKASI

Rabu, 22 Oktober 2008

Majelis Ta'lim Kaum Ibu

WAKAF

Pengertian wakaf
Wakaf menurut lughoh / bahasa mengandung arti menahan.
Wakaf menurut syara’ adalah menahan pokok / asal harta sehingga tidak diwariskan, atau dijual, dan tidak dapat dihibahkan, dan hasilnya diberikan kepada orang yang diberi wakaf atau hasil dan manfaatnya diberikan untuk kepentingan-kepentingan umum demi mencari keridhoan Allah SWT.

Dalil-dalil yang berkaitan dengan wakaf
Surat Ali Imran ayat 92 :
92. kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.
Dan Surat Al Baqarah ayat 261 dan 262 :
261. perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah[166] adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui.
262. orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

[166] Pengertian menafkahkan harta di jalan Allah meliputi belanja untuk kepentingan jihad, pembangunan perguruan, rumah sakit, usaha penyelidikan ilmiah dan lain-lain.


Hadits Rosululloh SAW :
Riwayat dari Ibnu Umar RA bahwasanya Umar RA memiliki sebidang tanah di daerah Khaibar, lalu Umar RA mendatangi Rosululloh sambil meminta petunjuk apa yang harus ia lakukan terhadap sebidang tanah tersebut. Rosululloh menjawab sambil memberikan petunjuknya : “ Jika kau mau maka kau dapat menahan pokok harta (tanah) tersebut dan kau shodaqoh kan hasilnya”. Kemudian Umar RA melakukan hal tersebut dan tidak ia pernah jual tanah tersebut, tidak pula dihibahkan, dan tidak pula diwariskan. Ia menshodaqohkan hasilnya untuk orang-orang fakir, kerabat keluarganya yang membutuhkan pertolongan, budak, orang yang berjuang di jalan Allah SWT, Ibnu sabil, dan orang-orang yang lemah. Tidak menjadi persoalan bagi orang yang mengelola untuk mengambil manfaat sekedarnya dari tanah wakaf namun tidak boleh untuk menyimpan hasil dari tanah wakaf secara berlebihan.(Hadits Riwayat Imam Bukhori)

Pihak-pihak yang terlibat dalam wakaf
1. Wakif yaitu orang mewakafkan
2. Nazhir yaitu orang yang mengelola wakaf.

Perbedaan pendapat dalam masalah wakaf
1. Menurut Imam Malik dan Imam Syafi’i : Barang yang sudah diwakafkan tidak boleh dijual sekalipun telah rusak atau roboh. Namun Imam Malik menambahkan jika pihak penguasa (pemerintah) berpendapat bahwa menjualnya dapat lebih bermanfaat/ maslahat maka boleh dijual dengan syarat harus diganti dengan objek yang semisal (sama).

2. Menurut Imam Ahmad bin Hambal : Pada prinsipnya barang yang telah diwakafkan tidak boleh dijual namun jika terbengkalai maka boleh dijual dan diganti dengan objek yang semisal (sama).

3. Ibnu Aqil : Wakaf adalah untuk selamanya namun ketika tidak memungkinkan mengekalkan pada bentuk aslinya maka kita dapat mengekalkan pada tujuannya yaitu mengambil manfaat secara terus menerus.

Dalil-dalil yang membolehkan menjual barang yang diwakafkan demi maslahat
1. Kahlifah Umar bin Khattab pernah mengganti lokasi masjid Kufah ke tempat lain dan lokasi bekas masjid dijadikan pasar kurma.
2. Pada masa Nabi masjid Nabawi dibangun dengan batu bata dan atapnya dari pelapah kurma, tiangnya dari batang pohon kurma. Lalu pada masa Abu Bakar tidak terjadi perubahan. Baru pada masa Umar bin Khattab, ia mengubahnya menjadi lebih luas dan mengganti tiangnya dari kayu. Lalu Utsman bin Affan menambah luasnya dan membangun temboknya dari batu yang diukir dan tiang batu dan atapnya dari kayu Sa’aj. (HR Bukhori).

Wakaf dengan uang
Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa pada tanggal 11 Mei 2002 / 28 Shafar 1423 H yang membolehkan wakaf tunai atau dengan uang. Dalilnya adalah pendapat Imam Syafi’i yang membolehkan wakaf uang, Imam Al Zuhri yang membolehkan wakaf uang sebagi modal usaha dan keuntungannya disalurkan pada maukuf alaih (orang yang membutuhkan).

Disampaikan oleh H.M.Aiz Muhadjirin pada pengajian hari Kamis, 24 Juli 2008.



Senin, 20 Oktober 2008

Nostalgia Catatan Kuliah 2003

PENGGUNAAN DOKTRIN STRICT LIABILITY DALAM KASUS TABRAKAN KERETA API DI PASAR MINGGU(SUATU TINJAUAN DALAM HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN)
Latar Belakang
Seringnya terjadi kecelakaan pada perkeretaapian di Indonesia mengindikasikan betapa kompleksnya persoalan manajemen di dalam PT. Kereta Api Indonesia. Keperihatinan akan hal itu senantiasa terucapkan oleh berbagai pihak, baik yang berkompeten mengomentari persoalan tersebut maupun tidak.. Kereta api (KA) sebagai angkutan massal yang selama ini dinilai cukup aman, ternyata belum memenuhi harapan masyarakat, ini terbukti dengan tingginya frekuensi kecelakaan KA sepanjang tahun 2002 tercatat 229 kasus (81 tewas), 2003 sebanyak 216 kasus 216 kasus (72 tewas), 2004 semester I tercatat 128 kasus, dan pada tahun 2005 ini tercatat 2 tabrakan KA terbesar, yaitu KA Fajar Utama dan KA Babaranjang di Bandar Lampung pada Mei lalu, yang menewaskan 7 orang penumpang.(Media Indonesia, 3 Juli 2005). Dan kejadian yang paling muta’akhir adalah tabrakan KA di Pasar Minggu beberapa hari yang lalu. Jumlah yang tergolong sangat tinggi dalam sejarah perkeretaapian dunia.Jumlah kecelakaan kereta api di Indonesia mungkin tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan volume perjalanan kereta api itu sendiri. Namun demikian bukan berarti jumlah yang sedikit tersebut hanya merenggut korban sedikit pula dalam setiap kecelakaan. Kecelakaan kereta api yang terjadi beberapa tahun terakhir yang cukup banyak menelan korban adalah kejadian tabrakan antara kereta api Empu Jaya dengan kereta api Gaya Baru Malam di stasiun Ketanggungan Barat, Brebes Jawa Tengah pada tanggal 25 Desember 2001 yang lalu. Musibah itu seakan melengkapi kecelakaan kereta api selama setahun terakhir. Sejak 19 Januari 2001 sampai 25 Desember 2001 telah terjadi 12 kali kecelakaan. Kecuali korban luka, nyawa yang lenyap di rel kereta api selama itu mencapai 133 jiwa. Dan selama 11 tahun terakhir sejak 1990 sampai 2001, kecelakaan kereta api ternyata tak kunjung surut walaupun sudah berkali-kali dijeritkan masyarakat kecil atau dikecam berbagai kalangan di media massa. (Gamma, Nomor 44-3,2002). Pada dekade tersebut, menurut catatan PT KAI, sudah terjadi 106 kali tabrakan antarkereta api dan 793 tabrakan dengan kendaraan di jalan raya. Selain itu, gerbong kereta yang anjok atau terguling sebanyak 984 kali, sementara kecelakaan akibat banjir dan longsor 144 kali. Sedangkan, kecelakaan yang disebabkan kejadian lain 300 kali. Dari total sejumlah kejadian selama 11 tahun terakhir itu sebanyak 965 jiwa penumpang tewas, sementara yang luka berat sejak 1995-2000 sudah 484 orang dan yang luka ringan sejak 1990-2001 sudah 1.911 orang. Selama 11 tahun itu total kecelakaan kereta api dengan berbagai sebab di negeri ini sangat mengenaskan: 2.327 kali. Bayangkan, setiap tahun terjadi 212 kecelakaan(Gamma, Nomor 44-3, 2002). Berarti tak tak sampai dua hari sekali pasti terjadi kecelakaan kereta api. Dari sini bisa ditafsirkan, kereta api di negeri ini ternyata bukan alat transportasi yang aman. Padahal, di dunia luar, kereta api dikenal sebagai alat angkut yang paling aman. Tapi di Indonesia kereta api bisa menakutkan.Kecelakaan demi kecelakaan KA yang terjadi di Indonesia pada kenyataannya kurang diiringi dengan pertanggungjawaban yang pantas, baik dari si pelaku maupun dari Pemerintah- dalam hal ini PT KAI dibawah Departemen Perhubungan- yang memiliki otoritas. Derita konsumen selaku korban sering dianggap sebagai suratan takdir Tuhan yang tidak perlu dipersoalkan. Padahal secara konteks perlindungan konsumen, hal tersebut harus mendapatkan perhatian yang lebih besar dari Pemerintah karena menyangkut kewajiban sebagai pemberi pelayanan jasa.Perhatian Pemerintah Indonesia terhadap perlindungan konsumen secara umum baru terlihat pada saat setelah reformasi terjadi. Lebih dari 54 tahun setelah bangsa Indonesia merdeka, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen lahir ( yang menurut sebagian pihak mengatakan akibat adanya desakan dari IMF ). Terlepas dari alasan tersebut, patut disayangkan lambannya respon Pemerintah di masa Orde Baru yang mengesampingkan akan perlunya perlindungan terhadap konsumen. Abdul Hakim Garuda Nusantara pun mengemukakan keheranannya mengapa persoalan perlindungan konsumen yang jelas menyangkut hajat hidup orang banyak kurang mendapatkan perhatian (Abdul Hakim Garuda Nusantara: 1988 ). Perubahan peta perpolitikan di Indonesia, tidak hanya terbatas kepada pergantian kepemimpinan nasional, namun lebih dari itu dengan lebih terakomodirnya hak-hak rakyat secara menyeluruh. Sekedar mengingatkan, di masa berlakunya GBHN beberapa tahun yang lalu dalam TAP MPR No. IV Tahun 1999 Tentang GBHN Bab IV hurup B angka 1 disebutkan : .Mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan dengan prinsip persaingan sehat dan memperhatikan pertumbuhan ekonomi, nilai-nilai keadilan, kepentingan sosial, kualitas hidup, pembangunan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan sehingga terjamin kesempatan yang sama dalam berusaha dan bekerja, perlindungan hak-hak konsumen, serta perlakuan yang adil bagi seluruh masyarakat.Dari sekian persoalan yang menyangkut perlindungan konsumen, ada beberapa hal yang senantiasa luput dari perhatian pembuat kebijakan, yakni tentang tanggung jawab yang harus dipikul akibat kelalaian atau kecerobohan. Secara teoritis ada beberapa jenis tanggung jawab, yakni tanggung jawab atas dasar kesalahan (based on fault / negligence), tanggung jawab atas dasar praduga ( presumption of liability ), tanggung jawab atas prinsip tanggung jawab mutlak ( strict / absolute liability ) . Dari ketiga jenis tanggung jawab tersebut maka yang paling berpihak kepada konsumen adalah jenis tanggung jawab ketiga, yakni tanggung jawab mutlak atau strict liability. Untuk memberlakukan prinsip strict liability tentunya diperlukan suatu perangkat peraturan perundang-undangan yang mendukung hal tersebut, apalagi jika menyangkut mengenai jasa pengangkutan seperti perkerataapian.Peraturan perundang-undangan mengenai KA telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 Tentang Perkeretaapian. Dalam hal pertanggungjawaban mengenai kecelakaan, undang-undang tersebut tidak mengatur secara khusus sehingga lebih cenderung untuk dialihkan kepada pasal 1365 KUH Perdata. Dengan pasal itu, konsumen, khususnya penumpang, harus membuktikan kelalaian atau kesalahan PT KAI untuk bisa mendapatkan ganti rugi dalam suatu kasus kecelakaan, keterlambatan perjalanan, dan lain-lain. Tentu sistem pembuktian kesalahan tersebut menyulitkan pihak konsumen yang rata-rata rakyat biasa. Sebab, bagi pemerintah pun pembuktian seperti itu tidaklah mudah.Lemahnya kedudukan konsumen KA telah membuat kurangnya perhatian dan tanggung jawab penyelenggara jasa angkutan tersebut sehingga pada akhirnya jasa perkeretaapian di Indonesia tidak pernah membaik dan yang paling dirugikan adalah konsumen KA yang harus selalu was-was akan terjadinya berbagai hal yang tidak diinginkan. Dari fenomena tersebut, mungkinkah kiranya dilakukan sebuah terobosan, baik secara kebijakan maupun implementasi di lapangan yang lebih memperhatikan kedudukan konsumen sebagai pihak yang memang wajib untuk dilindungi ?Strict Liability di PT KAIPelayanan umum ( public servis ) memang sarat dengan berbagai masalah, apalagi wilayah jangkauannya sendiri sangat luas meliputi sektor profit maupun non profit. Pembedaan pelayanan umum menjadi sektor profit dan non profit semata-mata didasarkan pada misi yang yang diemban instansi / institusi pelayanan umum tersebut. PT KAI merupakan salah satu pelayanan umum yang bersifat profit. Meskipun demikian, perusahaan negara seperti PT KAI sangat memberikan manfaat dan keuntungan bagi masyarakat banyak. Tujuannya lebih banyak diarahkan pada usaha memakmurkan rakyat (T.Mulya Lubis :1992 ).Konsep pertanggungjawaban di PT KAI yang selama ini memegang doktrin tanggung jawab atas kesalahan ( Based on fault / negligence ) telah mengakibatkan rendahnya rasa tanggung jawab para pihak yang terlibat, baik langsung maupun tidak langsung. Pertanggung jawaban dari sisi moril merupakan suatu hal yang sangat subjektif sifatnya, karena akan sangat tergantung dari masing-masing individu yang terlibat. Belum pernah terdengar bahwa pejabat setingkat menteri yang mengundurkan diri apabila terjadi kecelakaan yang menimbulkan banyak korban. Di sisi lain, pertanggungjawaban secara materil bagi para konsumen yang menjadi korban seharusnya mendapatkan porsi perhatian yang lebih besar, mengingat pertanggungjawaban inilah yang secara langsung dapat dinikmati oleh konsumen yang menjadi korban.Kesalahan yang selama ini dilemparkan pada masinis KA seharusnya saat ini sudah dapat dilakukan pengkajian ulang. Adalah sangat tidak adil jika setiap kecelakaan disebabkan karena kelalaian masinis. Dalam setiap kecelakaan kereta api, banyak faktor yang harus dikaji. Mulai dari masalah teknis, kelalaian manusia, kecilnya gaji masinis hingga buruknya manajemen kereta api. Dengan demikian kecelakaan kereta api seharusnya menjadi tanggungjawab manajemen PT Kereta Api Indonesia secara keseluruhan dan para pejabat tinggi lainnya yang membawahi. Namun selama ini sering dijadikan tumpuan, maka yang disalahkan hanyalah para pegawai rendahan seperti masinis, penjaga pintu kereta api, petugas sinyal dan lainnya. Jika demikian tentunya semboyan aman dan nyaman yang ditawarkan PT Kereta Api kepada masyarakat sebaiknya ditinjau kembali.Ada hal lain yang sebenarnya lebih merupakan inti persoalan dari setiap kecelakaan KA yang terjadi. PT KAI selama ini hanya melihat konsumen sebagai objek yang secara sadar memilih menggunakan angkutan umum KA. Dengan segala keterbatasan yang dimiliki oleh PT KAI persoalan keselamatan konsumen sebagai penumpang seringkali terabaikan. Keterbatasan yang ada pada prinsipnya disadari betul oleh setiap konsumen yang memilih KA, namun bukan berarti keselamatan mereka harus di nomor duakan atau bahkan diabaikan. Mekanisme perawatan dan pemeliharaan KA merupakan salah satu inti persoalan yang harus dicarikan solusinya, selain peningkatan pelayanan dan operasional. Ganti rugi yang selama ini diberikan kepada korban kecelakaan KA di Indonesia hanya berasal dari asuransi PT Jasa Raharja, sedangkan dari PT KAI sendiri sebagai pihak penyelenggara tidak memberikan ganti rugi apapun. Pada hal secara teoritis PT KAI harus mempertanggungjawabkan segala tindakan maupun akibat selama konsumen mempunyai hubungan. Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen pasal 19 disebutkan bahwa pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/ jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Selanjutnya ganti rugi tersebut dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/ atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/ atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bentuk ideal tersebut pada realitasnya tidak dapat dilaksanakan karena berbenturan dengan doktrin yang berlaku pada pertanggungjawaban PT KAI.Untuk lebih memperhatikan dan melindungi konsumen, mungkin sudah saatnya sekarang PT KAI merubah paradigma lama yang berkaitan dengan soal pertanggung jawaban. Dalam pasal 28 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 disebutkan bahwa(1) Badan penyelenggara bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pengguna jasa dan/atau pihak ketiga yang timbul dari penyelenggaraan pelayanan angkutan kereta api.(2) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diberikan dengan ketentuan:a. sumber kerugian berasal dari pelayanan angkutan dan harus dibuktikan adanya kelalaian petugas, atau pihak lain yang dipekerjakan oleh badan penyelenggara;b. besarnya ganti rugi dibatasi sejumlah maksimum asuransi yang ditutup oleh badan penyelenggara dalam hal penyelenggaraan kegiatannya.Selanjutnya dalam pasal 43 disebutkan pula:(1) Terhadap setiap kecelakaan kereta api harus dilakukan penelitian sebab-sebabnya.(2) Penelitian kecelakaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan oleh Panitia yang pembentukan, susunan dan tugas-tugasnya diatur lebih lanjut oleh Menteri.Dalam pasal-pasal tersebut dinyatakan dengan jelas adanya kewajiban pembuktian yang harus dilakukan oleh para konsumen. Hal ini dalam kenyataan sangatlah tidak mungkin mengingat keterbatasan kemampuan yang dimiliki oleh para konsumen.Meskipun terbilang sulit dalam hal pembuktian atas terjadinya kecelakaan KA, namun upaya-upaya ke arah itu telah sering dilakukan oleh para korban dengan mengajukan gugatan class action. Contoh kasus adalah yang dilakukan oleh para korban kecelakaan KA Empu Jaya dan KA Gaya Baru Malam yang terjadi pada 25 Desember 2001 sekitar pukul 04.33 WIB, di Stasiun KA Ketanggungan Barat, Desa Ciampel Ketanggungan Barat, Kecamatan Kersana, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Pengajuan gugatan class action terhadap pihak-pihak yang dianggap bertanggung jawab atas terjadinya kecelakaan yang menewaskan sekitar 31 meninggal dunia, lima orang masuk ICU, 44 orang menjalani rawat inap, 20 orang menjalani rawat jalan, dan ratusan konsumen yang selamat perjalanannya tapi terlambat 10 jam sampai kota tujuan. Para penggugat menganggap tergugat PT KAI telah melakukan perbuatan melawan hukum yang melanggar azas kepatutan dan kehati-hatian. PT KAI memberhentikan kereta api sekaligus dalam satu stasiun yang hanya terdiri dari tiga sepur. Berdasarakn manajemen lalu lintas (traffic management) perkereta-apian yang baik hal tersebut sangat berbahaya karena dapat menimbulkan kecelakaan berupa tabrakan antarkereta. Gugatan tersebut tidak hanya terbatas pada PT KAI tetapi juga disampaikan pada tergugat Menteri Perhubungan yang dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum in casu pasal 75 PP No. 69 Tahun 1998 tentang Prasarana dan Sarana Kereta Api, yang di dalamnya menyebutkan bahwa Menteri melakukan pembinaan terhadap penyediaan, perawatan dan pengusahaan prasarana dan sarana kereta api melalui kegiatan pengaturan, pengawasan dan pengendalian. Hal itu untuk meningkatkan peran serta angkutan kereta api dalam keseluruhan armada transportasi secara terpadu. Sedangkan tergugat III Menneg BUMN dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum in casu pasal 1 ayat (1) PP No. 50 Tahun 1998 tentang pengalihan kedudukan, tugas, dan kewenangan Menteri Keuangan selaku pemegang saham atau rapat umum pemegang saham (RUPS) pada perusahaan perseroan (Persero) kepada Menteri Negara Pemberdayaan BUMN. Dalam pasal 1 ayat (1) PP tersebut menyebutkan bahwa kedudukan tugas dan kewenangan Menteri Keuangan yang mewakili pemerintah selaku pemegang saham atau rapat umum pemegang saham (RUPS) pada perusahaan perseroan (Persero), dialihkan kepada Menteri Negara Pemberdayaan BUMN. Selain itu tergugat Menteri Keuangan dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum in casu pasal 5 ayat (1) PP No. 3 Tahun 1983 tentang tatacara pembinaan dan pengawasan Perusahaan Jawatan, perusahaan umum, dan perusahaan perseroan, disebutkan pembinaan kekayaan negara yang tertanam dalam Persero dilakukan oleh Menkeu yang berkedudukan sebagai RUPS, dalam hal seluruh modal Persero adalah modal negara, dan sebagai pemegang saham dalam hal tidak seluruh modal Persero adalah modal negara.Berbagai kesulitan pembuktian yang harus dilakukan oleh para konsumen, walaupun telah diwakilkan, terkadang mementahkan segala macam penderitaan yang telah dialami oleh para korban. Hilangnya jiwa atau cacat tubuh seolah tidak mampu untuk dijadikan alat bukti untuk mendukung gugatan mereka dalam upaya mendapatkan ganti rugi yang layak. Dalam kenyataannya, berbagai gugatan class action terhadap suatu kecelakaan yang ditujukan kepada suatu institusi pemerintah maupun swasta sulit sekali mencapai hasil yang maksimal yang salah satunya disebabkan oleh lemahnya pembuktian kesalahan.Di lain pihak kemampuan untuk melakukan pembuktian pun sebenarnya bukanlah tugas yang mudah bagi Pemerintah. Berbagai macam kebobrokan perilaku para pejabat di PT KAI serta lemahnya pengawasan membuat penyelidikan atas sebuah kecelakaan seringkali didasarkan atas kesalahan si masinis atau pegawai rendahan lainnya, seperti penjaga kereta dan lainnya. Kesimpulan seperti ini tidak saja membebaskan para pejabat yang membuat kebijakan, tetapi juga mengaburkan pihak mana yang secara substansial harus bertanggung jawab. Pertanggungjawaban masinis secara pidana akibat “kesalahan” yang dituduhkannya memang dapat dilakukan. Tetapi pertanggung jawaban terhadap konsumen selaku korban kecelakaan KA juga harus jelas. Meskipun terbilang sulit dalam hal pembuktian atas terjadinya kecelakaan KA,Salah satu usulan yang sangat maju telah diusulkan oleh Prof. Endang Saefullah, dimana beliau mengatakan bahwa untuk memperbaiki kinerja serta manejemen PT KAI maka doktrin atau prinsip pertanggung jawabannya adalah mutlak atau strict liability. Untuk merubah doktrin tersebut tentunya diperlukan perangkat-perangkat lain yang mendukung terlaksananya doktrin strict liability dalam pertanggung jawaban PT KAI. Secara teoritis doktrin strict liability hanya dapat dikenakan pada pelaku usaha apabila terdapat cacat pada barang yang diproduksi oleh pelaku usaha tersebut. Dengan demikian ada keterbatasan-keterbatasan yang mempersulit berlakunya doktrin strict liability untuk diberlakukan pada pertanggung jawaban PT KAI. Persoalan yang mencuat adalah tiadanya kemampuan dari pihak konsumen untuk membuktikan adanya kesalahan atau kelalaian sehingga mengakibatkan pihak konsumen tidak berhak untuk mendapatkan ganti rugi yang layak, selain asuransi keselamatan dari PT Jasa Raharja. Keadaan seperti ini akan terus berlangsung selama prinsip pertanggungjawaban di PT KAI masih seperti sekarang, karena tidak adanya “alat” penekan yang membuat PT KAI menjadi lebih profesional dalam menyelenggarakan jasa angkutan darat tersebut. Di lain pihak kita juga melihat adanya perbedaan posisi yang sangat signifikan antara konsumen sebagai penumpang dibandingkan dengan posisi PT KAI sebagai penyelenggara jasa angkutan. Tidak adanya kesetaraan antara dua pihak tersebut sering menjadikan pihak konsumen tidak mempunyai pilihan lain, kecuali menggunakan alat angkutan KA yang memang relatif lebih murah. PT KAI sebagai pihak yang menyelenggarakan angkutan umum tersebut tentu saja dapat dikategorikan sebagai produsen. Dalam prinsip strict liability disebutkan bahwa pertanggungjawaban dapat bersifat mutlak apabila kerugian konsumen diakibatkan karena cacatnya suatu produk. Pertanyaan akan muncul bagaimanakah jika dikaitkan dengan pelayanan jasa ? Tentunya prinsip strict liability juga dapat diterapkan. “Keberpihakan” strict liability terhadap produk barang dan bukannya jasa secara umum dapat dipahami, karena secara luas produk baranglah yang lebih banyak atau sering menimbulkan persoalan. Namun demikian bukan berarti sama sekali tertutup kemungkinan diberlakukannya doktrin strict liability dalam hal jasa angkutan. Di Amerika Serikat dan Eropa pertanggungjawaban perusahaan kereta api telah menggunakan doktrin strict liability. ( Suara Merdeka:2001). Pelaksanaan doktrin tersebut sebenarnya lebih melihat kepada perusahaan KA sebagai pihak yang mengeluarkan sarana angkutan umum tersebut dan sudah menjadi kewajibannya pula untuk menanggung resiko yang mungkin muncul. Selain itu pula adanya sebuah asas umum yang berlaku bahwa angkutan yang dijadikan untuk melayani konsumen sudah melewati pemeriksaan yang menjamin bahwa sarana angkutan tersebut aman untuk dipergunakan sehingga apabila terjadi suatu hal, misalnya kecelakaan, maka menjadi kewajibannya untuk memberikan tanggungan atau ganti rugi. Disamping itu juga penerapan strict liability untuk layanan angkutan KA dapat didasarkan kepada analogi pemahaman Social Climate Theory, yaitu suatu pemahaman bahwa PT KAI adalah pihak yang berada dalam posisi keuangan lebih baik untuk menanggung beban kerugian, dan pada setiap kasus yang mengharuskan melakukan ganti rugi, pihak tersebut akan meneruskan kerugian tersebut dan membagi resiko kepada banyak pihak dengan cara menutup asuransi yang preminya dimasukan ke dalam perhitungan harga tiket. Hal ini dikenal dengan deep pocket theory. (D.L. Dann, Strict Liability in the USA, The Royal Aeronautical Society, London, 1972). Pelaksanaan doktrin strict liability sebenarnya memudahkan bagi kedua belah pihak , baik PT KAI maupun konsumen ( korban ), untuk mendapatkan ganti rugi. Tanpa harus memproses pembuktian kesalahan pihak penyelenggara jasa angkutan, ganti rugi dapat diterima oleh konsumen ketika angkutan yang dipakainya terlambat atau kecelakaan. Dengan mengambil contoh di negara-negara maju tersebut tentunya perlindungan terhadap konsumen pengguna pelayanan jasa angkutan kereta api menjadi lebih baik.Ada beberapa hal yang dapat dijadikan pertimbangan untuk memungkinkan dilaksanakannya doktrin strict liability pada PT KAI, antara lain adalah adanya kewajiban bagi para pelaku usaha, termasuk PT KAI, untuk bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan, sebagaimana dicantumkan dalam pasal 19 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Ketentuan ini sebenarnya dapat diinterpretasikan secara luas, termasuk kewajiban PT KAI sebagai penyelenggara angkutan kereta api di Indonesia untuk bertanggung jawab kepada para penumpang atau konsumen jika terjadi keterlambatan atau kecelakaan kereta api. Dengan begitu strict liability sebagai salah satu prinsip pertanggung jawaban dapat dilaksanakan. Adapun teknis pelaksanaannya dapat dengan cara mengalihkan resiko pertanggungjawaban kepada perusahaan reasuransi. Pola ini tentu saja memerlukan biaya. Oleh karena itu PT KAI harus dapat menyisihkan pemasukan yang berasal dari tiket yang dibeli oleh para konsumen untuk membayar premi reasuransi tersebut. Untuk itu, penanganan penumpang KA harus ditangani secara serius dan profesional. Bahkan kalau memang perlu harus diadakan audit keuangan secara berkala untuk memenuhi kewajiban membayar premi asuransi. Pola seperti inilah yang telah berlaku di Amerika dan Eropa dalam upaya memberikan perlindungan semaksimal mungkin bagi para konsumen. Tidak adanya penumpang “gelap” menjadikan seluruh penumpang memiliki tiket yang pada akhirnya dapat dijadikan sebagai bukti untuk mendapatkan ganti rugi.Untuk mendukung terlaksananya pola tersebut, maka langkah awal yang harus dilaksanakan adalah melakukan revisi atas peraturan mengenai perkeretaapian yakni Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 , khususnya tentang kewajiban untuk pembuktian kesalahan serta kebijakan mengenai ganti rugi bagi konsumen atau korban. Dasar hukum yang selama ini bersandar pada pasal 1365 KUH Perdata untuk mengajukan tuntutan ganti rugi harus sudah direvisi karena hanya kan menyulitkan penumpang dalam mengajukan tuntutan ganti rugi tersebut. Kemudian tindakan selanjutnya adalah memperbaiki sistem manejemen, operasional maupun pemeliharaan kereta api secara berkala sehingga perusahaan reasuransi merasa yakin akan hal tersebut. Usulan dilaksanakannya pemilihan direksi PT KAI melalui fit and proper test merupakan langkah maju dan positif dalam membenahi kinerja PT KAI. Selama ini terkesan KA merupakan alat angkutan massal yang pemeliharaannya sangat minim bahkan tidak terurus. Keterbatasan anggaran yang disediakan Pemerintah telah menjadikan KA sebagai angkutan yang di nomor duakan. Seharusnya, untuk menambah keyakinan perusahaan reasuransi, maka sistem pengamanan kereta api harus dibuat secara berlapis sehingga tidak hanya tergantung kepada seorang masinis.Pengajuan wacana di atas hendaknya lebih mengedepankan aspek perlindungan terhadap para korban kecelakaan KA yang kerap kali terjadi dibanding dengan pengertian strict liability secara kaku. Pengistilahan strict liability dapat dimaksudkan untuk menjelaskan kedudukan para pihak, yakni PT KAI dan penumpang sebagai konsumen, di dalam hubungan hukum yang mereka lakukan. Pertanggungjawaban akibat dari suatu kecelakaan adalah hal terpenting dalam suatu hubungan hukum. Hak untuk mendapatkan ganti rugi yang layak senantiasa menjadi inti persoalanPerhatian Pemerintah terhadap angkutan massal ini juga harus ditingkatkan. “Terabaikannya" KA menurut Djoko Setijowarno, seorang ahli perkeretaapian, bukan saja disebabkan oleh tiadanya kemauan pemerintah mengembangkan transportasi massal ini. Tetapi, dunia pendidikan pun seolah tidak melihatnya sebagai angkutan masa depan yang menguntungkan. Hal ini dapat dilihat dalam pendidikan transportasi pada jurusan teknik sipil yang 30 tahun terakhir menjadikan mata kuliah jalan raya, bukan kereta api sebagai pilihan utama. Selain itu pula Pemerintah kurang memanfaatkan jaringan KA untuk menghadapi persoalan transportasi. Apalagi melihat upaya mengatasi persoalan perhubungan darat selama ini lebih dilakukan dengan memperbanyak jaringan jalan raya yang dapat dipastikan semakin menghabiskan lahan pertanian. Pada akhirnya, pembangunan jalan raya itu dilihat sebagai suatu proses pemiskinan masyarakat yang bisa menimbulkan konflik sosial. Harapan adanya "Revolusi Mental" sebagai kiat privatisasi KA yang bakal menjadi kunci meningkatkan peran KA dalam sistem transportasi Indonesia. Sebagai salah satu contoh adalah Jepang yang sukses membangkitkan kembali per-KA-an mereka setelah pernah terpuruk seperti yang dialami PT KAI.(Kompas, 29 Mei 2002). Revolusi mental PT KAI harus dilaksanakan secara menyeluruh baik dari pejabat tinggi sampai pejabat rendahan di lingkungan PT KAI sehingga tidak hanya sebatas slogan belaka.PenutupSaat ini pengoperasian KA di Indonesia banyak hal yang harus menjadi perhatian Pemerintah di dalam upaya memperbaiki kinerja PT KAI maupun peningkatan perlindungan terhadap penumpang selaku konsumen yang memang wajib untuk mendapatkan perlindungan. Lemahnya pengawasan serta pemeliharaan angkutan massal tersebut tidak jarang justru mengakibatkan terjadinya kecelakaan yang memakan banyak korban.Wacana perubahan prinsip pertanggungjawaban dalam perkeretaapian di Indonesia merupakan suatu bentuk nyata keberpihakan terhadap penumpang KA yang selama ini selalu berada pada posisi yang tidak menguntungkan. Oleh karena itu menjadi tugas dan kewajiban Pemerintah untuk memikirkan dilaksanakannya doktrin strict liability. Perubahan prinsip pertanggungjawaban di dalam transportasi KA bukanlah sesuatu yang baru atau mengada-ada, karena di belahan dunia lain, yakni Amerika dan Eropa, doktrin strict liability telah dilaksanakan.
Daftar Pustaka
Dann, D.L, Strict Liability in the USA, The Royal Aeronautical Society, London, 1972.
Gamma, Tak Ada Jaminan Aman, Nomor 44-3, 6 Januari 2002
Ketetapan MPR-RI Nomor IV Tahun 1999 Tentang GBHN.
Lubis, T.Mulya, Hukum dan Ekonomi, Jakarta : Sinar Harapan, 1992.
Nusantara, Abdul Hakim Garuda, Politik Hukum Indonesia, Jakarta : YLBHI, 1988
Setijowarno, Djoko, Perlu Revolusi Mental PT KAI, Harian Kompas 29 Mei 2002.
Suara Merdeka, Direksi PT KAI Harus Lulus Tes, 30 Desember 2001.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 Tentang Perkeretaapian, lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 47.

Sabtu, 04 Oktober 2008

Khutbah Iedul Fitri 1429 H

KHUTBAH IDUL FITRI 1429 H
SHODAQOH SEBAGAI ALAT MEMPERERAT TALI SILATURRAHIM

Maa’syirol muslimin wal muslimat rohimakumulloh.
Pada hari yang berbahagia ini, yakni hari raya Idul Fitri, hari raya kemenangan bagi seluruh umat muslim, marilah bersama-sama kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT dengan memperbanyak membaca takbir, tahlil, dan tahmid. Melalui momentum hari raya lebaran ini marilah kita tingkatkan iman dan taqwa kita kepada Allah SWT dan Rosul-Nya.
Maa’syirol muslimin wal muslimat rohimakumulloh
Pada hari ini kita baru saja mengalami 2 momentum secara bersamaan. Momentum yang pertama adalah yang bersinggungan dengan kebahagian dan kegembiraan. Kegembiraan yang saat ini kita rasakan karena telah berhasil menunaikan salah satu perintah Allah SWT untuk berpuasa 1 bulan penuh di bulan Ramadhan yang baru saja kita tinggalkan. Dalam suasana yang gembira ini marilah kita sesama muslim saling membuka diri untuk saling memaafkan secara tulus dan ikhlas. Buanglah semua sifat dengki, hasud, syrik terhadap orang lain. Jadikanlah hari lebaran ini sebagai media untuk mempererat tali silaturrahim diantara sesama anggota keluarga, sesama warga sebangsa setanah air terutama saudara kita yang seiman. Pihak yang lebih tua mau mengasihi yang muda, dan yang muda pun mau menghormati orang yang lebih tua. Alangkah indahnya jika hal itu terwujud tidak hanya pada saat lebaran namun terus berlanjut di masa yang akan datang dan rangka menggapai keridhoan Allah SWT.
Allahuakbar 3x
Secara adat kebiasaan dalam rangka mempererat jalinan tali silaturrahim, pihak yang muda seyogyanya mendatangi pihak yang lebih tua. Namun demikian bukan berarti selamanya pihak yang tua selalu benar dan pihak yang muda selalu salah. Tidak selamanya atasan selalu benar dan bawahan selalun keliru dan tidak selamnya pula yang besar menang dan yang kecil kalah. Oleh karena itu janganlah kita jadikan perbedaan usia dan status atau kedudukan sebagai alat untuk melegitimasi kebenaran yang pada akhirnya hanya menjadi penghalang buat kita dalam mempererat silaturrahim itu sendiri.
Allah SWT berfirman dalam Surat Al A’rof ayat 199 :
É‹è{ uqøÿyèø9$# óßDù&ur Å$óãèø9$$Î/ óÚ̍ôãr&ur Ç`tã šúüÎ=Îg»pgø:$# ÇÊÒÒÈ
199. jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.

Dalam hadits nabi disebutkan : Wahai Abu Ayyub inginkah aku tunjukan satu amal yang diridhoi Allah dan rosul-Nya ? Jalinlah tali silaturrahim antara sesama manusia apabila mereka saling bermusuhan dan dekatkanlah antara mereka ketika mereka saling jauh.
Allahuakbar 3x
Hari kemenangan ini janganlah selalu kita identikan dengan pesta pora dan foya-foya. Marilah kita tingkatkan rasa keprihatinan kita terhadap saudara seiman kita yang mungkin saja merayakan lebaran kali ini dengan ketiadaan. Perbanyaklah sedekah dan amal jariah kepada kaum dhu’afa karena mereka memang membutuhkan. Dalam suasana Idul fitri ini tentunya kita semua tidak boleh lupa untuk mengeluarkan shodaqoh dalam arti zakat fitrah bagi mereka yang membutuhkan yang batas akhirnya telah kita lewati manakala imam telah masuk ke mihrab untuk melaksanakan sholat Ied. Selain zakat fitrah yang wajib kita keluarkan untuk setiap jiwa yang hidup, kita juga tidak boleh melupakan shodaqoh atau amal jariyah yang sunnah. Karena beramal jariyah merupakan salah satu cara yang efektif guna meningkatkan tali silaturrahim.
Allahuakbar 3x
Amal ibadah shodaqoh adalah suatu amalan yang sedikit berbeda dengan amalan ibadah lainnya seperti sholat, puasa maupun haji. Apabila ke 3 jenis ibadah tersebut terfokus kepada “hablumminalaah” maka shodaqoh cakupannya lebih luas karena berhubungan dengan sesama manusia. Allah SWT berfirman dalam surat Al Baqoroh ayat 254 :
$yg•ƒr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä (#qà)ÏÿRr& $£JÏB Nä3»oYø%y—u‘ `ÏiB È@ö7s% br& u’ÎAù'tƒ ×Pöqtƒ žw ÓìøŠt/ ÏmŠÏù Ÿwur ×'©#äz Ÿwur ×pyè»xÿx© 3 tbrãÏÿ»s3ø9$#ur ãNèd tbqãKÎ=»©à9$# ÇËÎÍÈ
254. Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi syafa'at[160]. dan orang-orang kafir Itulah orang-orang yang zalim.
[160] Syafa'at: usaha perantaraan dalam memberikan sesuatu manfaat bagi orang lain atau mengelakkan sesuatu mudharat bagi orang lain. syafa'at yang tidak diterima di sisi Allah adalah syafa'at bagi orang-orang kafir.

Allahuakbar 3x
Ma’asyirol muslimin wal muslimat...
Pada sebagian masyarakat terjadi kesalahan pemahaman dimana ada anggapan amal jariah atau shodaqoh hanya diperintahkan bagi orang-orang kaya saja. Pemahaman ini keliru karena pada prinsipnya beramal jariyah atau bershodaqoh itu dapat dilakukan oleh siapa pun tanpa melihat kaya atau miskin. Shodaqoh atau amal jariyah dalam konteks sunnah berbeda dengan zakat yang memiliki persyaratan adanya haul dan nishob. Marilah kita simak salah satu hadits Rosululloh yang diriwatkan oleh Bukhori Muslim yang berbunyi :



Takutlah kamu kepada api neraka walaupun hanya dengan sebiji buah kurma.
Dari hadits tersebut jelas kita fahami bahwa dengan membiasakan beshodaqoh atau beramal jariyah maka kita akan terhindar dari panasnya api neraka. Selain itu pula akan gugurlah anggapan bahwa shodaqoh atau amal jariyah hanya diperintahkan kepada orang-orang kaya saja. Bagi kita yang masih hidup serba pas-pas an janganlah pernah berfikir bahwa harta yang shodaqohkan akan membuat kita tambah susah. Ingatlah janji Allah SWT yang pasti benar di dalam sura Saba’ ayat 39 yang berbunyi :
ö@è% ¨bÎ) ’În1u‘ äÝÝ¡ö6tƒ s-ø—Îh9$# `yJÏ9 âä!$t±o„ ô`ÏB ¾ÍnÏŠ$t7Ïã â‘ωø)tƒur ¼çms9 4 !$tBur OçFø)xÿRr& `ÏiB &äóÓx« uqßgsù ¼çmàÿÎ=øƒä† ( uqèdur çŽöyz šúüÏ%Ηº§9$# ÇÌÒÈ
39. Katakanlah: "Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi (siapa yang dikehendaki-Nya)". dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, Maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah pemberi rezki yang sebaik-baiknya.

Allahuakbar 3x
Ma’asyirol muslimin wal muslimat..
Sifat bakhil atau pelit adalah sifat yang pasti dimiliki oleh semua manusia. Walaupun demikian bukan berarti sifat bakhil itu diterima serta dibenarkan dalam ajaran Islam. Ingatlah sabda kanjeng nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi :













Berdasarkan hadits tersebut jelas bahwa orang yang dermawan senantiasa dekat kepada Allah SWT dan disenangi oleh sesama manusia.
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam persoalan shodaqoh atau amal jariyah adalah waktu dan sasaran yang tepat. Berkaitan dengan waktu yang tepat marilah kita simak hadits nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori yang artinya : “Bershodaqohlah kamu di kala kamu sehat dan memiliki sifat pelit, dan takut miskin serta masih berharap kaya. Janganlah kamu tunda sampai ajal sudah sampai di tenggorokan baru mau bershodaqoh untuk orang lain.”
Adapun berkaitan dengan sasaran yang tepat, rosululloh pun telah memberikan panduan kepada kita sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Thabrani dan Abu Daud :



“Sepaling utama shodaqoh adalah yang diberikan kepada anggota keluarga yang memusuhi kita”.
Marilah bersama-sama kita bershodaqoh baik untuk orang-orang yang ada di sekeliling kita maupun terhadap sanak keluarga kita yang masih membutuhkan. Bersama shodaqoh kita jadikan sebagai alat untuk memperkuat tali silaturrahim. Marilah kita jajdikan hari raya lebaran ini sebagai waktu yang kita namti-nantikan untuk mengaitkan kembali tali silaturrahim sesama anggota keluara, tetangga dan masyarakat yang mungkin saja mulai renggang.

Allahuakbar 3 x
Ma’asyirol muslimin wal muslimat ...
Momentum kedua yang saat ini tengah kita rasakan adalah momentum kesedihan. Kesdihan yang disebabkan karena telah berlalunya bulan Ramadhan, bulan yang penuh dengan ampunan. Kita patut bersedih karena pada bulan selain Ramadhan kita tidak akan menemui berbagai kenikmatan beribadat seperti sholat Taraweh dan kegirhahan untuk beribadat lainnya. Dalam sebuah hadits diriwayatkan bahwa : “jika manusia tahu kelebihan bulan Ramadhan, maka manusia akan berharap setiap bulan yang dilalui adalah bulan Ramadhan”. Alam semesta seakan menjerit, malaikat-malaikat menangis karena berlalunya bulan yang penuh ampunan ini. Hal ini justru berlawanan dengan apa yang kita rasakan. Kebanyakn dari kita justru mensyukuri berlalunya bulan Ramadhan dengan bersukacita bahkan terkadang secara berlebihan. Banyak diantara kita yang berharap kebalikan dari apa yang disabadakan rosul, dimana justru kita berharap dalam setahun yang ada hanya bulan Syawal sehingga kita dapat terus berpesta dan bersukacita. Sungguh pemikiran yang sangat keliru.
Allahuakbar 3 x
Ma’asyirol muslimin wal muslimat...
Marilah kita bermunajat kepada Allah SWT agar kita kiranya di hari raya Idul Fitri ini kita termasuk orang-orang yang bertaqwa karena telah menjalankan segala perintahnya selama 1 bulan penuh. Dan tentunya kita berdoa dan berharap di sisa umur yang kita miliki dapat kita manfaatkan untuk senantiasa mencari keridhoan Allah SWT .Amin
* Disampaikan di Masjid Al Muhajirin MAN 2 Rawalumbu Bekasi

Sabtu, 16 Agustus 2008

Malam Nisfu Sya'ban

Jam baru menunjukan pukul 9.54 malam. Tidak terasa baru saja saya bersama para santri dan jamaah warga sekitar selesai melaksanakan acara malam nisfu Sya'ban 1429 H. Acara ini sebenarnya telah terlaksana secara turun-menurun sejak orangtua saya masih ada, bahkan jauh sebelum itu. Menurut literatur yang saya baca, acara yasinan sebanyak 3 kali yang diiringi dengan doa telah ada sejak ratusan tahun yang lalu, terutama yang dilakukan oleh para ulama yang bermazhab Syafi,i, diantaranya adalah Muhammad Darwisy Al Bairuti. Di samping itu pula, doa yang kerapkali dibaca konon kabarnya merupakan doa yang disusun oleh Al Buni seorang ulama besar masa itu.
Pro kontra yang melingkupi malam nisfu Sya'ban sebenarnya tidak terletak pada acara membaca yasin, namun pada persoalan ada atau tidaknya perintah Rosul untuk melaksanakan sholat sunnah nisfu Sya'ban yang berjumlah 100 rakaat. Ini lah yang menjadi polemik saat ini. Sebagai informasi, mazhab yang mengusung adanya sholat nisfu Sya,ban antara lain ialah Imam al Ghozali, dan juga pengarang kitab Durratunnasihin. Adapun yang anti sholat nisfu Sya'ban antara lain ialah Imam Nawawi seorang ahli Hadits bermazhab Syafi'i.
Terlepas itu semua buat kita, mengerjakan amalan sholeh di malam nisfu Sya'ban merupakan perbuatan yang dianjurkan bahkan diperintahkan oleh Rosul.
Wallahua'lam

Selasa, 22 Juli 2008

SISTEM PERBANKAN INDONESIA DALAM PERSPEKTIF
TEORI HUKUM ALAM
H.Muhammad Aiz,SH,MH

ABSTRACT

Indonesian banking law based on Law No.10 of 1998 is a product of politics that is concerned with the religion aspect. Most of Indonesian people are moslems. Syariah banking system is a solution. There is a relationship between law, politic, and religion. Domestic aspects such as historical, cultural, and religion backgrounds contribute a nuance in the legislation and application of syariah banking system. This article is to discuss the Indonesian banking law based on natural law theory perspective.

Pendahuluan
Fenomena perekonomian dunia telah berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan perkembangan jaman dan perubahan teknologi informasi yang berkembang pesat. Banyak nilai-nilai baru yang dibentuk namun sulit untuk menentukan mana yang benar dan mana salah, sehingga terkadang membawa kebaikan namun adakalanya menyesatkan. Globalisasi ekonomi yang diwarnai dengan bebasnya arus barang modal dan jasa, serta perdagangan antar negara, telah mengubah suasana kehidupan menjadi individualistis dan persaingan yang amat ketat.
Ketidakseimbangan ekonomi global, dan krisis ekonomi yang melanda Asia khususnya Indonesia adalah suatu bukti bahwa asumsi diatas salah total bahkan ada sesuatu yang tidak beres dengan sistem yang kita anut selama ini. Adanya kenyataan sejumlah besar bank ditutup, di-take-over, dan sebagian besar lainnya harus direkapitulasi dengan biaya ratusan trilliun rupiah dari uang negara yaitu sekitar 635 triliun rupiah, maka rasanya amatlah besar dosa kita bila tetap berdiam diri dan berpangku tangan tidak melakukan sesuatu untuk memperbaikinya.
Sekarang saatnya kita menunjukkan bahwa muamalah syariah dengan filosofi utama kemitraan dan kebersamaan (sharing) dalam profit dan risk dapat mewujudkan kegiatan ekonomi yang lebih adil dan transparan. Sekaligus pula membuktikan bahwa dengan sistem perbankan syariah, kita dapat menghilangkan wabah penyakit negative spread (keuntungan minus) dari dunia perbankan.
Sudah cukup lama umat Islam di seluruh dunia, termasuk di Indonesia mengharapkan munculnya sistem perekonomian yang berbasis pada nilai dan prinsip agama, atau yang lebih dikenal dengan istilah” syariah” (Islamic economic system) untuk dapat diaplikasikan dalam segenap aspek kehidupan bisnis dan transasksi umat.
Dalam tulisan ini akan dikemukakan berbagai aspek permasalahan dalam bidang perekonomian, khususnya perbankan yang mana merupakan jantungnya perekonomian sebuah negara, dalam kaitannya dengan perspektif Teori Hukum Alam (irasional). Peraturan perundang-undangan dalam dunia perbankan yang dibuat oleh Pemerintah tentunya bermuara kepada satu tujuan yaitu keadilan, dimana mengupayakan agar masyarakat secara keseluruhan, baik yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam kegiatan perbankan (pemilik bank dan nasabah) dapat merasakan manfaat yang pada akhirnya kesejahteraan masyarakat tersebut akan meningkat. Salah satu tujuan negara Indonesia sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 alenia ke-4 adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Untuk mencapai tujuan tersebut tentunya berbagai macam sumber dapat dijadikan rujukan, termasuk sudut pandang agama (Islam) yang merupakan salah satu bagian dari Teori Hukum Alam..
Ada sebagian anggota masyarakat, baik pakar maupun orang awam, yang beranggapan agama (Islam) tidak berurusan dengan dunia perbankan dan pasar uang. Hal ini disebabkan adanya asumsi bahwa agama (Islam) adalah dunia putih sedangkan bank dan pasar uang adalah dunia hitam yang penuh tipu daya dan kelicikan. Oleh karena itu tidaklah mengherankan bila pakar dan pelaku ekonomi melihat agama (Islam) dengan sistem nilai dan tatanan normatifnya (Al-Qur’an dan Hadits) sebagai faktor penghambat pembangunan (an obstacle to economic growth). Penganut paham liberalisme dan pragmatisme sempit ini menilai bahwa kegiatan ekonomi dan keuangan akan semakin meningkat dan berkembang bila dibebaskan dari nilai-nilai normatif dan rambu Ilahi.

Teori Hukum Alam.
Kepercayaan bahwa keadilan yang menjadi bagian integral dari hukum merupakan cahaya penuntun lahirnya teori Hukum Alam. Teori Hukum Alam sebenarnya telah berkembang sejak ribuan tahun yang lalu. Dilihat dari sejarahnya menurut Friedmann teori ini timbul karena kegagalan umat manusia dalam mencari keadilan yang absolut. Secara sederhana, Teori Hukum Alam dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu irasional dan rasional. (Darji Darmodihardjo & Shidarta,1996). Teori Hukum Alam yang irasional berpendapat bahwa hukum yang berlaku universal dan abadi bersumber dari Tuhan secara langsung Sedangkan yang rasional lebih mengedepankan rasio manusia sebagai sumber hukum tersebut.
Agama bagi manusia adalah sebagai satu kepercayaan. Konsep agama adalah amat luas menyelubungi keseluruhan corak hidup manusia. Manusia telah dicipta dengan akal sebagai alat untuk berpikir, dan agama sebagai pembimbing dalam berpikir itu. Dengan itu, konsep kepercayaan dan agama tidak boleh terpisah atau dipisahkan untuk mencari sesuatu jawapan mengenai kehidupan.
Hukum yang diperkenalkan Al-Qur'an bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, tapi merupakan bagian integral dari akidah. Akidah tentang Allah yang menciptakan alam semesta, mengaturnya, memeliharanya dan menjaganya sehingga segala makhluk itu menjalani kehidupannya masing-masing dengan baik dan melakukan fungsinya masing-masing dengan tertib. Hukum Allah meliputi segenap makhluk (alam semesta).
Salah seorang pendukung Teori Hukum Alam irasional adalah Thomas Aquinas., yang mendasarkan pemikirannya dengan persoalan teologia. Menurutnya ada pengetahuan yang tidak dapat ditembus oleh akal, dan untuk itulah diperlukan iman.Ia juga mengakui bahwa disamping kebenaran wahyu juga terdapat kebenaran akal. Berbicara tentang hukum, Aquinas mendefinisikannya sebagai ketentuan akal untuk kebaikan umum, yang dibuat oleh orang yang mengurus masyarakat. Menurutnya ada 4 macam hukum, yaitu : (1) lex aeterna (hukum rasio Tuhan yang tidak dapat ditangkap oleh pancaindera manusia, (2) lex divina (hukum rasio Tuhan yang dapat ditangkap oleh pancaindera manusia, (3) lex naturalis ( hukum alam, yaitu penjelmaan lex aeterna ke dalam rasio manusia), dan (4) lex positivis (penerapan lex naturalis ke dalam kehidupan manusia di dunia). Secara lebih lengkap Friedmann menggambarkan pemikiran Aquinas sebagai berikut :
“Sejak dunia diatur oleh ketentuan-ketentuan yang ditetapkan Tuhan, seluruh masyarakat di alam semesta daitur oleh akal yang berasal dari Tuhan. Hukum Tuhan berada di atas segalanya. Sekalipun demikian, tidak seluruh hukum Tuhan dapat diperoleh manusia. Bagian semacam ini dapat dimengerti oleh manusia dan diungkapkan melalui hukum abadi sebagai penjelmaan kearifan Tuhan yang mengatur segala tindakan dan pergerakan. Manusia sebagai mahluk yang berakal menerapkan bagian dari hukum Tuhan sehingga dapat membedakan yang baik dan yang buruk. Hukum manusia merupakan bagian dan bidang kecil dari kekuasaan Tuhan.”(Darji Darmodihardjo & Shidarta, 1996 ).

Jika Aquinas mengakui kemampuan rasio manusia untuk mengungkapkan kebenaran, maka filusuf lainnya, Occam berpendapat rasio manusia tidak dapat memastikan kebenaran sehingga diperlukan keyakinan akan suatu kepercayaan (iman). Para penganut Teori Hukum Alam menemukan basis hukumnya adalah sesuatu di luar kontrol manusia atau sesuatu yang mengikat pembuat hukum baik individual maupun kelompok dan memaksakan apakal kita suka atau tidak. Dalam kenyataan di zaman modern saat ini agama akan semakin penting untuk menjadi pedoman dalam beraktivitas sehingga “kegersangan” hati akan tersirami nilai-nilai ketuhanan yang tercermin dalam peraturan perundang-undangan.
Joseph Schumpeter menyebut dua kontribusi ekonom scholastic, yaitu penemuan kembali tulisan-tulisan Aristoteles dan “Towering Achievement” St. Thomas Aquinas. Schumpeter hanya menulis tiga baris dalam catatan kakinya nama Ibnu Rusyd dalam kaitan proses transmisi pemikiran-pemikiran Aristoteles ke Aquinas. Pemikiran-pemikiran Aquinas sendiri bnayk yang bertentangan dengan dogma-dogma gereja, sehingga para sejarahwan menduga bahwa Aquinas mencuri ide-ide tersebut dari para ekonom Islam. Menurut Harris, tanpa pengaruh peripatetisisme orang Arab, teologi Aquinas sama sekali tak terpahami seperti filsafatnya (C.R.S. Harris & Dunn Scotus, 1959).
Sebuah ajaran yang melandaskan kepada nilai-nilai agama dalam perjalanan waktu tidak akan pernah punah selama masih ada manusia yang meyakini terhadap nilai –nilai agama tersebut. Di Indonesia Teori Hukum Alam Irasional mendapatkan tempat tersendiri di hati sebagian masyarakat, tak terkecuali umat Islam. Apabila kita melihat sejarah negara Indonesia yang pernah dijajah oleh Belanda, maka akan dapat terlihat nilai-nilai agama (kristen) dalam berbagai macam bentuk peraturan yang dibuat oleh penjajah Belanda sebagai salah satu pedomannya. Dalam sejarah kemerdekaan negara Indonesia tidak sedikit nilai-nilai agama yang dijadikan sumber peraturan perundang-undangan. Tidak hanya sampai di taraf peraturan, bahkan
dasar negara Republik Indonesia yakni Pancasila memasukan nilai agama tersebut pada tingkatan yang tertinggi, sebagaimana tertulis dalam sila pertama”Ketuhanan Yang Maha Esa”. Selain yang tertulis dalam Pancasila, nilai-nilai agama juga masih dapat terlihat dalam Pembukaan UUD 1945. Dengan demikian negara Indonesia terlahir penuh dengan nilai-nilai agama di dalamnya.
Di samping hal-hal yang bersifat sebagai “Grundnorm” nilai agama pun telah menyentuh berbagai aspek kehidupan masyarakat di Indonesia. Mulai dari masalah hubungan kekeluargaan seperti perkawinan, perceraian dan lain-lain, sampai masalah lingkungan, keuangan dan bisnis. Dalam bidang keuangan dan bisnis nilai-nilai agama (Islam) telah memasuki bidang tersebut, sebagai contoh di bidang asuransi, perbankan, pajak (zakat) dan lainnya.
Dalam agama Islam, secara umum tugas kekhalifahan manusia adalah tugas untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan dalam kehidupan serta tugas pengabdian atau ibadah dalam arti luas. Untuk menunaikan tugas tersebut, Allah memberi manusia dua anugrah, yaitu “sistem kehidupan” dan “sarana kehidupan”. Sistem kehidupan adalah seluruh aturan kehidupan manusia yang bersumber pada Al Qur’an dan Hadits. Aturan tersebut berbentuk keharusan melakukan atau sebaiknya melakukan sesuatu, juga dalam bentuk larangan melakukan sesuatu atau sebaiknya menoinggalkan sesuatu. Aturan-aturan tersebut dimaksudkan untuk menjamin keselamatan manusia sepanjang hidupnya, baik yang menyangkut keselamatan agama, keselamatan diri, keselamatan akal, keselamatan harta benda, maupun keselamatan keturunan.
Pelaksanaan Islam sebagai way of life secara konsisten dalam semua kegiatan kehidupan, akan melahirkan sebuah tatanan kehidupan yang baik. Sebaliknya, menolak aturan itu atau sama sekali tidak memiliki keinginan untuk mengaplikasikannya dalam kehidupan, akan melahirkan kekacauan dalam kehidupan sekarang maupun yang akan datang.
Teori-teori ekonomi modern, termasuk perbankan, sebenarnya merupakan teori-teori yang yang ditulis oleh para ekonom muslim pada zaman kejayaan Islam. Tentunya teori-teori tersebut tidak terlepas daripada nilai-nilai agama Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits. Namun sayangnya hal ini tidak diketahui oleh masyarakat Islam itu sendiri, karena para ekonom barat yang melakukan plagiat tersebut sama sekali tidak menyebut referensinya berasal dari kitab-kitab klasik keilmuan Islam.(Zainul Arifin, 2000).
Josep Schumpeter mengatakan adanya great gap dalam sejarah pemikiran ekonomi selama lebih dari 500 tahun, yaitu masa yang dikenal sebagai Dark Ages. Masa kegelapan barat tersebut sebenarnya adalah masa kegemilangan Islam, suatu kenyataan yang berusaha mereka tutup-tutupi karena pemikiran-pemikiran ekonomi Islam pada waktu itu yang kemudian banyak dicuri oleh para ekonom barat. (Zainul Arifin,2000).
Para ekonom Islam sendiri mengakui banyak membaca dan dipengaruhi oleh tulisan-tulisan Aristoteles sebagai filusuf yang banyak menulis masalah-masalah ekonomi, namun tetap menjadikan Al Qur'an dan Hadits sebagai rujukan utama mereka dalam menulis teori-teori ekonomi Islam. Beberapa institusi ekonomi yang ditiru oleh barat dari dunia Islam antara lain ialah Syirkah (serikat dagang), Suftaja (bills of exchange), Hawala (letters of credit), Funduq (specialized large scale commercial institutions and markets which developed into virtual stock exchange) (Subhi Labib, 1969).
Konsep Islam dalam berekonomi telah mengalami masa kemunduran yang cukup panjang sejak zaman keemasannya. Proses kemunduran itu sendiri – boleh dikatakan akibat adanya ‘pemarginalan’ atau ‘pembusukan’ sistematis dari dalam -- konsep ekonomi Islam yang berlangsung seiring kemunduran peradaban Islam di atas muka bumi. Yaitu suatu titik balik dari kemajuan luar biasa yang pernah dicapai pada masa lalu yang kemudian masih redup perkembangannya hingga awal millenium ketiga ini.
Kemunduran ekonomi umat Islam di permukaan bumi ini sebenarnya berlangsung beriringan dengan lahirnya mazhab ekonomi kapitalistik yang menawarkan konsep pemujaan terhadap materialisme – saluran yang sangat pas dengan kebutuhan nafsu pemanjaan selera kemanusiawian dan syahwat harta-benda -- dengan tanpa atau longgarnya kendali moralitas agama (iman). Dengan kata lain, ‘candu’ kapitalistik bukanlah konsep yang lahir dari sebuah kesadaran keyakinan (iman) terhadap ajaran-ajaran yang bersumber dari wahyu sebagaimana halnya konsep berekonomi dalam Islam.
Bahwa mazhab ekonomi kapitalistik yang lahir dari kesadaran pemberhalaan syahwat materialisme masyarakat Barat selanjutnya mencapai perkembangan yang cukup pesat, dan berimplikasi negatif pada perkembangan praktek ekonomi yang menganut prinsip-prinsip Islam. Perkembangan ekonomi Islam yang pernah berjaya dan diyakini umat muslim sebagai jalan keselamatan hidupnya di dunia dan akhirat itu sekonyong-konyong ditinggalkan dan berubah menjadi ‘stigma’ keterbelakangan – sebagai biang ketertinggalan bagi peradaban modern yang disponsori Barat. Bahkan ia dituding sebagai tembok atau belenggu yang menghalangi umat manusia untuk meraih dan mengeksplorasi segala kenikmatan materialisme sepuas-puasnya di atas muka bumi ini dengan segala cara (immoralitas). Perkembangan ekonomi kapitalistik menjadi semakin kuat akibat kondisi terbalik yang sedang dihadapi masyarakat muslim dunia. Kaum intelektual dan ahli pikir muslim sendiri waktu itu sedang mengalami masa kemunduran. Perkembangan pemikiran-pemikiran yang ada di kalangan intelektual dan cendekiawan muslim pun mengalami masa stagnasi yang cukup panjang sehingga menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran berekonomi dan etos bekerja sesuai ajaran Islam.
Sejak awal kelahirannya bank syariah dilandasi dengan kehadiran dua gerakan renaissance Islam Modern: neorevivalis dan modernis, tujuan utama dari pendirian lembaga keuangan berlandaskan etika ini, tiada lain sebagai upaya kaum muslimin untuk mendasari segenap aspek kehidupan ekonominya berlandaskan Al-Qur’an dan Hadits. Upaya awal penerapan sistem profit dan loss sharing tercatat di Pakistan dan Malaysia sekitar tahun 1940-an, yaitu adanya upaya mengelola dana jamaah haji secara non-konvensional. Rintisan institusional lainnya adalah Islamic Rural Bank di desa Mit Ghamr pada tahun 1963 di Kairo, Mesir.
Di Indonesia perkembangan pemikiran-pemikiran tentang perlunya menerapkan prinsip Islam dalam berekonomi baru terdengar pada 1974. Tepatnya dimulai dalam sebuah seminar ‘Hubungan Indonesia-Timur Tengah’ yang diselenggarakan oleh Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan (LSIK). Perkembangan pemikiran tentang perlunya umat Islam Indonesia memiliki lembaga keuangan Islam sendiri mulai berhembus sejak itu, seiring munculnya kesadaran baru kaum intelektual dan cendekiawan muslim dalam memberdayakan ekonomi masyarakat. Pada awalnya memang sempat terjadi perdebatan yang melelahkan mengenai hukum bunga Bank dan hukum zakat vs pajak di kalangan para ulama, cendekiawan dan intelektual muslim.
Nilai-nilai agama yang hendak di transformasikan ke dalam bentuk perundang-undangan bukan lah sebagai hambatan untuk mengembangkan pola pikir dari manusia itu sendiri. Namun yang lebih penting adalah bahwa bagi masyarakat Indonesia saat ini masih meyakini bahwa dengan mempersatukan kedua hal tersebut diharapkan keadilan dan kesejateraan menjadi keniscayaan yang dapat segera terwujud.
Berdasarkan hal tersebut maka perkembangan negara Indonesia baik dilihat dari masyarakat maupun perangkat peraturan tidak pernah lepas dari ajaran yang berbasiskan kepada nilai ketuhanan, yang merupakan salah satu pedoman dalam Teori Hukum Alam.

Penutup
Berdasarkan pemaparan di atas, ternyata Teori Hukum Alam irasional (yang berbasiskan kepada nilai-nilai agama Islam ) terus mengalami perkembangan di berbagai aspek kehidupan masyarakat. Dalam kaitannya dengan pembangunan di Indonesia, baik fisik maupun non fisik, teori ini tidak dapat diabaikan begitu saja, apalagi jika dilihat kultur masyarakat Indonesia yang agamis. Namun demikian perspektif Hukum Alam ini jangan sampai mematikan kesempatan manusia untuk dapat berpikir kritis dan obyektif. Jika sebuah fenomena tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat kiranya dapat dikaji dan di formulasikan dengan menggunakan pikiran manusia. Namun hasil dari kajian atau keputusan tersebut hendaknya tidak bertentangan dengan Hukum Alam (agama).
Bangsa Indonesia nampaknya tidak akan mungkin melepaskan diri dari keyakinan terhadap Hukum Alam. Seiring perjalanan waktu sejak mulai berdiri tahun 1945 sampai dengan tahun 2003 ini nilai-nilai agama selalu hadir dalam setiap kebijakan., termasuk dalam UU No. 10 Tahun 1998.


Daftar Pustaka
C.R.S. Harris & Dunn Scotus, The Humanities, Press of New York, 1959.

Darji Darmodihardjo, & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Edisi Revisi , Jakarta: Gramedia, 1996.

Subhi Labib, Capitalism in Medievel Islam, Journal of Economic History, Vol 29, 1969.

UU No 10 Tahun 1998 tentang Perubahan UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Zainul Arifin, Memahami Bank Syariah: Lingkup, Peluang, Tantangan dan Prospek, Jakarta : AlvaBet, 2000.

















PERUBAHAN SOSIAL DALAM DUNIA PERBANKAN INDONESIA
H.M.Aiz Muhadjirin,SH,MH *

Abstrak
Masyarakat muslim sebagai bagian terbesar dari komponen bangsa Indonesia memiliki kemampuan untuk menggerakan perubahan masyarakat secara menyeluruh. Persoalan dunia perbankan yang semakin hari semakin tidak dapat dihindari dalam kehidupan bermasyarakat dianggap sebagai salah satu pokok persoalan yang harus disesuaikan dengan norma agama seiring dengan semakin tingginya kesadaran masyarakat akan norma agama (syari’ah) itu sendiri.

Pendahuluan
Pembentukan undang-undang merupakan salah satu bagian dari pembangunan hukum, khususnya pembangunan materi hukum. Salah satu konsep pembangunan hukum nasional adalah pembangunan hukum tertulis. Hukum tertulis merupakan bagian dari sistem hukum nasional dan secara konseptual pembangunan hukum tertulis dalam sistem hukum nasional mengacu kepada realitas sosial. Realitas masyarakat Indonesia dari tahun ke tahun sejak diproklamirkannya Negara Kesatuan Republik Indonesia telah mengalami berbagai macam perubahan, baik perubahan secara struktural maupun kultural.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang berisikan tentang perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan memuat beberapa perubahan dalam sistem perbankan Indonesia, yakni dengan diperkenalkannya sistem syariah. Selama Indonesia menjadi negara yang berdaulat sistem perbankan yang dikenal secara formal hanyalah sistem konvensional. Namun seiring dengan perkembangan masyarakat ternyata sistem konvensional dinilai tidak cukup mewakili kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dengan berkembangnya lembaga keuangan swasta yang menggunakan konsep syariah secara informal, seperti BMT ( Baitul Mal wa Tamwil ).
Perubahan masyarakat dalam dunia perbankan Indonesia dari hanya menggunakan sistem konvensional menjadi plus sistem syariah, yang diformalkan dengan lahirnya UU No.10 Tahun 1998 menjadi salah satu indikasi bahwa dunia perbankan Indonesia mengalami perubahan. Menurut Gilin dan Gilin :
“Perubahan-perubahan sosial sebagai satu variasi dari cara hidup yang diterima, baik karena perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat.” 1)
---------------------------------
1) Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Press, 1990, hal 337

Aspek Sosiologis Dalam UU No.10 Tahun 1998.
Apabila dilihat latar belakang lahirnya UU No.10 Tahun 1998 adalah dimulai dengan banyaknya cendikiawan ekonomi Islam yang mengkaji tentang sistem perbankan syariah yang telah dilaksanakan di negara-negara Islam lain. Diantara cendikiawan Islam tersebut antara lain M. Dawam Rahardjo, A.M Saefuddin, Karnaen A. Perwataatmadja, M. Amien Azis dan lain-lain yang telah membuat beberapa uji coba pada skala yang relatif terbatas, yakni BMT Salman di Bandung.2) Seiring perjalanan waktu, pada tahun 1990, Musyawarah Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan rekomendasi kepada Pemerintah untuk mendirikan bank dengan sistem syariah. Rekomendasi tersebut ditindak lanjuti oleh Pemerintah dengan mendirikan Bank Muammalat Indonesia pada tahun 1990 juga.
Dari uraian tersebut menunjukan pentingnya makna sosiologis dalam terciptanya UU No.10 Tahun 1998 yang memungkinkan sebuah bank menjalankan sistem konvensional dan syariah. Menurut Eugen Erlich, seorang tokoh aliran sosiological jurisprudence, hukum yang baik adalah hukum yang dirumuskan sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat ( living law ). Living law sebagai “inner order” dari masyarakat mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.3) Nilai-nilai yang hidup di masyarakat Indonesia dalam kaitannya dengan dunia perbankan adalah adanya kenyataan yang menunjukan bahwa masyarakat Indonesia mayoritas adalah beragama Islam. Nilai-nilai yang berlaku bagi mereka tentunya harus disesuaikan dengan ajaran agama Islam itu sendiri, dimana konsep bunga yang dipergunakan dalam sistem konvensional merupakan sesuatu yang dilarang. Keadaan seperti itu menjadi sebuah realita yang harus dihadapi oleh masyarakat sehingga menimbulkan kebingungan dan kebimbangan untuk memasuki dunia perbankan. Bahkan seorang cendikiawan muslim asal Timur Tengah , Maulana al-Maududi, mengatakan institusi bunga merupakan sumber bahaya dan kejahatan.4)
Apabila terlihat nilai-nilai Islam dalam UU No.10 Tahun 1998 sebenarnya bukan berarti nilai atau keyakinan yang lain tidak terakomodasi dalam undang-undang tersebut. Walaupun mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam tidak berarti sistem lain yang bukan berasal dari nilai Islam harus dihapus.
Hal ini disebabkan negara Indonesia adalah sebuah negara yang sangat majemuk dimana berbagai suku dan agama tergabung di dalamnya. Keadaan inilah yang terkadang menjadi persoalan dalam menentukan nilai masyarakat manakah yang dijadikan rujukan atau pedoman Menurut Northrop, sebagaimana dikutip oleh Mochtar Kusumaatmadja berpendapat bahwa dalam situasi konkrit, jalan praktis yang perlu ditempuh adalah.” …the best solution is that which shows the greatest sensitivity to all factors in the problematic situation..”5)
Kepentingan kelompok dan konflik nilai merupakan sisi sosiologis yang dominan dalam proses pembentukan setiap undang-undang. Rumusan pasal-pasal dalam sebuah Undang-undang ( termasuk dalam UU No.10 Tahun 1998 ) akan mencerminkan berbagai kepentingan kelompok dan nilai-nilai yang ada dimasyarakat tersebut. Oleh karena itu nilai dan kepentingan mempunyai pengaruh yang besar dalam mengambil keputusan terhadap rumusan akhir suatu ketentuan dalam undang-undang.
Dalam pembentukan peraturan pendekatan sosiologis adalah sesuatu yang mutlak diperlukan. Menurut Roman Tomasic, sebagaimana dikutip oleh Inosentius Samsul, secara teoritis ada beberapa teori yang berkaitan dengan nilai-nilai dalam masyarakat dan kepentingan kelompok, yaitu teori konflik (conflict theories), teori konsensus ( consensus theories ), teori pluralis ( pluralist theories ) dan teori elit penguasa ( power elit theories ).6) Pandangan teori-teori tersebut terhadap nilai masyarakat dan kepentingan kelompok adalah sebagai berikut :
· Teori konflik melihat peranan hukum sebagai sarana kontrol sosial dengan membatasi posisi dari suatu sistem nilai tertentu sehingga nilai-nilai tersebut tidak dapat berpengaruh dalam masyarakat. Dengan demikian nilai-nilai dari sistem masyarakat yang dikesampingkan tidak tertampung dalam rumusan peraturan perundang-undangan yang ada. Berdasarkan hal tersebut maka asumsi dasar bagi pemahaman masalah-masalah hukum adalah bahwa setiap masyarakat senantiasa mengalami perubahan sosial, konflik, paksaan oleh sejumlah anggota masyarakat terhadap masyarakat lainnya.
· Teori konsensus melihat tujuan dari hukum atau undang-undang yang dirumuskan untuk mengakomodasi sistem nilai yang berbeda dalam suatu masyarakat. Dengan demikian dalam teori ini membutuhkan upaya keras dalam mecoba menyatukan visi dari berbagai nilai yang ada.
· Teori pluralis berorientasi pada pengakuan terhadap keanekaragaman kepentingan dalam masyarakat. Implikasi dari pengakuan tersebut adalah bahwa dalam merumuskan peraturan perundang-undangan selalu berusaha agar undang-undang yang dibentuk merupakan hasil dari perumusan berbagai kepentingan kelompok yang beraneka ragam dalam masyarakat.
· Teori elit penguasa menformulasikan dan memperjuangkan agar kepentingan-kepentingan kelompok elit penguasa terlindungi dalam suatu undang-undang. Jadi tujuannya adalah untuk memperjuangkan kepentingan kelompok tertentu dan menyingkirkan kepentingan dari kelompok lainnya.
Dalam konteks negara Indonesia, pemberlakuan sistem syariah dalam perbankan nasional lebih mencerminkan kepada diperhatikannya nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Struktur sosial yang ditandai dengan keanekaragaman suku, adat istiadat dan agama memberikan corak pluralistis pada nilai yang ada di masyarakat Indonesia. Pilihan terhadap nilai dan kepentingan kelompok mana yang dapat diformulasikan dalam sebuah undang-undang merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Dalam kondisi yang pluralistis ini benturan nilai dan kepentingan sangat potensial untuk muncul ke permukaan dalalam pembentukan undang-undang. Dalam kondisi seperti ini pemikiran teori pluralis dengan konsep “unity diversity” mungkin dapat membantu untuk keluar dari benturan kepentingan dan nilai yang beraneka ragam.

Perubahan Masyarakat Perbankan Indonesia
Dengan diakuinya dinamika sebagai inti jiwa masyarakat, memunculkan perhatian yang besar terhadap masalah-masalah perubahan sosial dan kebudayaan dalam masyarakat. Masalah tersebut menjadi lebih penting lagi dalam hubungannya dengan pembangunan ekonomi yang tengah diusahakan dan dilakukan oleh kebanyakan negara-negara di dunia, termasuk Indonesia.
Dalam realitas kehidupan masyarakat Indonesia, yang berhubungan dengan dunia perbankan, lahirnya UU No.10 Tahun 1998 seolah-olah menjadi angin segar yang telah lama dinanti-nanti. Apabila selama ini hanya ada satu sistem dalam perbankan, yaitu konvensional, kini tidak demikian halnya. Sistem syariah yang baru diformalkan pada tahun 1998 tersebut secara langsung maupun tidak langsung telah merubah pola pikir masyarakat Indonesia tentang perbankan. Selama ini masyarakat hanya mengenal konsep bunga yang ditawarkan oleh sistem konvensional tersebut. Dengan adanya sistem syariah maka konsep bunga tidak lagi menjadi instrumen tunggal karena telah diimbangi dengan konsep bagi hasil. Sistem syariah ini tidak hanya sebatas merubah konsep bunga menjadi bagi hasil, namun berpengaruh juga terhadap instrumen perbankan lainnya seperti munculnya Dewan Pengawas Syariah, Badan Arbitrase Muammalat Indonesia (BAMUI) dan sebagainya, yang sebelumnya tidak ada. Selain itu pola pikir mayarakat dalam hal mencari keuntungan di bank juga mengalami perubahan. Mungkin selama ini keuntungan dari dana yang diinvestasikan di bank telah ditentukan besar keuntungan yang akan diraih tanpa melihat seberapa besar keuntungan yang sesungguhnya yang diperoleh bank. Kini hal tersebut telah berubah dengan konsep bagi hasil yang lebih mengedepankan pola bagi hasil dari keuntungan bank.
Perubahan masyarakat yang terjadi dalam dunia perbankan Indonesia dengan diberlakukannya UU No.10 Tahun 1998 secara teoritis dapat dikelompokan ke dalam perubahan cepat, perubahan besar, dan perubahan yang direncanakan atau dikehendaki ( intended change )7).
a. Perubahan cepat
Sistem syariah yang dilegalkan dengan UU No.10 Tahun 1998 sebenarnya dapat dikategorikan revolusi dalam dunia perbankan Indonesia, khususnya masyarakat yang beragama Islam yang merasa tidak puas dengan hanya ada satu sistem perbankan, yakni konvensional. Pemahaman revolusi tidak selalu dikaitkan denganwaktu yang cepat karena hal tersebut bersifat relatif. Namun paling tidak istilah revolusi dalam dunia perbankan Indonesia dapat dipahami dengan terjadinya perubahan menyangkut dasar atau sendi pokok kehidupan masyarakat, yaitu lembaga keuangan masyarakat (bank).
b. Perubahan besar
Perubahan sistem perbankan Indonesia merupakan perubahan yang akan membawa pengaruh besar terhadap masyarakat. Pelbagai lembaga kemasyarakatan akan ikut terpengaruh. Dalam pelaksanaan sistem syariah di Indonesia akan terlihat munculnya lembaga-lembaga lain yang berfungsi sebagai penunjang serta pelengkap dari sebab munculnya sistem syariah, seperti dengan adanya Dewan Pengawas Syariah ( DPS ), Dewan Syariah Nasional ( DSN ), dan Badan Arbitrase Muammalat Indonesia ( BAMUI ). Selain itu, di tengah masyarakat juga terjadi perubahan pola pikir mengenai perbankan itu sendiri. Perbankan yang selama ini diidentikan dengan dunia yang penuh dengan tipu daya, kini telah berubah menjadi dunia yang bersih karena telah mengikuti nilai-nilai yang hidup pada masyarakat dimana berdasrkan nilai agama.
c. Perubahan yang dikehendaki atau direncanakan ( intended change )
Perubahan dalam dunia perbankan Indonesia tidak terjadi secara mendadak, namun telah direncanakan dan memang dikehendaki. Apabila dilihat latar belakang diizinkannya pelaksanaan sistem syariah di Indonesia tentunya akan terlihat telah melalui tahap-tahap pengkajian yang sangat menyeluruh.
Dalam setiap perubahan yang dikehendaki ( intended change ) terdapat agent of change, yaitu seseorang atau sekelompok orang yang mendapat kepercayaan pimpinan lembaga kemasyarakatan. Agent of change memimpin masyarakat dalam mengubah sistem sosial. Apabila dikaitkan dengan perubahan sistem perbankan di Indonesia, maka tokoh-tokoh yang mencetuskan ide dilaksanakannya sistem syariah, yakni cendikiawan yang tergabung dalam MUI dapat dikelompokan sebagai agent of change. Melalui tahap kajian-kajian yang telah mereka lakukan sampai saat dilahirkannya UU No.10 Tahun 1998 merupakan langkah konkrit mereka telah bertindak sebagai agent of change.
UU No.10 Tahun 1998 dan perubahan masyarakat yang terjadi di Indonesia dalam dunia perbankan merupakan dua unsur atau faktor yang saling berhubungan. Dilihat dari faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut, maka UU tersebut jelas mempengaruhi perubahan masyarakat. Dengan demikian UU atau hukum tersebut dapat dikategorikan sebagai unsur independent. Sebelum UU tersebut lahir sebagian masyarakat tidak dapat menggunkan sistem syariah. Naum setelah berlakunya UU tersebut maka masyarakat Indonesia dikondisikan untuk mendapatkan sistem alternatif dalam perbankan. Ada beberapa faktor lain yang dapat mendorong jalannya proses perubahan dalam sistem perbankan Indonesia, yaitu :
· Kontak dengan kebudayaan lain
Proses yang menyangkut hal ini adalah difusi. Difusi adalah proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari individu kepada individu lainnya atau dari suatu masyarakat kepada masyarakat lainnya. Kontak dengan kebudayaan lain dapat dilihat bahwa pada awalnya sistem syariah dalam dunia perbankan telah dimulai di negara-negara Timur Tengah, dan kemudian dicoba untuk dipraktekan atau dilaksanakan di Indonesia. Dengan proses tersebut masyarakat Indonesia mampu menghimpun penemuan-penemuan baru yang telah dihasilkan. Dengan terjadinya difusi suatu penemuan baru yang telah diterima oleh masyarakat dapat diteruskan dan disebarkan kepada masyarakat luas. Proses tersebut merupakan pendorong pertumbuhan suatu kebudayaan dan ikut memperkaya kebudayaan masyarakat.
· Sistem pendidikan formal yang maju
Pendidikan mengajarkan kepada individu aneka ragam kemampuan. Pendidikan memberikan nilai-nilai tertentu bagi manusia, terutama dalam membuka pikirannya serta menerima hal-hal baru dan juga mengajarkan bagaimana berpikir secara obyektif, hal mana akan memberikan kemapuan untuk menilai aspek kebudayaan masyarakatnya akan dapat memenuhi kebutuhan jaman atau tidak.
· Penduduk yang heterogen
Masyarakat Indonesia yang terdiri dari kelompok-kelompok sosial yang mempunyai latar belakang kebudayaan berbeda, maupun ideologi yang berbeda mempermudah terjadinya perubahan dalam masyarakat
· Nilai bahwa manusia harus senantiasa berikhtiar untuk memperbaiki hidupnya
Performa dunia perbankan Indonesia yang terpuruk di akhir tahun 90-an telah menjadi tonggak hadirnya perubahan di dunia perbankan Indonesia. Disadari atau tidak disadari. Bahwa sebagian masyarakat berasumsi serta berharap dengan diperkenalkannya sistem syariah maka kehidupan dunia perbankan akan menjadi lebih baik.
Proses perubahan sosial tidak dapat berjalan tanpa melalui saluran perubahan sosial ( chanel of change ). Pada umumnya saluran-saluran tersebut adalah lembaga kemasyarakatan bidang pemerintahan, ekonomi, penduduk, agama dan lain-lain. Lembaga yang menjadi titik tolak tergantung pada kultural fokus masyarakat pada masa tertentu. Lembaga kemasyarakatan yang pada suatu waktu mendapatkan penilaian tertinggi dari masyarakat cenderung untuk menjadi saluran utama perubahan sosial dan kebudayaan. Perubahan lembaga kemasyarakatan tersebut akan membawa akibat pada lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya, karena lembaga-lembaga tersebut merupakan suatu sistem yang terintegrasi.
Demikian pula halnya dengan perubahan dalam dunia perbankan Indonesia, tanpa melalui saluran-saluran perubahan maka mustahil sistem syariah dapat diterima dan dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia. Meskipun secara keyakinan masyarakat Indonesia yang beragama Islam mendukung hal tersebut, namun karena tidak adanya salurannya mereka tidak dapat melaksanakan dan memanfaatkannya. Di samping itu pula unsur lainnya adalah adanya kemauan Pemerintah ( political will ) untuk menciptakan peraturan atau undang-undang mengenai hal tersebut. Apabila lembaga kemsyarakatan tersebut sebagai suatu sistem sosial, maka dapat dikategorikan sebagai berikut :
· Organisasi politik : Peranan Pemerintah bersama dengan wakil rakyat di DPR sangatlah dominan dalam rangka memunculkan aturan yang melandasi proses perubahan itu sendiri. Dalam hal ini lahirnya UU No. 10 Tahun 1998 merupakan suatu pedoman bagi lembaga kemasyarakatan lainnya untuk melakukan aktivitas yang berhubungan dengan proses perubahan sosial di bidang perbankan.Dalam rangka mencetuskan pedoman bagi proses perubahan sosial, seyogyanya Pemerintah bersama DPR harus dapat bersifat aspiratif dalam menghadapi berbagai macam kepentingan serta nilai-nilai di masyarakat Selain menyediakan perangkat perundang-undangan Pemerintah dalam hal ini harus pula dapat menetralisasi faktor-faktor kemasyarakatan yang mengalami perubahan dan perkembangan..
· Organisasi ekonomi : Perubahan sosial yang dimunculkan dari UU No. 10 Tahun 1998 adalah perubahan di bidang ekonomi. Oleh karena itu organisasi ekonomi merupakan “ujung tombak” dari pelaksanaan proses perubahan sosial tersebut. Dan karenanya pula diperlukan lembaga ekonomi yang dapat mendukung berjalannya proses tersebut. Bank-bank yang berlandaskan sistem syariah mutlak harus dimunculkan. Selain dari pada bank syariah sebagai lembaga operasional dari proses perubahan di dunia perbankan Indonesia, maka lembaga atau badan ekonomi lain yang menunjang harus pula dihadirkan.
· Organisasi hukum : Perangkat-perangkat hukum dalam pelaksanaan proses perubahan sosial harus berbajalan berdampingan dalam upaya menjaga agar tidak sampai proses perubahan dalam dunia perbankan keluar dari jalur yang sudah ditetapkan. Oleh karenanya badan atau lembaga yang dipersiapkan untuk menyelesaikan masalah yang akan timbul di kemudian hari harus sudah diantisipasi. Untuk mengantisipasi kemungkinan tersebut, masyarakat bank-bank syariah serta para pengguna jasanya menyadari bahwa mereka tidak dapat mengandalkan instansi peradilan yang ada. Terlebih bahwa lembaga peradilan yang sekarang ada memiliki dasar-dasar hukum penyelesaian perkara yang berbeda dengan yang dikehendaki pihak-pihak yang terikat dalam akad syariah. Pengadilan Negeri tidak menggunkan syariah sebagai landasan hukum bagi penyelesaian perkara seperti itu, sedangkan wewenang Pengadilan Agama telah dibatasi UU No. 7 Tahun 1989. Institusi ini hanya dapat memeriksa dan mengadili perkara-perkara menyangkut perkawinan, warisan, waqaf, hibah, dan sedekah. Peradilan Agama tidak dapat memeriksa dan mengadili perkara-perkara di luar kelima bidang tersebut. Keberadaan Badan Arbitrase Muammalah Indonesia (BAMUI) sangat tepat dalam upaya menjawab tantangan tersebut. Hal demekian kiranya akan dapat mendukung pertumbuhan bank syariah, sebagai lukomotif perubahan sosial dalam bidang perbankan, yang mulai marak dewasa ini. Seperangkat konsep pun harus telah disusun untuk kepentingan tersebut. Perangkat ini menyangkut rancangan akta pendirian yayasan bagi pendirian lembaga tersebut., yang di dalamnya memuat anggaran rumah tangga yang merupakan kelengkapan anggaran dasar yayasan serta rancangan peraturan prosedur arbitrase, yang bila telah disahkan akan berlaku baik bagi para wasit dalam melaksanakan tugasnya menyelesaikan perkara-perkara maupun bagi para calon pengguna jasa lembaga dimaksud.
· Organisasi pendidikan : Faktor sosialisasi sangat penting dalam upaya untuk melakukan suatu perubahan sosial. Sosialisasi dapat dilakukan baik melalui jalur formal maupun non-formal. Lembaga-lembaga yang bergerak di bidang pendidikan dapat melakukan salah satu fungsinya yaitu memberikan pengetahuan atau sosialisasi tentang proses perubahan yang sedang terjadi dalam dunia perbankan kepada masyarakat luas. Dengan demikian masyarakat menjadi tahu proses apa yang sedang terjadi di sekeliling mereka .

Penyesuaian terhadap perubahan UU Perbankan
Keserasian atau harmoni dalam masyarakat merupakan keadaan yang diidam-idamkan setiap masyarakat. Dengan keserasian masyarakat dimaksudkan sebagai suatu keadaan dimana lembaga-lembaga kemasyarakatan yang pokok benar-benar berfungsi dan saling mengisi. Penyesuaian terhadap sistem perbankan yang baru dalam realitas masyarakat dapat dilakukan dengan cara melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Sosialisasi mutlak diperlukan dalam upaya mempersatukan pandangan terhadap sistem perbankan yang baru. Sosialisasi merupakan proses belajar anggota masyarakat untuk mengenal dan memahami sistem, tat nilai, dan budaya yang berlaku di masyarakat.8) Pengenalan dan pemahaman itu akan menjadi sempurna apabila mencakup semua latar belakang timbulnya sistem, tata nilai, dan budaya tersebut. Bertitik tolak dari pengertian tersebut maka sosialisasi lebih bersifat transformasi pemikiran daripada transformasi suatu pola kegiatan. Dengan demikian sosialisasi suatu sistem berarti harus lebih kepada proses transformasi pemikiran yang melandasi terwujudnya sistem itu, dibandingkan hanya sekedar pada cara bekerjanya sistem itu sendiri.
Usaha untuk melembagakan unsur baru, dalam hal ini sistem syariah, di tengah masyarakat menyangkut proses difusi yang merupakan proses penyebaran ide-ide baru ( sistem syariah ) hingga ide baru tersebut diterima atau diadpsi oleh masyarakat. Pengertian adopsi dalam arti sosiologis adalah keputusan untuk sepenuhnya mempergunakan atau memanfaatkan ide baru tersebut.9) Unsur-unsur yang cenderung lebih mudah untuk diadopsi adalah metode yang lebih baik dan menguntungkan bagi masyarakat yang mengadopsinya. Selain itu unsur-unsur yang serasi dengan norma serta nilai yang berlaku dan yang sifatnya lebih sederhana serta dapat dicoba secara berangsur-angsur. Ide baru tentang sistem syariah dapat mudah diterima oleh masyarakat apabila lebih mudah dimengerti melalui komunikasi yang sederhana.
“Kesuksesan” untuk melakukan perubahan dalam sistem perbankan di Indonesia yang ide awalnya dicetuskan oleh para cendikiawan yang tergabung dalam MUI telah sesuai dengan teori yang diutarakan oleh William M. Evan. Menurutnya ada 7 kondisi yang harus dipenuhi untuk terlaksananya suatu perubahan sosial.10) Dari beberapa kondisi tersebut antara lain diuatarakan bahwa sebuah hukum yang akan dijadikan sebuah instrumen perubahan sosial harus dapat diterima secara rasional dan sesuai dengan nilai-nilai masyarakat. Di sini dapat dibuktikan melalui realita yang ada bahwa memang secara rasional sistem syariah dapat dipertanggungjawabkan dan sangat menjunjung nilai-nilai moral masyarakat. Selain itu pula sistem syariah telah terbukti berhasil di negara-negara lain, seperti Mesir, Kuwait, bahkan Malaysia yang telah terlebih dahulu mempraktekannya. Lebih lanjut William M. Evan mengatakan :“…Law can affect behavior directly only through the process of institutionalization; if how ever, the institutionalization process is successful, it, in turn, facilitates the internalization of attitudes or beliefs”.11)
Sejak diundangkannya UU No.10 Tahun 1998 dimana mengizinkan bank untuk beroperasi dengan sistem syariah, maka dapat terlihat bahwa keberadaan bank yang melaksanakan sistem syariah mengalami kemajuan yang sangat berarti. Dilihat dari jumlah bank-bank swasta maupun pemerintah terlihat kenaikan jumlah yang signifikan. Apabila pada awalnya bank syariah identik dengan Bank Muammalat Indonesia, kini tidak lagi demikian. Saat ini bank-bank yang beroperasi dengan sistem syariah antara lain ialah Bank Syariah Mandiri, Bank IFI, Bank BNI 46, BPD Jabar, dan lainnya. Dilihat dari sudut jumlah nasabah yang bertransaksi di bank syariah maka secara otomatis juga mengalami pertambahan. Hal ini disebabkan para nasabah atau masyarakat sudah dapat mengakses bank-bank syariah dengan mudah, tidak seperti pada awal tahun 90-an dimana unit-unit bank syariah sulit untuk ditemui karena masih sedikit.
Penyesuaian terhadap sitem syariah di Indonesia tentunya diharapkan akan terus terjadi. Untuk mencapai tingkat penyesuaian yang diharapkan tentunya memerlukan waktu dan sosialisasi yang berkesinambungan. Hal ini sangat perlu karena sebagian besar masyarakat Indonesia selama ini masih belum dapat memanfaatkan institusi perbankan. Keadaan ini mungkin dapat dimengerti apabila sebagian besar masyarakat hidup di daerah-daerah yang terkadang belum terjangkau oleh .institusi keuangan tersebut.
Arah perubahan
Perubahan yang terjadi di tengah masyarakat adalah suatu keniscayaan yang selalu terjadi. Perubahan-perubahan tersebut bergerak meninggalkan faktor yang diubah. Mungkin perubahan itu bergerak menuju ke arah suatu bentuk yang baru sama sekali, atau justru bergerak kepada suatu yang sudah ada di masa lampau. Sesuatu yang sudah ada di masa lampau tersebut tentunya harus dikondisikan dengan masa sekarang. Konsep bagi hasil merupakan suatu sistem yang sudah dikenal sejak dahulu dalam ajaran Islam. Namun bukan berarti konsep yang sudah kuno tidak dapat beradaptasi dengan lembaga keuangan, seperti bank, di masa sekarang.
Sesuai dengan skema Zarqa, seperti dikutip oleh Zaenal Arifin, bahwa syariah ( Hukum Islam ) terdiri atas bidang ibadah dan muammalah.12) Ibadah merupakan sarana manusia untuk berhubungan dengan Tuhannya. Sedangkan muammalah digunakan sebagai aturan main manusia dalam berhubungan dengan sesamanya. Muammalah inilah yang menjadi subyek paling luas yang harus digali manusia dari masa ke masa, karena seiring dengan perkembangan kebutuhan hidup manusia akan senantiasa berubah. Perilaku kehidupan individu dan masyarakat ditujukan ke arah bagaimana cara pemenuhan kebutuhan mereka dilaksanakan dan bagaimana menggunakan sumber daya yang ada. Hal inilah yang menjadi subyek yang dipelajari dalam ekonomi Islam sehingga implikasi ekonomi yang dapat ditarik dari ajaran Islam berbeda dari ekonomi tradisional. Dan sesuai dengan konsep prinsip dan variabel, sistem ekonomi Islam yang dilakukan sebagai suatu variabel haruslah sesuai dengan prinsip-prinsip ekonomi Islam.
Dalam hal perubahan masyarakat Indonesia dalam dunia perbankan , sistem syariah sebenarnya bukanlah suatu sistem yang baru karena telah dipraktekan sejak dahulu. Pada kenyataannya sistem syariah tidak dipergunakan di Indonesia, padahal komposisi penduduk di Indonesia mendukung untuk dilaksanakannya sistem tersebut. Barulah setelah tahun 90-an muncul rekomendasi untuk mempergunakan sistem syariah masuk ke dalam kegiatan lembaga keuangan, yang dalam prakteknya tidak hanya terbatas kepada dunia perbankan tetapi juga telah merambah dunia pasar uang.
Arah perubahan yang hendak dituju oleh para cendikiawan pencetus atau penggagas sistem syariah di Indonesia adalah untuk mewujudkan masyarakat (Islam) yang benar-benar sesuai dengan tuntunan Ilahi dalam segala aktifitasnya. Secara lebih konkret perubahan ini juga mencakup aspek ekonomi yang sangat luas dan besar pengaruhnya. Sehingga pada saatnya nanti prinsip-prinsip ekonomi Islam dapat diterapkan oleh masyarakat. Dalam ekonomi Islam yang menjadi tujuan utama tidak hanya terbatas kepada mencapai Profit oriented (keuntungan materi) namun juga mengusahakan agar teciptanya falah oriented, yakni mencari kemakmuran di dunia dan kebahagiaan di akhirat
Dalam konteks hukum, perubahan UU Perbankan merupakan salah satu sarana yang telah dipersiapkan oleh Pemerintah untuk memudahkan serta memperlancar interaksi sosial dalam bidang perbankan. Interaksi sosial yang biasanya dilakukan dengan berdasarkan UU Perbankan yang lama, seringkali menimbulkan konflik bagi para pelakunya. Konflik yang kerapkali terjadi selama ini menjadi hilang dengan lahirnya UU No. 10 Tahun 1998 tersebut. Hal ini disebabkan oleh karena UU Perbankan yang baru tersebut menjadi sarana atau alat yang mendorong masyarakat untuk tidak takut dan khawatir dalam melakukan interaksi, dalam hal ini bertransaksi di bank. Lebih lanjut L.L Fuller mengatakan, sebagaimana dikutip oleh Soerjono Soekanto :
“To interact meaningfully men require a social setting in which he moves of the participating players fall generally within some predictable pattern. To engage in effective social behavior men need the support of intermeshing anticipations that will let them know what their opposite number will do, or what will at least enable them to gauge the general scope of the repertory from which responses to their actions will be drawn.”.13)
Jika interaksi sosial telah berjalan sebagaimana mestinya, maka pada saat itu telah terjadi perubahan pola perilaku masyarakat Indonesia, khususnya dalam dunia perbankan. Perubahan perilaku ini merupakan point yang sangat penting dalam konteks arah perubahan.



Penutup
Sebagai penutup tulisan ini, beberapa hal yang dapat digarisbawahi adalah bahwa masyarakat secara umum dapat dikategorikan dua macam, yang pertama adalah masyarakat statis dan yang kedua adalah masyarakat dinamis. Masyarakat statis dimaksudkan sebagai masyarakat yang sedikit sekali mengalami perubahan dan berjalan secara lambat. Sedangkan masyarakat dinamis adalah masyarakat yang mengalami berbagai perubahan yang cepat. Perubahan-perubahan bukanlah semata-mata berarti suatu kemajuan namun dapat pula berarti kemuduran dari bidang-bidang kehidupan tertentu.
Perubahan sosial ( Masyarakat ) adalah suatu keniscayaan yang harus terjadi, sehingga bukanlah sesuatu yang luar biasa apabila dalam bidang perbankan di Indonesia mengalami hal yang serupa. Namun demikian setiap perubahan yang terjadi hendaknya melalui saluran-saluran yang tepat, sehingga maksud dan tujuan dari agenda perubahan tersebut tercapai secara maksimal. Banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat berakhir di tengah jalan karena mengalami proses yang prematur dan melalui saluran yang tidak tepat . Untuk dapat melihat hasil dari suatu perubahan sosial, apakah positif atau justru negatif, maka tergantung kepada sinkronisasi antara efektifitas menanamkan unsur-unsur yang baru, kekuatan-kekuatan yang menentang dari masyarakat dan kecepatan menanamkan unsur-unsur yang baru dalam masyarakat.
Perubahan-prubahan masyarakat yang terjadi dalam bidang perekonomian, dengan adanya UU Perbankan yang baru tersebut akan mempunyai implikasi terhadap lembaga-lembaga kemsyarakatan di bidang lain. Hal tersebut sangatlah lumrah dimana lembaga-lembaga kemsyarakatan tersebut bersifat interdependen, maka sulit sekali untuk mengisolasi perubahan pada lembaga-lembaga tertentu saja yang pada akhirnya akan terjadi proses saling mempengaruhi secara timbal balik antara lembaga kemasyarakatan di bidang ekonomi dengan lembaga kemsyarakatan di bidang non ekonomi..
Dalam hubungannya dengan UU No. 10 tahun 1998 sebagai salah satu unsur terpenting dari proses perubahan dalam dunia perbankan di Indonesia, maka keberadaan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat merupakan basis sosial yang sangat menentukan “hidup tidaknya” UU tersebut di tengah masyarakat. Oleh karenanya dalam proses pembentukan UU tersebut, para pengambil keputusan, baik Pemerintah maupun DPR, perlu memahami nilai dan kepentingan yang ada dalam masyarakat agar nilai yang ada dapat tertampung dalam UU tersebut dan sekaligus dapat mengatasi benturan kepentingan berbagai kelompok masyarakat. Keanekaragaman suku, budaya, agama, struktur dan status sosial di Indonesia sangat potensial untuk terjadinya benturan nilai dan kepentingan dalam pembentukan UU. Dengan begitu majemuknya negara Indonesia, maka keberadaan suatu peraturan harus diikuti dengan proses sosialisasi di masyarakat. Betapun bagusnya suatu peraturan tanpa dipahami oleh masyarakat maka akan sia-sia.
Suatu proses perubahan sosial juga tidak selalu didominasi kepada sesuatu hal yang baru, karena mungkin saja proses perubahan berjalan ke arah suatu fenomena yang sudah ada sejak lama dan hendak dihidupkan kembali untuk memenuhi kebutuhan masyarakat itu sendiri. Dengan demikian maka perubahan sosial diperlukan untuk memenuhi setiap kebutuhan masyarakat, baik kebutuhan primernya yang mencakup masalah spiritual maupun material, serta kebutuhan sekundernya. Kebuthan masyarakat senantiasa berkembang, dan oleh sebab itu perubahan dibutuhkan untuk menyesuaikan diri dalam upaya menjawab tantangan yang dihadapinya, baik yang berasal dari lingkungan sosial maupun dari lingkungan alam.

Daftar Pustaka
Al Maududi, Abul A’la, Riba,1951.
Arifin, Zainal, Prinsip-prinsip Ekonomi Islam, www.Tazkia.com, Edisi 8 Februari 2002.
Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek, Gema Insani Press 2001.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990.
Kusumaatmadja, Mochtar, Hukum, Masyarakat Dan Pembinaan Hukum nasional, Bina Cipta, 1976,
Samsul, Inosentius, Aspek Nilai Dan Kepentingan Dalam Pembentukan Undang-Undang Suatu Tinjauan Sosiologis, Era Hukum Jurnal Ilmu Hukum, 1996,
Soekanto, Soerjono, Fungsi Hukum Dan Perubahan Sosial, Citra Aditya Bakti, 1991,
_______________, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Press, 1990.
Vago, Steven, Law And Society, Kumpulan Artikel Sosiologi Oleh Winarno Yudho .



2 ) Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek, Gema Insani Press 2001, hal 25.
3 ) Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat Dan Pembinaan Hukum nasional, Bina Cipta, 1976, hal 5.
4 ) Abul A’la al-Maududi, Riba, 1951.
5 ) Mochtar Kusumaatmadja, Op.Cit, hal 5.
6 ) Inosentius Samsul, Aspek Nilai Dan Kepentingan Dalam Pembentukan Undang-Undang Suatu Tinjauan Sosiologis, Era Hukum Jurnal Ilmu Hukum, 1996, hal 64.
7 ) Soerjono Soekanto, Op.Cit, hal 345-349.
8 ) Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990.
9 ) Soejono Soekanto, Fungsi Hukum Dan Perubahan Sosial, Citra Aditya Bakti, 1991, hal 28.
10 ) Steven Vago, Law And Society, Kumpulan Artikel Sosiologi Oleh Winarno Yudho, hal 591.
11 ) Ibid.
12 ) Zaenal Arifin, Prinsip-prinsip Ekonomi Islam, www.Tazkia.com, Edisi 8 Februari 2002.
13 Soerjono Soekanto, Op.Cit, hal 49.