Sabtu, 22 Maret 2008

Seminar Falak Di Jakarta Islamic Center


FALAK RU’YAH
SYEIKH MUHAMMAD MUHADJIRIN AMSAR ADDARY
(Disampaikan Oleh H.M. Aiz Muhadjirin,SH,MH Dalam Seminar Songsong Ramadhan 1428 H “Kontribusi Ulama Betawi Terhadap Hisab Dan Ru’yah”, JIC, 11 September 2007)


Mukaddimah
Ilmu Falak sebagai sebuah cabang disiplin ilmu agama sejak berabad-abad lalu telah memiliki tempat yang khusus di hati sebagian umat Islam. Hal ini disebabkan karena Ilmu Falak sangat berperan dalam menentukan kapan mulainya suatu ibadah.
Begitu pentingnya Ilmu Falak sehingga berkembang begitu pesat dengan memunculkan berbagai macam metodologi yang saling mendukung dan melengkapi. Ilmu Falak saat ini tidak hanya “milik” umat Islam saja namun telah menjadi pusat perhatian seluruh umat beragama. Hal ini dikarenakan begitu pentingnya kedudukan dan manfaat ilmu tersebut.
Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa secara garis besar Ilmu Falak terbagi atas dua metodologi utama, yakni berdasarkan hisab dan ru’yah. Kedua metodologi tersebut sejak puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu telah menjadi kekuatan yang sangat dahsyat di bidang keilmuan karena telah diikuti atau diyakini oleh jutaan manusia. Meskipun demikian secara prinsip kedua metodologi tersebut (hisab dan ru’yah) tidak dapat dikatakan bertentangan namun justru saling melengkapi.
Syeikh Muhammad Muhadjirin Amsar Addary merupakan salah satu sosok ulama Betawi yang memiliki perhatian terhadap keberadaan Ilmu Falak , baik metodologi hisab maupun ru’yah.


Pendidikan Syeikh Muhammad Muhadjirin Amsar Addary
Secara umum beliau belajar dari berpuluh-puluh guru dengan berbagai disiplin ilmu, baik semasa di Indonesia maupun ketika berada di Mekkah (tersusun dalam lampiran khusus).
Pendidikan formal : Daarul ‘Ulum Mekkah
Adapun guru-guru beliau dalam Ilmu Falak ialah :
Guru Muhammad Manshur bin Abdul Hamid
Salah satu murid Guru Muhammad Manshur bin Abdul Hamid (yang kami tidak ketahui namanya)
Guru Abdul Majid
Syeikh Muhammad Yasin Al Falaki
Beberapa ulama di tanah suci Mekkah yang tidak disebutkan namanya .

Kitab-kitab Ilmu Falak yang dipelajari antara lain ialah :
Matan Washilah Al Thullab
Risalah Rub’ul Mujayyab
Risalah Mulakhos
Sulam Al Niroin
Ijtima dan Gerhana

Perjalanan Pelaksanaan Ru’yah Dari Waktu ke Waktu

Pelaksanaan ru’yah di Cakung dimulai sejak tahun 1936 yang dipimpin oleh Syeikh Muhammad Muhadjirin. Mulai tahun 1947 pelaksanaan ru’yah diteruskan oleh murid-murid beliau yang tidak lain merupakan adik-adik sepupu, yaitu KH.Abdul Hamid, KH.Abdul Halim, KH. Abdullah Azhari, KH. Abdul Salam.Hal ini disebabkan Syeikh Muhammad Muhadjirin telah memutuskan untuk berdiam di Mekkah guna menuntut ilmu.
Pada awalnya pelaksanaan ru’yah di Cakung hanya dilaksanakan sebanyak 6 kali setiap tahunnya, mulai bulan Rajab hingga Dzulhijjah. Namun apabila dianggap perlu pelaksanaan ru’yah pernah dilakukan setiap bulannya selama 7 tahun berturut-turut.
Pada tahun 1950, penerus Syeikh Muhammad Muhadjirin, yakni KH. Abdul Hamid, KH.Abdullah Azhari , dan KH. Abdul Salam berhasil melihat hilal awal bulan Syawal dengan ketinggian 2 derajat. Hasil ru’yah tersebut disyahkan oleh Pengadilan Agama Bekasi untuk “diitsbat” setelah terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan terhadap ke 3 peru’yah tersebut.
Pada tahun 1958, KH. Abdul Hamid, KH.Abdul Halim, dan KH. Abdul Salam berhasil melihat hilal awal bulan Dzulhijjah pada ketinggian 2,25 derajat. Hasil ru’yah tersebut disyahkan oleh Pengadilan Agama Jawa Barat. Berdasarkan hal tersebut KH. Zuber memasukan kejadian tersebut ke dalam buku karangannya yang berjudul “Al Khulashah Al Wafiyah”.
Pada tahun 1960, KH. Abdul Hamid dan kawan-kawan dengan disaksikan oleh KH. Hasbiallah dan KH. Sobri yang merupakan utusan dari Pengadilan Agama Jawa Barat serta KH. Asli Junaidi, berhasil melihat hilal dengan ketinggian 4 derajat. Pada saat itu terjadi kejadian yang luar biasa, dimana terjadi perubahan cuaca yang sangat cepat dari mendung tiba-tiba menjadi terang sehingga ru’yah dapat dilakukan.
Pada tahun 1991, delegasi ulama Malaysia yang terdiri dari ahli Fiqih dan ahli Hisab yang dipimpin oleh Prof. Dr.H. Abdul Hamid Abdul Majid berkunjung ke Indonesia untuk memperoleh penjelasan tentang pelaksanaan ru’yah hilal di Indonesia. Pengadilan Agama Bekasi memfasilitasi pertemuan antara delegasi Malaysia tersebut dengan ulama Jakarta Timur dan Bekasi, bertempat di Masjid Al Makmur, Klender. Menurut delegasi Malaysia tersebut, selama ini dalam menetapkan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha mereka selalu mengikuti Mekkah. Di Malaysia sendiri sebenarnya ada 28 lokasi ru’yah, namun baru berhasil 2 kali dengan ketinggian 8 derajat. Setelah berakhirnya pertemuan tersebut, pimpinan delegasi Malaysia tersebut menyatakan untuk mengikuti Indonesia dalam menetapkan awal Ramadhan, Syawal dan 10 Dzulhijjah. ( KH. Ma’ruf Amin : 1995, hal 76-78.)
Dalam kitab Misbah Al Zhulam Syarah Bulugh Al Maram, karangan Syeikh Muhammad Muhadjirin Amsar Addary, juz ke 3 halaman 187 dan 188 dikatakan bahwa : Hilal mungkin saja terlihat tanpa harus mencapai ketinggian 7 derajat atau lebih. Hal ini pernah terjadi di Mekkah saat beliau berada di kota tersebut.
Saat ini pelaksanaan ru’yah hilal masih terus berlanjut sesuai dengan pedoman serta petunjuk yang telah diajarkan oleh Syeikh Muhammad Muhadjirin Amsar Addary. Diantara penerusnya adalah KH. Ahmad Syafi’I ,Lc putra KH. Abdul Hamid serta salah seorang koleganya yang bernama KH. Yazid. Saat ini mereka berdua tetap aktif melakukan ru’yah hilal serta membimbing murid-muridnya di Cakung Jakarta Timur.

Ramadhan dan Syawal 1428 H
Berdasarkan perhitungan yang telah dikaji oleh tim Ilmu Falak, baik oleh murid-murid yang berdomisili di Bekasi maupun di Cakung, maka Insya Allah 1 Ramadhan 1428 H akan jatuh pada hari Kamis bertepatan dengan tanggal 13 September 2007. Adapun ketetapan 1 Syawal 1428 H, secara prinsip akan ditentukan oleh ru’yah hilal, yang menurut perhitungan tim Ilmu Falak Insya Allah akan jatuh pada hari Jum’at tanggal 12 Oktober 2007.


Penutup
Keberadaan Metodologi hisab dan ru’yah secara prinsip memiliki dalil yang kuat berdasarkan Hadits Rosululloh SAW. Menjadi sebuah keniscayaan sebagai seorang makhluk yang lemah, manakala dalam mengimplementasikan kedua metodologi tersebut masih memiliki keterbatasan. Keinsyafan dan keikhlasan akan sangat membantu mendudukan permasalahan secara proporsional, tanpa rasa “ta’ashub” yang membabibuta. Wallahua’lam bishowab.

Makna Idul Fitri

IDUL FITRI: MOMENTUM ISHLAH BAGI UMAT ISLAM

Oleh H.Muhammad Aiz Muhadjirin
(Khodim Rubbat Annida Al Islamy)

Perbedaan, pertikaian, pertengkaran, permusuhan, konflik adalah kata-kata yang senantiasa menghiasi nuansa kehidupan manusia. Menjadi suatu keniscayaan jika kita mengatakan bahwa rangkaian kata-kata tersebut merupakan bagian kelam atau “darkside” dari sebuah akibat penyaluran syahwat manusia yang dilakukan secara kebablasan. Oleh karena kata-kata tersebut hampir mustahil kita hindari maka akan menjadi suatu jihad besar apabila kita dapat mengakhiri kehidupan ini dengan kata-kata yang merupakan lawanan kata-kata sebelumnya, yakni perdamaian, ishlah, toleransi,ukhuwah, dan persatuan. Suatu pengikhtiaran yang tiada henti agar terwujudnya kata-kata tersebut guna tercapainya “husnul khatimah”.
Idul Fitri 1428 H saat ini adalah momentum yang sangat tepat dalam upaya merealisasikan tujuan mulia yakni mengencangkan tali silaturrahim di antara sesama saudara seagama. Salah satu sarana yang kerap dimanfaatkan oleh umat Islam di negeri ini adalah menggelar acara halah bihalal. Sebuah tradisi yang telah melekat pada sebagian masyarakat rumpun Melayu ini merupakan salah satu bentuk dalam upaya mengimplementasikan Firman Allah SWT dalam Surat Ali ‘Imran ayat 103 dan 134: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai…”. “( Yaitu) orang –orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”.
Makna kata halal bihalal sesungguhnya telah mengalami suatu transformasi pribumisasi makna dari pemahaman awalnya yang merupakan bahasa Arab. Menurut Prof.Quraish Shihab halal bihalal merupakan kata majemuk dari dua kata bahasa Arab ‘halal’ yang diapit dengan satu kata penghubung ‘ba’ (dibaca bi ). Meskipun kata tersebut berasal dari bahasa Arab, sejauh pengetahuan penulis masyarakat Arab sendiri tidak memahami arti halal bihalal yang merupakan hasil kreativitas bangsa Melayu.



Esensi Halal bihalal
Memaafkan secara lahir batin secara ikhlas tanpa basa basi, mungkin adalah rangkaian kata tersingkat untuk dapat mengartikan makna yang terkandung dalam kata halal bihalal. Ucapan kata “maaf” mungkin saja terucap ribuan kali melalui bibir kita, namun ribuan kali pula esensi hakiki dari kata “maaf” itu menguap. Saling memaafkan merupakan perkara yang sulit untuk diterka karena telah menyentuh masalah hati manusia. Pepatah yang mengatakan “dalamnya laut dapat ditebak, dalamnya hati manusia siapa tahu?” adalah salah satu bukti sulitnya menebak hati manusia. Untuk itu, mungkin yang harus dipersiapkan oleh kita semua adalah kesiapan mental untuk dapat mengucapkan kata “maaf” dan menerima kata “maaf” dari orang lain secara tulus dan ikhlas. Sifat egois, takabur, dan ‘ujub merupakan salah satu sifat yang dapat mengunci hati kita untuk dapat memfaafkan secara ikhlas, dan untuk itu sedapat mungkin harus diminimalkan sampai pada akhirnya dihilangkan.
Rasulullah Muhammad SAW dalam berbagai kesempatan telah mengajarkan kepada kita bahwa memaafkan orang lain adalah salah satu karakter Islam yang sesungguhnya. Hal ini dapat kita baca dalam tarikh Islam, saat Nabi Muhammad SAW bersama pasukannya berhasil menundukan kota Mekkah. Tiada dendam yang dilampiaskan oleh Nabi Muhammad SAW kepada musuh-musuhnya. Kisah ketauladan yang dipraktekan oleh Nabi seharusnya menjadi I’tibar yang nyata bagi kita semua selaku umatnya (yang mudah-mudahan senantiasa diberi akal sehat untuk berfikir).
Hari Raya Idul Fitri secara substansi dapat pula kita upayakan menjadi “yaumul marhamah” dimana seluruh umat Islam dapat saling mencintai di antara sesama yang pada akhirnya perdamaian, ishlah, toleransi,ukhuwah, dan persatuan lebih dikedepankan dibandingkan dengan perbedaan, pertikaian, pertengkaran, permusuhan, dan konflik. Semoga. Taqabbalallahu minna wa minkum minal ‘aaidin wal faaizin

Kamis, 20 Maret 2008

Madarasah ku sayang madrasah ku malang

Menyimak tulisan saudara Ki Supriyoko yang berjudul “Masa Depan Madrasah di Indonesia” tanggal 12 Agustus 2004 di Koran Media Indonesia yang lalu, semakin membukakan mata kita bahwa ada suatu lembaga pendidikan di negara Indonesia ini yang masih membutuhkan “legitimasi” keberadaaannya di mata Pemerintah. Persoalan belum disejajarkannya kedudukan Madrasah dibandingkan dengan Sekolah pada umumnya, seperti SLTP, SMU, maupun SMK, menjadi pertanyaan yang sangat mendasar yang dapat kita ajukan kepada para calon pemimpin bangsa yang sebentar lagi akan kita pilih.
Dunia pendidikan, di belahan bumi manapun pasti tidak akan pernah terlepas dari pengaruh kekuasaan. Sejak bangsa ini dijajah ratusan tahun yang lalu, proses marginalisasi pendidikan telah dilakukan. Namun demikian sangatlah tidak pantas apabila kita menyamaratakan maksud dan tujuan Pemerintah Kolonial dengan Pemerintah Indonesia saat ini, yang dirasakan oleh sebagian besar para pengelola Madrasah, dimana masih tetap melakukan proses marginalisasi terhadap suatu lembaga pendidikan yang bernama Madrasah.
Akar Berdirinya Madrasah
Secara historis perkembangan Madrasah di Indonesia tidak terlepas dari pada perkembangan dunia Pesantren. Madrasah merupakan bentuk "kompromi" Pesantren dengan Pemerintah, dengan tujuan dan harapan agar mendapatkan “pengakuan” sebagai sebuah lembaga pendidikan yang lulusannya dapat diterima serta memenuhi kebutuhan pasar. Sikap “kompromi” inilah yang menjadi sebab lemahnya para lulusan Madrasah, walaupun di sisi lain tidak dipungkiri terdapat pula hal positif yang dapat diraih. Sebagaimana disebutkan dalam tulisan Ki Supriyoko, bahwa banyak para orang tua kecewa dengan hasil didikan Madrasah karena hanya menghasilkan lulusan yang “serba setengah” (setengah memahami agama-setengah memahami pengetahuan umum). Para lulusan yang “serba setengah” inilah yang menjadi pijakan bagi masyarakat dalam menilai lemahnya para lulusan Madrasah.
Perbandingan Madrasah dengan Sekolah Umum
Pada mulanya secara struktur antara Madrasah dengan Sekolah Umum memiliki jalur organisasi yang berbeda. Madrasah menginduk kepada Departemen Agama sedangkan Sekolah Umum menginduk kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (saat ini Depdiknas). Dualisme yang terjadi secara langsung maupun tidak langsung mencipatkan “korban” di salah satu pihak yang kedudukan lebih lemah. Hal inilah yang terjadi mengapa dalam permasalahan anggaran pendidikan selalu yang diutamakan adalah Sekolah Umum. Penulis tidak bermaksud untuk mengatakan kedudukan Depdiknas lebih kuat di bandingkan Depag dalam urusan pendidikan, tetapi kenyataannya terjadi seperti itu.
Persaingan global saat ini menuntut semua pihak pengelola sekolah (Madrasah maupun Sekolah Umum) untuk terus meningkatkan kualitas lulusannya. Hal itu menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi agar keberadaan sebuah lembaga pendidikan tetap eksis dan diakui oleh masyarakat pada umumnya. Persaingan yang terjadi di antara para pelajar di Indonesia saat ini untuk dapat menjadi pelajar yang berkualitas nanpaknya hanya akan semakin membenamkan wajah Madrasah. Faktor ketidakadilan anggaran yang dialokasikan untuk Madrasah dan Sekolah Umum sangat jarang sekali dijadikan wacana untuk dicarikan solusinya. Masyarakat kita hanya tertuju melihat hasil tanpa pernah mau melihat proses yang terjadi. Bagaimana kita dapat “memvonis” bahwa sebagian besar Madrasah di Indonesia tidak memiliki mutu, sedangkan kita tidak pernah sekalipun mencoba untuk mengetahui proses mengapa Madrasah menjadi tidak bermutu?
Madrasah di Masa Mendatang
Proses kematangan pendidikan di Indonesia bukan lagi merupakan harapan akan tetapi sudah merupakan tuntutan yang dipenuhi. Keberadaan Madrasah, sebagai salah satu lembaga pendidikan di Indonesia sudah sepatutnya mendapatkan porsi perhatian yang lebih. Bukan lagi zamannya bagi Pemerintah (Depdiknas) untuk bertindak tidak adil terhadap sesama pengelola lembaga pendidikan. Masyarakat Indonesia yang sangat majemuk merupakan faktor utama yang harus diperhatikan oleh para “stake holder” di dunia pendidikan Indonesia, bahwa tidak sedikit masyarakat yang lebih mempercayai lembaga pendidikan Madrasah di banding dengan lembaga pendidikan lainnya. Haruskah masyarakat ini terus menjadi korban ketidakadilan para pengambil kebijakan ?
Menurut hemat penulis, Pemerintah seharusnya berani bertindak ksatria di dalam menentukan arah pendidikan di Indonesia. Jika memang Madrasah dinilai tidak memiliki out put yang baik, bubarkan atau bekukkan saja keberadaan Madrasah di seluruh tanah air. Sebaliknya, jika Pemerintah masih memandang perlu dengan keberadaan Madrasah sudah waktunya (belum terlalu terlambat) untuk memposisikan kedua lembaga pendidikan tersebut (Madrasah dan Sekolah Umum) pada posisi yang sejajar dalam segala bidang. Dengan demikian pada akhirnya masyarakat akan menilai dan memutuskan akan diarahkan kemana anak bangsa untuk dididik hari esok.

Rabu, 19 Maret 2008

Masjid Kudus


Di menara Kudus
Tidak banyak yang aku dapat ucapkan
Selain Takjub atas perjuangan mu
Wahai Waliyullah
Izinkan aku bersama mu dan para syuhada

Walisongo

Di penghujung tahun 2007, saya bersama-sama dengan teman-teman pimpinan pondok pesantren di Kota Bekasi melakukan "Rihlah" untuk berziarah ke makam waliyullah. Perjalanan yang dimulai dari makam Sunan Gunung Djati, yang dilanjutkan ke Sunan Kalijaga di Demak. Saat itu jam sudah menunjukan hampir tengah malam. Dan kami memutuskan untuk melanjutkan sampai di Kudus, baru setelah itu kami beristirahat di salah satu kenalan teman kami. Ba'da shubuh kami langsung berziarah ke makam Sunan Kudus yang bersebelahan dengan tempat yang singgahi sekedar untuk memejamkan mata. Di pagi yang cukup cerah kami lanjutkan perjalanan menuju Gunung Muria dan setelah selesai menziarahi salah satu makam yang tertinggi itu kami melanjutkan menuju Tuban. Sebelum sampai di alun-alun Tuban untuk berziarah ke makam Sunan Bonang, terlebih dahulu kami singgah di salah satu petilasan Sunan Bonang dan Putri Cempo di bibir pantai utara Tuban. Tidak terasa waktu pun telah kembali tertelan malam. Kami berupaya agar sebelum lewat tengah malam sudah berada di makam Sunan Giri. Alhamdulillah berhasil. Lalu dilanjutkan menuju makam Sunan Drajat. Kami pun terus melangkah seiring berputarnya roda bus Prima Jasa yang kami sewa menuju ke Gresik. Kami tiba di Gresik di pertengahan malam dan langsung berziarah ke makam Sunan Maulana Malik Ibrahim. Belum puas rasanya kalau belum menuntaskan napak tilas sembilan wali, lalu kami pun berangkat menuju Ampel untuk menziarahi makam Sunan Ampel di Surabaya. Saat itu waktu menunjukan pukul 3 dini hari. Kami selesai persis menjelang sholat shubuh. Khatamlah sudah niat kami untuk mengunjungi para Waliyullah di tanah Jawa. Untuk menuntaskan misi kami, maka kami putuskan untuk kembali ke Bekasi melalui Blitar, sekaligus menengok makam sang proklamator tercinta, Bung Karno.
Demikian perjalanan 4 hari 3 malam yang telah kami lalui. Banyak kenangan manis, lucu, berkesan dan lainnya yang sangat indah. Tentunya saya tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada Bapak Rahmat Effendi yang telah memberikan bantuan untuk terlaksananya perjalanan tersebut.