Senin, 09 Juni 2008

Ahmadiyah & SBY

Hari Senin ini, tanggal 9 Juni 2008, Pemerintah telah mengeluarkan SKB 3 Menteri, yakni Mendagri, Menag, dan Jaksa Agung tentang Peringatan Keras terhadap Ahmadiyah. Keluarnya SKB ini nampaknya semakin menunjukan ketidaktegasan dari Pemerintah untuk melarang atau justru "menghalalkan" Jamaah Ahmadiyah di Indonesia.
Kasus tragedi 1 Juni 2008 di Monas merupakan suatu kejadian yang sangat membingungkan. Hal ini dapat kita rasakan meskipun sulit untuk dibuktikan, karena "tercipta" tidak lama berselang kenaikan harga BBM yang mendapat "cacian" dari sebagian masyarakat Indonesia.
Dunia intelejen, bagi kita orang awam memang sulit untuk ditelusuri. Namun demikian, keanehan demi keanehan, baik dengan belum tertangkapnya Munarman, maupun demo-demo yang setiap hari terjadi pasca insiden Monas semakin menguatkan"rasa" adanya sesuatu yang ganjil. Rasa adalah sesuatu yang dapat kita ucapkan dan nikmati, namun mustahil untuk dapat dipertontonkan wujud dari "rasa" tadi.
Ahmadiyah jelas telah melakukan penodaan terhadap faham mayoritas umat Islam di seluruh belahan dunia manapun. Oleh karenanya ketegasan SBY sebagai panglima Pemerintahan Indonesia seharusnya lebih dapat "dirasakan"oleh para orang-orang yang telah memilihnya pada tahun 2004 yang lalu. Hemat saya, mungkin inilah kelemahan dari sang Jenderal tersebut, yakni terlalu lamban dalam bersikap sehingga persoalan Ahmadiyah pun tidak dijawab dan tegas sebagaimana tercermin dari SKB para pembantunya.
Sukses dan selamat saya ucapkan kepada aktor-aktor di belakang layar atas berpindahnya isu utama dari BBM menjadi Ahmadiyah dan FPI!!!!!

Rabu, 04 Juni 2008

Madrasahku Sayang....Madrasahku Malang...

Madrasahku Sayang…Madrasahku Malang…
Mohammad Aiz Muhadjirin,SH,MH
Guru Madrasah


Menyimak tulisan saudara Ki Supriyoko yang berjudul “Masa Depan Madrasah di Indonesia” tanggal 12 Agustus 2004 di Koran Media Indonesia yang lalu, semakin membukakan mata kita bahwa ada suatu lembaga pendidikan di negara Indonesia ini yang masih membutuhkan “legitimasi” keberadaaannya di mata Pemerintah. Persoalan belum disejajarkannya kedudukan Madrasah dibandingkan dengan Sekolah pada umumnya, seperti SLTP, SMU, maupun SMK, menjadi pertanyaan yang sangat mendasar yang dapat kita ajukan kepada para calon pemimpin bangsa yang sebentar lagi akan kita pilih.
Dunia pendidikan, di belahan bumi manapun pasti tidak akan pernah terlepas dari pengaruh kekuasaan. Sejak bangsa ini dijajah ratusan tahun yang lalu, proses marginalisasi pendidikan telah dilakukan. Namun demikian sangatlah tidak pantas apabila kita menyamaratakan maksud dan tujuan Pemerintah Kolonial dengan Pemerintah Indonesia saat ini, yang dirasakan oleh sebagian besar para pengelola Madrasah, dimana masih tetap melakukan proses marginalisasi terhadap suatu lembaga pendidikan yang bernama Madrasah.
Akar Berdirinya Madrasah
Secara historis perkembangan Madrasah di Indonesia tidak terlepas dari pada perkembangan dunia Pesantren. Madrasah merupakan bentuk "kompromi" Pesantren dengan Pemerintah, dengan tujuan dan harapan agar mendapatkan “pengakuan” sebagai sebuah lembaga pendidikan yang lulusannya dapat diterima serta memenuhi kebutuhan pasar. Sikap “kompromi” inilah yang menjadi sebab lemahnya para lulusan Madrasah, walaupun di sisi lain tidak dipungkiri terdapat pula hal positif yang dapat diraih. Sebagaimana disebutkan dalam tulisan Ki Supriyoko, bahwa banyak para orang tua kecewa dengan hasil didikan Madrasah karena hanya menghasilkan lulusan yang “serba setengah” (setengah memahami agama-setengah memahami pengetahuan umum). Para lulusan yang “serba setengah” inilah yang menjadi pijakan bagi masyarakat dalam menilai lemahnya para lulusan Madrasah.
Perbandingan Madrasah dengan Sekolah Umum
Pada mulanya secara struktur antara Madrasah dengan Sekolah Umum memiliki jalur organisasi yang berbeda. Madrasah menginduk kepada Departemen Agama sedangkan Sekolah Umum menginduk kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (saat ini Depdiknas). Dualisme yang terjadi secara langsung maupun tidak langsung mencipatkan “korban” di salah satu pihak yang kedudukan lebih lemah. Hal inilah yang terjadi mengapa dalam permasalahan anggaran pendidikan selalu yang diutamakan adalah Sekolah Umum. Penulis tidak bermaksud untuk mengatakan kedudukan Depdiknas lebih kuat di bandingkan Depag dalam urusan pendidikan, tetapi kenyataannya terjadi seperti itu.
Persaingan global saat ini menuntut semua pihak pengelola sekolah (Madrasah maupun Sekolah Umum) untuk terus meningkatkan kualitas lulusannya. Hal itu menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi agar keberadaan sebuah lembaga pendidikan tetap eksis dan diakui oleh masyarakat pada umumnya. Persaingan yang terjadi di antara para pelajar di Indonesia saat ini untuk dapat menjadi pelajar yang berkualitas nanpaknya hanya akan semakin membenamkan wajah Madrasah. Faktor ketidakadilan anggaran yang dialokasikan untuk Madrasah dan Sekolah Umum sangat jarang sekali dijadikan wacana untuk dicarikan solusinya. Masyarakat kita hanya tertuju melihat hasil tanpa pernah mau melihat proses yang terjadi. Bagaimana kita dapat “memvonis” bahwa sebagian besar Madrasah di Indonesia tidak memiliki mutu, sedangkan kita tidak pernah sekalipun mencoba untuk mengetahui proses mengapa Madrasah menjadi tidak bermutu?
Madrasah di Masa Mendatang
Proses kematangan pendidikan di Indonesia bukan lagi merupakan harapan akan tetapi sudah merupakan tuntutan yang dipenuhi. Keberadaan Madrasah, sebagai salah satu lembaga pendidikan di Indonesia sudah sepatutnya mendapatkan porsi perhatian yang lebih. Bukan lagi zamannya bagi Pemerintah (Depdiknas) untuk bertindak tidak adil terhadap sesama pengelola lembaga pendidikan. Masyarakat Indonesia yang sangat majemuk merupakan faktor utama yang harus diperhatikan oleh para “stake holder” di dunia pendidikan Indonesia, bahwa tidak sedikit masyarakat yang lebih mempercayai lembaga pendidikan Madrasah di banding dengan lembaga pendidikan lainnya. Haruskah masyarakat ini terus menjadi korban ketidakadilan para pengambil kebijakan ?
Menurut hemat penulis, Pemerintah seharusnya berani bertindak ksatria di dalam menentukan arah pendidikan di Indonesia. Jika memang Madrasah dinilai tidak memiliki out put yang baik, bubarkan atau bekukkan saja keberadaan Madrasah di seluruh tanah air. Sebaliknya, jika Pemerintah masih memandang perlu dengan keberadaan Madrasah sudah waktunya (belum terlalu terlambat) untuk memposisikan kedua lembaga pendidikan tersebut (Madrasah dan Sekolah Umum) pada posisi yang sejajar dalam segala bidang. Dengan demikian pada akhirnya masyarakat akan menilai dan memutuskan akan diarahkan kemana anak bangsa untuk dididik hari esok.