Selasa, 22 Juli 2008

SISTEM PERBANKAN INDONESIA DALAM PERSPEKTIF
TEORI HUKUM ALAM
H.Muhammad Aiz,SH,MH

ABSTRACT

Indonesian banking law based on Law No.10 of 1998 is a product of politics that is concerned with the religion aspect. Most of Indonesian people are moslems. Syariah banking system is a solution. There is a relationship between law, politic, and religion. Domestic aspects such as historical, cultural, and religion backgrounds contribute a nuance in the legislation and application of syariah banking system. This article is to discuss the Indonesian banking law based on natural law theory perspective.

Pendahuluan
Fenomena perekonomian dunia telah berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan perkembangan jaman dan perubahan teknologi informasi yang berkembang pesat. Banyak nilai-nilai baru yang dibentuk namun sulit untuk menentukan mana yang benar dan mana salah, sehingga terkadang membawa kebaikan namun adakalanya menyesatkan. Globalisasi ekonomi yang diwarnai dengan bebasnya arus barang modal dan jasa, serta perdagangan antar negara, telah mengubah suasana kehidupan menjadi individualistis dan persaingan yang amat ketat.
Ketidakseimbangan ekonomi global, dan krisis ekonomi yang melanda Asia khususnya Indonesia adalah suatu bukti bahwa asumsi diatas salah total bahkan ada sesuatu yang tidak beres dengan sistem yang kita anut selama ini. Adanya kenyataan sejumlah besar bank ditutup, di-take-over, dan sebagian besar lainnya harus direkapitulasi dengan biaya ratusan trilliun rupiah dari uang negara yaitu sekitar 635 triliun rupiah, maka rasanya amatlah besar dosa kita bila tetap berdiam diri dan berpangku tangan tidak melakukan sesuatu untuk memperbaikinya.
Sekarang saatnya kita menunjukkan bahwa muamalah syariah dengan filosofi utama kemitraan dan kebersamaan (sharing) dalam profit dan risk dapat mewujudkan kegiatan ekonomi yang lebih adil dan transparan. Sekaligus pula membuktikan bahwa dengan sistem perbankan syariah, kita dapat menghilangkan wabah penyakit negative spread (keuntungan minus) dari dunia perbankan.
Sudah cukup lama umat Islam di seluruh dunia, termasuk di Indonesia mengharapkan munculnya sistem perekonomian yang berbasis pada nilai dan prinsip agama, atau yang lebih dikenal dengan istilah” syariah” (Islamic economic system) untuk dapat diaplikasikan dalam segenap aspek kehidupan bisnis dan transasksi umat.
Dalam tulisan ini akan dikemukakan berbagai aspek permasalahan dalam bidang perekonomian, khususnya perbankan yang mana merupakan jantungnya perekonomian sebuah negara, dalam kaitannya dengan perspektif Teori Hukum Alam (irasional). Peraturan perundang-undangan dalam dunia perbankan yang dibuat oleh Pemerintah tentunya bermuara kepada satu tujuan yaitu keadilan, dimana mengupayakan agar masyarakat secara keseluruhan, baik yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam kegiatan perbankan (pemilik bank dan nasabah) dapat merasakan manfaat yang pada akhirnya kesejahteraan masyarakat tersebut akan meningkat. Salah satu tujuan negara Indonesia sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 alenia ke-4 adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Untuk mencapai tujuan tersebut tentunya berbagai macam sumber dapat dijadikan rujukan, termasuk sudut pandang agama (Islam) yang merupakan salah satu bagian dari Teori Hukum Alam..
Ada sebagian anggota masyarakat, baik pakar maupun orang awam, yang beranggapan agama (Islam) tidak berurusan dengan dunia perbankan dan pasar uang. Hal ini disebabkan adanya asumsi bahwa agama (Islam) adalah dunia putih sedangkan bank dan pasar uang adalah dunia hitam yang penuh tipu daya dan kelicikan. Oleh karena itu tidaklah mengherankan bila pakar dan pelaku ekonomi melihat agama (Islam) dengan sistem nilai dan tatanan normatifnya (Al-Qur’an dan Hadits) sebagai faktor penghambat pembangunan (an obstacle to economic growth). Penganut paham liberalisme dan pragmatisme sempit ini menilai bahwa kegiatan ekonomi dan keuangan akan semakin meningkat dan berkembang bila dibebaskan dari nilai-nilai normatif dan rambu Ilahi.

Teori Hukum Alam.
Kepercayaan bahwa keadilan yang menjadi bagian integral dari hukum merupakan cahaya penuntun lahirnya teori Hukum Alam. Teori Hukum Alam sebenarnya telah berkembang sejak ribuan tahun yang lalu. Dilihat dari sejarahnya menurut Friedmann teori ini timbul karena kegagalan umat manusia dalam mencari keadilan yang absolut. Secara sederhana, Teori Hukum Alam dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu irasional dan rasional. (Darji Darmodihardjo & Shidarta,1996). Teori Hukum Alam yang irasional berpendapat bahwa hukum yang berlaku universal dan abadi bersumber dari Tuhan secara langsung Sedangkan yang rasional lebih mengedepankan rasio manusia sebagai sumber hukum tersebut.
Agama bagi manusia adalah sebagai satu kepercayaan. Konsep agama adalah amat luas menyelubungi keseluruhan corak hidup manusia. Manusia telah dicipta dengan akal sebagai alat untuk berpikir, dan agama sebagai pembimbing dalam berpikir itu. Dengan itu, konsep kepercayaan dan agama tidak boleh terpisah atau dipisahkan untuk mencari sesuatu jawapan mengenai kehidupan.
Hukum yang diperkenalkan Al-Qur'an bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, tapi merupakan bagian integral dari akidah. Akidah tentang Allah yang menciptakan alam semesta, mengaturnya, memeliharanya dan menjaganya sehingga segala makhluk itu menjalani kehidupannya masing-masing dengan baik dan melakukan fungsinya masing-masing dengan tertib. Hukum Allah meliputi segenap makhluk (alam semesta).
Salah seorang pendukung Teori Hukum Alam irasional adalah Thomas Aquinas., yang mendasarkan pemikirannya dengan persoalan teologia. Menurutnya ada pengetahuan yang tidak dapat ditembus oleh akal, dan untuk itulah diperlukan iman.Ia juga mengakui bahwa disamping kebenaran wahyu juga terdapat kebenaran akal. Berbicara tentang hukum, Aquinas mendefinisikannya sebagai ketentuan akal untuk kebaikan umum, yang dibuat oleh orang yang mengurus masyarakat. Menurutnya ada 4 macam hukum, yaitu : (1) lex aeterna (hukum rasio Tuhan yang tidak dapat ditangkap oleh pancaindera manusia, (2) lex divina (hukum rasio Tuhan yang dapat ditangkap oleh pancaindera manusia, (3) lex naturalis ( hukum alam, yaitu penjelmaan lex aeterna ke dalam rasio manusia), dan (4) lex positivis (penerapan lex naturalis ke dalam kehidupan manusia di dunia). Secara lebih lengkap Friedmann menggambarkan pemikiran Aquinas sebagai berikut :
“Sejak dunia diatur oleh ketentuan-ketentuan yang ditetapkan Tuhan, seluruh masyarakat di alam semesta daitur oleh akal yang berasal dari Tuhan. Hukum Tuhan berada di atas segalanya. Sekalipun demikian, tidak seluruh hukum Tuhan dapat diperoleh manusia. Bagian semacam ini dapat dimengerti oleh manusia dan diungkapkan melalui hukum abadi sebagai penjelmaan kearifan Tuhan yang mengatur segala tindakan dan pergerakan. Manusia sebagai mahluk yang berakal menerapkan bagian dari hukum Tuhan sehingga dapat membedakan yang baik dan yang buruk. Hukum manusia merupakan bagian dan bidang kecil dari kekuasaan Tuhan.”(Darji Darmodihardjo & Shidarta, 1996 ).

Jika Aquinas mengakui kemampuan rasio manusia untuk mengungkapkan kebenaran, maka filusuf lainnya, Occam berpendapat rasio manusia tidak dapat memastikan kebenaran sehingga diperlukan keyakinan akan suatu kepercayaan (iman). Para penganut Teori Hukum Alam menemukan basis hukumnya adalah sesuatu di luar kontrol manusia atau sesuatu yang mengikat pembuat hukum baik individual maupun kelompok dan memaksakan apakal kita suka atau tidak. Dalam kenyataan di zaman modern saat ini agama akan semakin penting untuk menjadi pedoman dalam beraktivitas sehingga “kegersangan” hati akan tersirami nilai-nilai ketuhanan yang tercermin dalam peraturan perundang-undangan.
Joseph Schumpeter menyebut dua kontribusi ekonom scholastic, yaitu penemuan kembali tulisan-tulisan Aristoteles dan “Towering Achievement” St. Thomas Aquinas. Schumpeter hanya menulis tiga baris dalam catatan kakinya nama Ibnu Rusyd dalam kaitan proses transmisi pemikiran-pemikiran Aristoteles ke Aquinas. Pemikiran-pemikiran Aquinas sendiri bnayk yang bertentangan dengan dogma-dogma gereja, sehingga para sejarahwan menduga bahwa Aquinas mencuri ide-ide tersebut dari para ekonom Islam. Menurut Harris, tanpa pengaruh peripatetisisme orang Arab, teologi Aquinas sama sekali tak terpahami seperti filsafatnya (C.R.S. Harris & Dunn Scotus, 1959).
Sebuah ajaran yang melandaskan kepada nilai-nilai agama dalam perjalanan waktu tidak akan pernah punah selama masih ada manusia yang meyakini terhadap nilai –nilai agama tersebut. Di Indonesia Teori Hukum Alam Irasional mendapatkan tempat tersendiri di hati sebagian masyarakat, tak terkecuali umat Islam. Apabila kita melihat sejarah negara Indonesia yang pernah dijajah oleh Belanda, maka akan dapat terlihat nilai-nilai agama (kristen) dalam berbagai macam bentuk peraturan yang dibuat oleh penjajah Belanda sebagai salah satu pedomannya. Dalam sejarah kemerdekaan negara Indonesia tidak sedikit nilai-nilai agama yang dijadikan sumber peraturan perundang-undangan. Tidak hanya sampai di taraf peraturan, bahkan
dasar negara Republik Indonesia yakni Pancasila memasukan nilai agama tersebut pada tingkatan yang tertinggi, sebagaimana tertulis dalam sila pertama”Ketuhanan Yang Maha Esa”. Selain yang tertulis dalam Pancasila, nilai-nilai agama juga masih dapat terlihat dalam Pembukaan UUD 1945. Dengan demikian negara Indonesia terlahir penuh dengan nilai-nilai agama di dalamnya.
Di samping hal-hal yang bersifat sebagai “Grundnorm” nilai agama pun telah menyentuh berbagai aspek kehidupan masyarakat di Indonesia. Mulai dari masalah hubungan kekeluargaan seperti perkawinan, perceraian dan lain-lain, sampai masalah lingkungan, keuangan dan bisnis. Dalam bidang keuangan dan bisnis nilai-nilai agama (Islam) telah memasuki bidang tersebut, sebagai contoh di bidang asuransi, perbankan, pajak (zakat) dan lainnya.
Dalam agama Islam, secara umum tugas kekhalifahan manusia adalah tugas untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan dalam kehidupan serta tugas pengabdian atau ibadah dalam arti luas. Untuk menunaikan tugas tersebut, Allah memberi manusia dua anugrah, yaitu “sistem kehidupan” dan “sarana kehidupan”. Sistem kehidupan adalah seluruh aturan kehidupan manusia yang bersumber pada Al Qur’an dan Hadits. Aturan tersebut berbentuk keharusan melakukan atau sebaiknya melakukan sesuatu, juga dalam bentuk larangan melakukan sesuatu atau sebaiknya menoinggalkan sesuatu. Aturan-aturan tersebut dimaksudkan untuk menjamin keselamatan manusia sepanjang hidupnya, baik yang menyangkut keselamatan agama, keselamatan diri, keselamatan akal, keselamatan harta benda, maupun keselamatan keturunan.
Pelaksanaan Islam sebagai way of life secara konsisten dalam semua kegiatan kehidupan, akan melahirkan sebuah tatanan kehidupan yang baik. Sebaliknya, menolak aturan itu atau sama sekali tidak memiliki keinginan untuk mengaplikasikannya dalam kehidupan, akan melahirkan kekacauan dalam kehidupan sekarang maupun yang akan datang.
Teori-teori ekonomi modern, termasuk perbankan, sebenarnya merupakan teori-teori yang yang ditulis oleh para ekonom muslim pada zaman kejayaan Islam. Tentunya teori-teori tersebut tidak terlepas daripada nilai-nilai agama Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits. Namun sayangnya hal ini tidak diketahui oleh masyarakat Islam itu sendiri, karena para ekonom barat yang melakukan plagiat tersebut sama sekali tidak menyebut referensinya berasal dari kitab-kitab klasik keilmuan Islam.(Zainul Arifin, 2000).
Josep Schumpeter mengatakan adanya great gap dalam sejarah pemikiran ekonomi selama lebih dari 500 tahun, yaitu masa yang dikenal sebagai Dark Ages. Masa kegelapan barat tersebut sebenarnya adalah masa kegemilangan Islam, suatu kenyataan yang berusaha mereka tutup-tutupi karena pemikiran-pemikiran ekonomi Islam pada waktu itu yang kemudian banyak dicuri oleh para ekonom barat. (Zainul Arifin,2000).
Para ekonom Islam sendiri mengakui banyak membaca dan dipengaruhi oleh tulisan-tulisan Aristoteles sebagai filusuf yang banyak menulis masalah-masalah ekonomi, namun tetap menjadikan Al Qur'an dan Hadits sebagai rujukan utama mereka dalam menulis teori-teori ekonomi Islam. Beberapa institusi ekonomi yang ditiru oleh barat dari dunia Islam antara lain ialah Syirkah (serikat dagang), Suftaja (bills of exchange), Hawala (letters of credit), Funduq (specialized large scale commercial institutions and markets which developed into virtual stock exchange) (Subhi Labib, 1969).
Konsep Islam dalam berekonomi telah mengalami masa kemunduran yang cukup panjang sejak zaman keemasannya. Proses kemunduran itu sendiri – boleh dikatakan akibat adanya ‘pemarginalan’ atau ‘pembusukan’ sistematis dari dalam -- konsep ekonomi Islam yang berlangsung seiring kemunduran peradaban Islam di atas muka bumi. Yaitu suatu titik balik dari kemajuan luar biasa yang pernah dicapai pada masa lalu yang kemudian masih redup perkembangannya hingga awal millenium ketiga ini.
Kemunduran ekonomi umat Islam di permukaan bumi ini sebenarnya berlangsung beriringan dengan lahirnya mazhab ekonomi kapitalistik yang menawarkan konsep pemujaan terhadap materialisme – saluran yang sangat pas dengan kebutuhan nafsu pemanjaan selera kemanusiawian dan syahwat harta-benda -- dengan tanpa atau longgarnya kendali moralitas agama (iman). Dengan kata lain, ‘candu’ kapitalistik bukanlah konsep yang lahir dari sebuah kesadaran keyakinan (iman) terhadap ajaran-ajaran yang bersumber dari wahyu sebagaimana halnya konsep berekonomi dalam Islam.
Bahwa mazhab ekonomi kapitalistik yang lahir dari kesadaran pemberhalaan syahwat materialisme masyarakat Barat selanjutnya mencapai perkembangan yang cukup pesat, dan berimplikasi negatif pada perkembangan praktek ekonomi yang menganut prinsip-prinsip Islam. Perkembangan ekonomi Islam yang pernah berjaya dan diyakini umat muslim sebagai jalan keselamatan hidupnya di dunia dan akhirat itu sekonyong-konyong ditinggalkan dan berubah menjadi ‘stigma’ keterbelakangan – sebagai biang ketertinggalan bagi peradaban modern yang disponsori Barat. Bahkan ia dituding sebagai tembok atau belenggu yang menghalangi umat manusia untuk meraih dan mengeksplorasi segala kenikmatan materialisme sepuas-puasnya di atas muka bumi ini dengan segala cara (immoralitas). Perkembangan ekonomi kapitalistik menjadi semakin kuat akibat kondisi terbalik yang sedang dihadapi masyarakat muslim dunia. Kaum intelektual dan ahli pikir muslim sendiri waktu itu sedang mengalami masa kemunduran. Perkembangan pemikiran-pemikiran yang ada di kalangan intelektual dan cendekiawan muslim pun mengalami masa stagnasi yang cukup panjang sehingga menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran berekonomi dan etos bekerja sesuai ajaran Islam.
Sejak awal kelahirannya bank syariah dilandasi dengan kehadiran dua gerakan renaissance Islam Modern: neorevivalis dan modernis, tujuan utama dari pendirian lembaga keuangan berlandaskan etika ini, tiada lain sebagai upaya kaum muslimin untuk mendasari segenap aspek kehidupan ekonominya berlandaskan Al-Qur’an dan Hadits. Upaya awal penerapan sistem profit dan loss sharing tercatat di Pakistan dan Malaysia sekitar tahun 1940-an, yaitu adanya upaya mengelola dana jamaah haji secara non-konvensional. Rintisan institusional lainnya adalah Islamic Rural Bank di desa Mit Ghamr pada tahun 1963 di Kairo, Mesir.
Di Indonesia perkembangan pemikiran-pemikiran tentang perlunya menerapkan prinsip Islam dalam berekonomi baru terdengar pada 1974. Tepatnya dimulai dalam sebuah seminar ‘Hubungan Indonesia-Timur Tengah’ yang diselenggarakan oleh Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan (LSIK). Perkembangan pemikiran tentang perlunya umat Islam Indonesia memiliki lembaga keuangan Islam sendiri mulai berhembus sejak itu, seiring munculnya kesadaran baru kaum intelektual dan cendekiawan muslim dalam memberdayakan ekonomi masyarakat. Pada awalnya memang sempat terjadi perdebatan yang melelahkan mengenai hukum bunga Bank dan hukum zakat vs pajak di kalangan para ulama, cendekiawan dan intelektual muslim.
Nilai-nilai agama yang hendak di transformasikan ke dalam bentuk perundang-undangan bukan lah sebagai hambatan untuk mengembangkan pola pikir dari manusia itu sendiri. Namun yang lebih penting adalah bahwa bagi masyarakat Indonesia saat ini masih meyakini bahwa dengan mempersatukan kedua hal tersebut diharapkan keadilan dan kesejateraan menjadi keniscayaan yang dapat segera terwujud.
Berdasarkan hal tersebut maka perkembangan negara Indonesia baik dilihat dari masyarakat maupun perangkat peraturan tidak pernah lepas dari ajaran yang berbasiskan kepada nilai ketuhanan, yang merupakan salah satu pedoman dalam Teori Hukum Alam.

Penutup
Berdasarkan pemaparan di atas, ternyata Teori Hukum Alam irasional (yang berbasiskan kepada nilai-nilai agama Islam ) terus mengalami perkembangan di berbagai aspek kehidupan masyarakat. Dalam kaitannya dengan pembangunan di Indonesia, baik fisik maupun non fisik, teori ini tidak dapat diabaikan begitu saja, apalagi jika dilihat kultur masyarakat Indonesia yang agamis. Namun demikian perspektif Hukum Alam ini jangan sampai mematikan kesempatan manusia untuk dapat berpikir kritis dan obyektif. Jika sebuah fenomena tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat kiranya dapat dikaji dan di formulasikan dengan menggunakan pikiran manusia. Namun hasil dari kajian atau keputusan tersebut hendaknya tidak bertentangan dengan Hukum Alam (agama).
Bangsa Indonesia nampaknya tidak akan mungkin melepaskan diri dari keyakinan terhadap Hukum Alam. Seiring perjalanan waktu sejak mulai berdiri tahun 1945 sampai dengan tahun 2003 ini nilai-nilai agama selalu hadir dalam setiap kebijakan., termasuk dalam UU No. 10 Tahun 1998.


Daftar Pustaka
C.R.S. Harris & Dunn Scotus, The Humanities, Press of New York, 1959.

Darji Darmodihardjo, & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Edisi Revisi , Jakarta: Gramedia, 1996.

Subhi Labib, Capitalism in Medievel Islam, Journal of Economic History, Vol 29, 1969.

UU No 10 Tahun 1998 tentang Perubahan UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Zainul Arifin, Memahami Bank Syariah: Lingkup, Peluang, Tantangan dan Prospek, Jakarta : AlvaBet, 2000.

















PERUBAHAN SOSIAL DALAM DUNIA PERBANKAN INDONESIA
H.M.Aiz Muhadjirin,SH,MH *

Abstrak
Masyarakat muslim sebagai bagian terbesar dari komponen bangsa Indonesia memiliki kemampuan untuk menggerakan perubahan masyarakat secara menyeluruh. Persoalan dunia perbankan yang semakin hari semakin tidak dapat dihindari dalam kehidupan bermasyarakat dianggap sebagai salah satu pokok persoalan yang harus disesuaikan dengan norma agama seiring dengan semakin tingginya kesadaran masyarakat akan norma agama (syari’ah) itu sendiri.

Pendahuluan
Pembentukan undang-undang merupakan salah satu bagian dari pembangunan hukum, khususnya pembangunan materi hukum. Salah satu konsep pembangunan hukum nasional adalah pembangunan hukum tertulis. Hukum tertulis merupakan bagian dari sistem hukum nasional dan secara konseptual pembangunan hukum tertulis dalam sistem hukum nasional mengacu kepada realitas sosial. Realitas masyarakat Indonesia dari tahun ke tahun sejak diproklamirkannya Negara Kesatuan Republik Indonesia telah mengalami berbagai macam perubahan, baik perubahan secara struktural maupun kultural.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang berisikan tentang perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan memuat beberapa perubahan dalam sistem perbankan Indonesia, yakni dengan diperkenalkannya sistem syariah. Selama Indonesia menjadi negara yang berdaulat sistem perbankan yang dikenal secara formal hanyalah sistem konvensional. Namun seiring dengan perkembangan masyarakat ternyata sistem konvensional dinilai tidak cukup mewakili kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dengan berkembangnya lembaga keuangan swasta yang menggunakan konsep syariah secara informal, seperti BMT ( Baitul Mal wa Tamwil ).
Perubahan masyarakat dalam dunia perbankan Indonesia dari hanya menggunakan sistem konvensional menjadi plus sistem syariah, yang diformalkan dengan lahirnya UU No.10 Tahun 1998 menjadi salah satu indikasi bahwa dunia perbankan Indonesia mengalami perubahan. Menurut Gilin dan Gilin :
“Perubahan-perubahan sosial sebagai satu variasi dari cara hidup yang diterima, baik karena perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat.” 1)
---------------------------------
1) Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Press, 1990, hal 337

Aspek Sosiologis Dalam UU No.10 Tahun 1998.
Apabila dilihat latar belakang lahirnya UU No.10 Tahun 1998 adalah dimulai dengan banyaknya cendikiawan ekonomi Islam yang mengkaji tentang sistem perbankan syariah yang telah dilaksanakan di negara-negara Islam lain. Diantara cendikiawan Islam tersebut antara lain M. Dawam Rahardjo, A.M Saefuddin, Karnaen A. Perwataatmadja, M. Amien Azis dan lain-lain yang telah membuat beberapa uji coba pada skala yang relatif terbatas, yakni BMT Salman di Bandung.2) Seiring perjalanan waktu, pada tahun 1990, Musyawarah Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan rekomendasi kepada Pemerintah untuk mendirikan bank dengan sistem syariah. Rekomendasi tersebut ditindak lanjuti oleh Pemerintah dengan mendirikan Bank Muammalat Indonesia pada tahun 1990 juga.
Dari uraian tersebut menunjukan pentingnya makna sosiologis dalam terciptanya UU No.10 Tahun 1998 yang memungkinkan sebuah bank menjalankan sistem konvensional dan syariah. Menurut Eugen Erlich, seorang tokoh aliran sosiological jurisprudence, hukum yang baik adalah hukum yang dirumuskan sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat ( living law ). Living law sebagai “inner order” dari masyarakat mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.3) Nilai-nilai yang hidup di masyarakat Indonesia dalam kaitannya dengan dunia perbankan adalah adanya kenyataan yang menunjukan bahwa masyarakat Indonesia mayoritas adalah beragama Islam. Nilai-nilai yang berlaku bagi mereka tentunya harus disesuaikan dengan ajaran agama Islam itu sendiri, dimana konsep bunga yang dipergunakan dalam sistem konvensional merupakan sesuatu yang dilarang. Keadaan seperti itu menjadi sebuah realita yang harus dihadapi oleh masyarakat sehingga menimbulkan kebingungan dan kebimbangan untuk memasuki dunia perbankan. Bahkan seorang cendikiawan muslim asal Timur Tengah , Maulana al-Maududi, mengatakan institusi bunga merupakan sumber bahaya dan kejahatan.4)
Apabila terlihat nilai-nilai Islam dalam UU No.10 Tahun 1998 sebenarnya bukan berarti nilai atau keyakinan yang lain tidak terakomodasi dalam undang-undang tersebut. Walaupun mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam tidak berarti sistem lain yang bukan berasal dari nilai Islam harus dihapus.
Hal ini disebabkan negara Indonesia adalah sebuah negara yang sangat majemuk dimana berbagai suku dan agama tergabung di dalamnya. Keadaan inilah yang terkadang menjadi persoalan dalam menentukan nilai masyarakat manakah yang dijadikan rujukan atau pedoman Menurut Northrop, sebagaimana dikutip oleh Mochtar Kusumaatmadja berpendapat bahwa dalam situasi konkrit, jalan praktis yang perlu ditempuh adalah.” …the best solution is that which shows the greatest sensitivity to all factors in the problematic situation..”5)
Kepentingan kelompok dan konflik nilai merupakan sisi sosiologis yang dominan dalam proses pembentukan setiap undang-undang. Rumusan pasal-pasal dalam sebuah Undang-undang ( termasuk dalam UU No.10 Tahun 1998 ) akan mencerminkan berbagai kepentingan kelompok dan nilai-nilai yang ada dimasyarakat tersebut. Oleh karena itu nilai dan kepentingan mempunyai pengaruh yang besar dalam mengambil keputusan terhadap rumusan akhir suatu ketentuan dalam undang-undang.
Dalam pembentukan peraturan pendekatan sosiologis adalah sesuatu yang mutlak diperlukan. Menurut Roman Tomasic, sebagaimana dikutip oleh Inosentius Samsul, secara teoritis ada beberapa teori yang berkaitan dengan nilai-nilai dalam masyarakat dan kepentingan kelompok, yaitu teori konflik (conflict theories), teori konsensus ( consensus theories ), teori pluralis ( pluralist theories ) dan teori elit penguasa ( power elit theories ).6) Pandangan teori-teori tersebut terhadap nilai masyarakat dan kepentingan kelompok adalah sebagai berikut :
· Teori konflik melihat peranan hukum sebagai sarana kontrol sosial dengan membatasi posisi dari suatu sistem nilai tertentu sehingga nilai-nilai tersebut tidak dapat berpengaruh dalam masyarakat. Dengan demikian nilai-nilai dari sistem masyarakat yang dikesampingkan tidak tertampung dalam rumusan peraturan perundang-undangan yang ada. Berdasarkan hal tersebut maka asumsi dasar bagi pemahaman masalah-masalah hukum adalah bahwa setiap masyarakat senantiasa mengalami perubahan sosial, konflik, paksaan oleh sejumlah anggota masyarakat terhadap masyarakat lainnya.
· Teori konsensus melihat tujuan dari hukum atau undang-undang yang dirumuskan untuk mengakomodasi sistem nilai yang berbeda dalam suatu masyarakat. Dengan demikian dalam teori ini membutuhkan upaya keras dalam mecoba menyatukan visi dari berbagai nilai yang ada.
· Teori pluralis berorientasi pada pengakuan terhadap keanekaragaman kepentingan dalam masyarakat. Implikasi dari pengakuan tersebut adalah bahwa dalam merumuskan peraturan perundang-undangan selalu berusaha agar undang-undang yang dibentuk merupakan hasil dari perumusan berbagai kepentingan kelompok yang beraneka ragam dalam masyarakat.
· Teori elit penguasa menformulasikan dan memperjuangkan agar kepentingan-kepentingan kelompok elit penguasa terlindungi dalam suatu undang-undang. Jadi tujuannya adalah untuk memperjuangkan kepentingan kelompok tertentu dan menyingkirkan kepentingan dari kelompok lainnya.
Dalam konteks negara Indonesia, pemberlakuan sistem syariah dalam perbankan nasional lebih mencerminkan kepada diperhatikannya nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Struktur sosial yang ditandai dengan keanekaragaman suku, adat istiadat dan agama memberikan corak pluralistis pada nilai yang ada di masyarakat Indonesia. Pilihan terhadap nilai dan kepentingan kelompok mana yang dapat diformulasikan dalam sebuah undang-undang merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Dalam kondisi yang pluralistis ini benturan nilai dan kepentingan sangat potensial untuk muncul ke permukaan dalalam pembentukan undang-undang. Dalam kondisi seperti ini pemikiran teori pluralis dengan konsep “unity diversity” mungkin dapat membantu untuk keluar dari benturan kepentingan dan nilai yang beraneka ragam.

Perubahan Masyarakat Perbankan Indonesia
Dengan diakuinya dinamika sebagai inti jiwa masyarakat, memunculkan perhatian yang besar terhadap masalah-masalah perubahan sosial dan kebudayaan dalam masyarakat. Masalah tersebut menjadi lebih penting lagi dalam hubungannya dengan pembangunan ekonomi yang tengah diusahakan dan dilakukan oleh kebanyakan negara-negara di dunia, termasuk Indonesia.
Dalam realitas kehidupan masyarakat Indonesia, yang berhubungan dengan dunia perbankan, lahirnya UU No.10 Tahun 1998 seolah-olah menjadi angin segar yang telah lama dinanti-nanti. Apabila selama ini hanya ada satu sistem dalam perbankan, yaitu konvensional, kini tidak demikian halnya. Sistem syariah yang baru diformalkan pada tahun 1998 tersebut secara langsung maupun tidak langsung telah merubah pola pikir masyarakat Indonesia tentang perbankan. Selama ini masyarakat hanya mengenal konsep bunga yang ditawarkan oleh sistem konvensional tersebut. Dengan adanya sistem syariah maka konsep bunga tidak lagi menjadi instrumen tunggal karena telah diimbangi dengan konsep bagi hasil. Sistem syariah ini tidak hanya sebatas merubah konsep bunga menjadi bagi hasil, namun berpengaruh juga terhadap instrumen perbankan lainnya seperti munculnya Dewan Pengawas Syariah, Badan Arbitrase Muammalat Indonesia (BAMUI) dan sebagainya, yang sebelumnya tidak ada. Selain itu pola pikir mayarakat dalam hal mencari keuntungan di bank juga mengalami perubahan. Mungkin selama ini keuntungan dari dana yang diinvestasikan di bank telah ditentukan besar keuntungan yang akan diraih tanpa melihat seberapa besar keuntungan yang sesungguhnya yang diperoleh bank. Kini hal tersebut telah berubah dengan konsep bagi hasil yang lebih mengedepankan pola bagi hasil dari keuntungan bank.
Perubahan masyarakat yang terjadi dalam dunia perbankan Indonesia dengan diberlakukannya UU No.10 Tahun 1998 secara teoritis dapat dikelompokan ke dalam perubahan cepat, perubahan besar, dan perubahan yang direncanakan atau dikehendaki ( intended change )7).
a. Perubahan cepat
Sistem syariah yang dilegalkan dengan UU No.10 Tahun 1998 sebenarnya dapat dikategorikan revolusi dalam dunia perbankan Indonesia, khususnya masyarakat yang beragama Islam yang merasa tidak puas dengan hanya ada satu sistem perbankan, yakni konvensional. Pemahaman revolusi tidak selalu dikaitkan denganwaktu yang cepat karena hal tersebut bersifat relatif. Namun paling tidak istilah revolusi dalam dunia perbankan Indonesia dapat dipahami dengan terjadinya perubahan menyangkut dasar atau sendi pokok kehidupan masyarakat, yaitu lembaga keuangan masyarakat (bank).
b. Perubahan besar
Perubahan sistem perbankan Indonesia merupakan perubahan yang akan membawa pengaruh besar terhadap masyarakat. Pelbagai lembaga kemasyarakatan akan ikut terpengaruh. Dalam pelaksanaan sistem syariah di Indonesia akan terlihat munculnya lembaga-lembaga lain yang berfungsi sebagai penunjang serta pelengkap dari sebab munculnya sistem syariah, seperti dengan adanya Dewan Pengawas Syariah ( DPS ), Dewan Syariah Nasional ( DSN ), dan Badan Arbitrase Muammalat Indonesia ( BAMUI ). Selain itu, di tengah masyarakat juga terjadi perubahan pola pikir mengenai perbankan itu sendiri. Perbankan yang selama ini diidentikan dengan dunia yang penuh dengan tipu daya, kini telah berubah menjadi dunia yang bersih karena telah mengikuti nilai-nilai yang hidup pada masyarakat dimana berdasrkan nilai agama.
c. Perubahan yang dikehendaki atau direncanakan ( intended change )
Perubahan dalam dunia perbankan Indonesia tidak terjadi secara mendadak, namun telah direncanakan dan memang dikehendaki. Apabila dilihat latar belakang diizinkannya pelaksanaan sistem syariah di Indonesia tentunya akan terlihat telah melalui tahap-tahap pengkajian yang sangat menyeluruh.
Dalam setiap perubahan yang dikehendaki ( intended change ) terdapat agent of change, yaitu seseorang atau sekelompok orang yang mendapat kepercayaan pimpinan lembaga kemasyarakatan. Agent of change memimpin masyarakat dalam mengubah sistem sosial. Apabila dikaitkan dengan perubahan sistem perbankan di Indonesia, maka tokoh-tokoh yang mencetuskan ide dilaksanakannya sistem syariah, yakni cendikiawan yang tergabung dalam MUI dapat dikelompokan sebagai agent of change. Melalui tahap kajian-kajian yang telah mereka lakukan sampai saat dilahirkannya UU No.10 Tahun 1998 merupakan langkah konkrit mereka telah bertindak sebagai agent of change.
UU No.10 Tahun 1998 dan perubahan masyarakat yang terjadi di Indonesia dalam dunia perbankan merupakan dua unsur atau faktor yang saling berhubungan. Dilihat dari faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut, maka UU tersebut jelas mempengaruhi perubahan masyarakat. Dengan demikian UU atau hukum tersebut dapat dikategorikan sebagai unsur independent. Sebelum UU tersebut lahir sebagian masyarakat tidak dapat menggunkan sistem syariah. Naum setelah berlakunya UU tersebut maka masyarakat Indonesia dikondisikan untuk mendapatkan sistem alternatif dalam perbankan. Ada beberapa faktor lain yang dapat mendorong jalannya proses perubahan dalam sistem perbankan Indonesia, yaitu :
· Kontak dengan kebudayaan lain
Proses yang menyangkut hal ini adalah difusi. Difusi adalah proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari individu kepada individu lainnya atau dari suatu masyarakat kepada masyarakat lainnya. Kontak dengan kebudayaan lain dapat dilihat bahwa pada awalnya sistem syariah dalam dunia perbankan telah dimulai di negara-negara Timur Tengah, dan kemudian dicoba untuk dipraktekan atau dilaksanakan di Indonesia. Dengan proses tersebut masyarakat Indonesia mampu menghimpun penemuan-penemuan baru yang telah dihasilkan. Dengan terjadinya difusi suatu penemuan baru yang telah diterima oleh masyarakat dapat diteruskan dan disebarkan kepada masyarakat luas. Proses tersebut merupakan pendorong pertumbuhan suatu kebudayaan dan ikut memperkaya kebudayaan masyarakat.
· Sistem pendidikan formal yang maju
Pendidikan mengajarkan kepada individu aneka ragam kemampuan. Pendidikan memberikan nilai-nilai tertentu bagi manusia, terutama dalam membuka pikirannya serta menerima hal-hal baru dan juga mengajarkan bagaimana berpikir secara obyektif, hal mana akan memberikan kemapuan untuk menilai aspek kebudayaan masyarakatnya akan dapat memenuhi kebutuhan jaman atau tidak.
· Penduduk yang heterogen
Masyarakat Indonesia yang terdiri dari kelompok-kelompok sosial yang mempunyai latar belakang kebudayaan berbeda, maupun ideologi yang berbeda mempermudah terjadinya perubahan dalam masyarakat
· Nilai bahwa manusia harus senantiasa berikhtiar untuk memperbaiki hidupnya
Performa dunia perbankan Indonesia yang terpuruk di akhir tahun 90-an telah menjadi tonggak hadirnya perubahan di dunia perbankan Indonesia. Disadari atau tidak disadari. Bahwa sebagian masyarakat berasumsi serta berharap dengan diperkenalkannya sistem syariah maka kehidupan dunia perbankan akan menjadi lebih baik.
Proses perubahan sosial tidak dapat berjalan tanpa melalui saluran perubahan sosial ( chanel of change ). Pada umumnya saluran-saluran tersebut adalah lembaga kemasyarakatan bidang pemerintahan, ekonomi, penduduk, agama dan lain-lain. Lembaga yang menjadi titik tolak tergantung pada kultural fokus masyarakat pada masa tertentu. Lembaga kemasyarakatan yang pada suatu waktu mendapatkan penilaian tertinggi dari masyarakat cenderung untuk menjadi saluran utama perubahan sosial dan kebudayaan. Perubahan lembaga kemasyarakatan tersebut akan membawa akibat pada lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya, karena lembaga-lembaga tersebut merupakan suatu sistem yang terintegrasi.
Demikian pula halnya dengan perubahan dalam dunia perbankan Indonesia, tanpa melalui saluran-saluran perubahan maka mustahil sistem syariah dapat diterima dan dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia. Meskipun secara keyakinan masyarakat Indonesia yang beragama Islam mendukung hal tersebut, namun karena tidak adanya salurannya mereka tidak dapat melaksanakan dan memanfaatkannya. Di samping itu pula unsur lainnya adalah adanya kemauan Pemerintah ( political will ) untuk menciptakan peraturan atau undang-undang mengenai hal tersebut. Apabila lembaga kemsyarakatan tersebut sebagai suatu sistem sosial, maka dapat dikategorikan sebagai berikut :
· Organisasi politik : Peranan Pemerintah bersama dengan wakil rakyat di DPR sangatlah dominan dalam rangka memunculkan aturan yang melandasi proses perubahan itu sendiri. Dalam hal ini lahirnya UU No. 10 Tahun 1998 merupakan suatu pedoman bagi lembaga kemasyarakatan lainnya untuk melakukan aktivitas yang berhubungan dengan proses perubahan sosial di bidang perbankan.Dalam rangka mencetuskan pedoman bagi proses perubahan sosial, seyogyanya Pemerintah bersama DPR harus dapat bersifat aspiratif dalam menghadapi berbagai macam kepentingan serta nilai-nilai di masyarakat Selain menyediakan perangkat perundang-undangan Pemerintah dalam hal ini harus pula dapat menetralisasi faktor-faktor kemasyarakatan yang mengalami perubahan dan perkembangan..
· Organisasi ekonomi : Perubahan sosial yang dimunculkan dari UU No. 10 Tahun 1998 adalah perubahan di bidang ekonomi. Oleh karena itu organisasi ekonomi merupakan “ujung tombak” dari pelaksanaan proses perubahan sosial tersebut. Dan karenanya pula diperlukan lembaga ekonomi yang dapat mendukung berjalannya proses tersebut. Bank-bank yang berlandaskan sistem syariah mutlak harus dimunculkan. Selain dari pada bank syariah sebagai lembaga operasional dari proses perubahan di dunia perbankan Indonesia, maka lembaga atau badan ekonomi lain yang menunjang harus pula dihadirkan.
· Organisasi hukum : Perangkat-perangkat hukum dalam pelaksanaan proses perubahan sosial harus berbajalan berdampingan dalam upaya menjaga agar tidak sampai proses perubahan dalam dunia perbankan keluar dari jalur yang sudah ditetapkan. Oleh karenanya badan atau lembaga yang dipersiapkan untuk menyelesaikan masalah yang akan timbul di kemudian hari harus sudah diantisipasi. Untuk mengantisipasi kemungkinan tersebut, masyarakat bank-bank syariah serta para pengguna jasanya menyadari bahwa mereka tidak dapat mengandalkan instansi peradilan yang ada. Terlebih bahwa lembaga peradilan yang sekarang ada memiliki dasar-dasar hukum penyelesaian perkara yang berbeda dengan yang dikehendaki pihak-pihak yang terikat dalam akad syariah. Pengadilan Negeri tidak menggunkan syariah sebagai landasan hukum bagi penyelesaian perkara seperti itu, sedangkan wewenang Pengadilan Agama telah dibatasi UU No. 7 Tahun 1989. Institusi ini hanya dapat memeriksa dan mengadili perkara-perkara menyangkut perkawinan, warisan, waqaf, hibah, dan sedekah. Peradilan Agama tidak dapat memeriksa dan mengadili perkara-perkara di luar kelima bidang tersebut. Keberadaan Badan Arbitrase Muammalah Indonesia (BAMUI) sangat tepat dalam upaya menjawab tantangan tersebut. Hal demekian kiranya akan dapat mendukung pertumbuhan bank syariah, sebagai lukomotif perubahan sosial dalam bidang perbankan, yang mulai marak dewasa ini. Seperangkat konsep pun harus telah disusun untuk kepentingan tersebut. Perangkat ini menyangkut rancangan akta pendirian yayasan bagi pendirian lembaga tersebut., yang di dalamnya memuat anggaran rumah tangga yang merupakan kelengkapan anggaran dasar yayasan serta rancangan peraturan prosedur arbitrase, yang bila telah disahkan akan berlaku baik bagi para wasit dalam melaksanakan tugasnya menyelesaikan perkara-perkara maupun bagi para calon pengguna jasa lembaga dimaksud.
· Organisasi pendidikan : Faktor sosialisasi sangat penting dalam upaya untuk melakukan suatu perubahan sosial. Sosialisasi dapat dilakukan baik melalui jalur formal maupun non-formal. Lembaga-lembaga yang bergerak di bidang pendidikan dapat melakukan salah satu fungsinya yaitu memberikan pengetahuan atau sosialisasi tentang proses perubahan yang sedang terjadi dalam dunia perbankan kepada masyarakat luas. Dengan demikian masyarakat menjadi tahu proses apa yang sedang terjadi di sekeliling mereka .

Penyesuaian terhadap perubahan UU Perbankan
Keserasian atau harmoni dalam masyarakat merupakan keadaan yang diidam-idamkan setiap masyarakat. Dengan keserasian masyarakat dimaksudkan sebagai suatu keadaan dimana lembaga-lembaga kemasyarakatan yang pokok benar-benar berfungsi dan saling mengisi. Penyesuaian terhadap sistem perbankan yang baru dalam realitas masyarakat dapat dilakukan dengan cara melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Sosialisasi mutlak diperlukan dalam upaya mempersatukan pandangan terhadap sistem perbankan yang baru. Sosialisasi merupakan proses belajar anggota masyarakat untuk mengenal dan memahami sistem, tat nilai, dan budaya yang berlaku di masyarakat.8) Pengenalan dan pemahaman itu akan menjadi sempurna apabila mencakup semua latar belakang timbulnya sistem, tata nilai, dan budaya tersebut. Bertitik tolak dari pengertian tersebut maka sosialisasi lebih bersifat transformasi pemikiran daripada transformasi suatu pola kegiatan. Dengan demikian sosialisasi suatu sistem berarti harus lebih kepada proses transformasi pemikiran yang melandasi terwujudnya sistem itu, dibandingkan hanya sekedar pada cara bekerjanya sistem itu sendiri.
Usaha untuk melembagakan unsur baru, dalam hal ini sistem syariah, di tengah masyarakat menyangkut proses difusi yang merupakan proses penyebaran ide-ide baru ( sistem syariah ) hingga ide baru tersebut diterima atau diadpsi oleh masyarakat. Pengertian adopsi dalam arti sosiologis adalah keputusan untuk sepenuhnya mempergunakan atau memanfaatkan ide baru tersebut.9) Unsur-unsur yang cenderung lebih mudah untuk diadopsi adalah metode yang lebih baik dan menguntungkan bagi masyarakat yang mengadopsinya. Selain itu unsur-unsur yang serasi dengan norma serta nilai yang berlaku dan yang sifatnya lebih sederhana serta dapat dicoba secara berangsur-angsur. Ide baru tentang sistem syariah dapat mudah diterima oleh masyarakat apabila lebih mudah dimengerti melalui komunikasi yang sederhana.
“Kesuksesan” untuk melakukan perubahan dalam sistem perbankan di Indonesia yang ide awalnya dicetuskan oleh para cendikiawan yang tergabung dalam MUI telah sesuai dengan teori yang diutarakan oleh William M. Evan. Menurutnya ada 7 kondisi yang harus dipenuhi untuk terlaksananya suatu perubahan sosial.10) Dari beberapa kondisi tersebut antara lain diuatarakan bahwa sebuah hukum yang akan dijadikan sebuah instrumen perubahan sosial harus dapat diterima secara rasional dan sesuai dengan nilai-nilai masyarakat. Di sini dapat dibuktikan melalui realita yang ada bahwa memang secara rasional sistem syariah dapat dipertanggungjawabkan dan sangat menjunjung nilai-nilai moral masyarakat. Selain itu pula sistem syariah telah terbukti berhasil di negara-negara lain, seperti Mesir, Kuwait, bahkan Malaysia yang telah terlebih dahulu mempraktekannya. Lebih lanjut William M. Evan mengatakan :“…Law can affect behavior directly only through the process of institutionalization; if how ever, the institutionalization process is successful, it, in turn, facilitates the internalization of attitudes or beliefs”.11)
Sejak diundangkannya UU No.10 Tahun 1998 dimana mengizinkan bank untuk beroperasi dengan sistem syariah, maka dapat terlihat bahwa keberadaan bank yang melaksanakan sistem syariah mengalami kemajuan yang sangat berarti. Dilihat dari jumlah bank-bank swasta maupun pemerintah terlihat kenaikan jumlah yang signifikan. Apabila pada awalnya bank syariah identik dengan Bank Muammalat Indonesia, kini tidak lagi demikian. Saat ini bank-bank yang beroperasi dengan sistem syariah antara lain ialah Bank Syariah Mandiri, Bank IFI, Bank BNI 46, BPD Jabar, dan lainnya. Dilihat dari sudut jumlah nasabah yang bertransaksi di bank syariah maka secara otomatis juga mengalami pertambahan. Hal ini disebabkan para nasabah atau masyarakat sudah dapat mengakses bank-bank syariah dengan mudah, tidak seperti pada awal tahun 90-an dimana unit-unit bank syariah sulit untuk ditemui karena masih sedikit.
Penyesuaian terhadap sitem syariah di Indonesia tentunya diharapkan akan terus terjadi. Untuk mencapai tingkat penyesuaian yang diharapkan tentunya memerlukan waktu dan sosialisasi yang berkesinambungan. Hal ini sangat perlu karena sebagian besar masyarakat Indonesia selama ini masih belum dapat memanfaatkan institusi perbankan. Keadaan ini mungkin dapat dimengerti apabila sebagian besar masyarakat hidup di daerah-daerah yang terkadang belum terjangkau oleh .institusi keuangan tersebut.
Arah perubahan
Perubahan yang terjadi di tengah masyarakat adalah suatu keniscayaan yang selalu terjadi. Perubahan-perubahan tersebut bergerak meninggalkan faktor yang diubah. Mungkin perubahan itu bergerak menuju ke arah suatu bentuk yang baru sama sekali, atau justru bergerak kepada suatu yang sudah ada di masa lampau. Sesuatu yang sudah ada di masa lampau tersebut tentunya harus dikondisikan dengan masa sekarang. Konsep bagi hasil merupakan suatu sistem yang sudah dikenal sejak dahulu dalam ajaran Islam. Namun bukan berarti konsep yang sudah kuno tidak dapat beradaptasi dengan lembaga keuangan, seperti bank, di masa sekarang.
Sesuai dengan skema Zarqa, seperti dikutip oleh Zaenal Arifin, bahwa syariah ( Hukum Islam ) terdiri atas bidang ibadah dan muammalah.12) Ibadah merupakan sarana manusia untuk berhubungan dengan Tuhannya. Sedangkan muammalah digunakan sebagai aturan main manusia dalam berhubungan dengan sesamanya. Muammalah inilah yang menjadi subyek paling luas yang harus digali manusia dari masa ke masa, karena seiring dengan perkembangan kebutuhan hidup manusia akan senantiasa berubah. Perilaku kehidupan individu dan masyarakat ditujukan ke arah bagaimana cara pemenuhan kebutuhan mereka dilaksanakan dan bagaimana menggunakan sumber daya yang ada. Hal inilah yang menjadi subyek yang dipelajari dalam ekonomi Islam sehingga implikasi ekonomi yang dapat ditarik dari ajaran Islam berbeda dari ekonomi tradisional. Dan sesuai dengan konsep prinsip dan variabel, sistem ekonomi Islam yang dilakukan sebagai suatu variabel haruslah sesuai dengan prinsip-prinsip ekonomi Islam.
Dalam hal perubahan masyarakat Indonesia dalam dunia perbankan , sistem syariah sebenarnya bukanlah suatu sistem yang baru karena telah dipraktekan sejak dahulu. Pada kenyataannya sistem syariah tidak dipergunakan di Indonesia, padahal komposisi penduduk di Indonesia mendukung untuk dilaksanakannya sistem tersebut. Barulah setelah tahun 90-an muncul rekomendasi untuk mempergunakan sistem syariah masuk ke dalam kegiatan lembaga keuangan, yang dalam prakteknya tidak hanya terbatas kepada dunia perbankan tetapi juga telah merambah dunia pasar uang.
Arah perubahan yang hendak dituju oleh para cendikiawan pencetus atau penggagas sistem syariah di Indonesia adalah untuk mewujudkan masyarakat (Islam) yang benar-benar sesuai dengan tuntunan Ilahi dalam segala aktifitasnya. Secara lebih konkret perubahan ini juga mencakup aspek ekonomi yang sangat luas dan besar pengaruhnya. Sehingga pada saatnya nanti prinsip-prinsip ekonomi Islam dapat diterapkan oleh masyarakat. Dalam ekonomi Islam yang menjadi tujuan utama tidak hanya terbatas kepada mencapai Profit oriented (keuntungan materi) namun juga mengusahakan agar teciptanya falah oriented, yakni mencari kemakmuran di dunia dan kebahagiaan di akhirat
Dalam konteks hukum, perubahan UU Perbankan merupakan salah satu sarana yang telah dipersiapkan oleh Pemerintah untuk memudahkan serta memperlancar interaksi sosial dalam bidang perbankan. Interaksi sosial yang biasanya dilakukan dengan berdasarkan UU Perbankan yang lama, seringkali menimbulkan konflik bagi para pelakunya. Konflik yang kerapkali terjadi selama ini menjadi hilang dengan lahirnya UU No. 10 Tahun 1998 tersebut. Hal ini disebabkan oleh karena UU Perbankan yang baru tersebut menjadi sarana atau alat yang mendorong masyarakat untuk tidak takut dan khawatir dalam melakukan interaksi, dalam hal ini bertransaksi di bank. Lebih lanjut L.L Fuller mengatakan, sebagaimana dikutip oleh Soerjono Soekanto :
“To interact meaningfully men require a social setting in which he moves of the participating players fall generally within some predictable pattern. To engage in effective social behavior men need the support of intermeshing anticipations that will let them know what their opposite number will do, or what will at least enable them to gauge the general scope of the repertory from which responses to their actions will be drawn.”.13)
Jika interaksi sosial telah berjalan sebagaimana mestinya, maka pada saat itu telah terjadi perubahan pola perilaku masyarakat Indonesia, khususnya dalam dunia perbankan. Perubahan perilaku ini merupakan point yang sangat penting dalam konteks arah perubahan.



Penutup
Sebagai penutup tulisan ini, beberapa hal yang dapat digarisbawahi adalah bahwa masyarakat secara umum dapat dikategorikan dua macam, yang pertama adalah masyarakat statis dan yang kedua adalah masyarakat dinamis. Masyarakat statis dimaksudkan sebagai masyarakat yang sedikit sekali mengalami perubahan dan berjalan secara lambat. Sedangkan masyarakat dinamis adalah masyarakat yang mengalami berbagai perubahan yang cepat. Perubahan-perubahan bukanlah semata-mata berarti suatu kemajuan namun dapat pula berarti kemuduran dari bidang-bidang kehidupan tertentu.
Perubahan sosial ( Masyarakat ) adalah suatu keniscayaan yang harus terjadi, sehingga bukanlah sesuatu yang luar biasa apabila dalam bidang perbankan di Indonesia mengalami hal yang serupa. Namun demikian setiap perubahan yang terjadi hendaknya melalui saluran-saluran yang tepat, sehingga maksud dan tujuan dari agenda perubahan tersebut tercapai secara maksimal. Banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat berakhir di tengah jalan karena mengalami proses yang prematur dan melalui saluran yang tidak tepat . Untuk dapat melihat hasil dari suatu perubahan sosial, apakah positif atau justru negatif, maka tergantung kepada sinkronisasi antara efektifitas menanamkan unsur-unsur yang baru, kekuatan-kekuatan yang menentang dari masyarakat dan kecepatan menanamkan unsur-unsur yang baru dalam masyarakat.
Perubahan-prubahan masyarakat yang terjadi dalam bidang perekonomian, dengan adanya UU Perbankan yang baru tersebut akan mempunyai implikasi terhadap lembaga-lembaga kemsyarakatan di bidang lain. Hal tersebut sangatlah lumrah dimana lembaga-lembaga kemsyarakatan tersebut bersifat interdependen, maka sulit sekali untuk mengisolasi perubahan pada lembaga-lembaga tertentu saja yang pada akhirnya akan terjadi proses saling mempengaruhi secara timbal balik antara lembaga kemasyarakatan di bidang ekonomi dengan lembaga kemsyarakatan di bidang non ekonomi..
Dalam hubungannya dengan UU No. 10 tahun 1998 sebagai salah satu unsur terpenting dari proses perubahan dalam dunia perbankan di Indonesia, maka keberadaan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat merupakan basis sosial yang sangat menentukan “hidup tidaknya” UU tersebut di tengah masyarakat. Oleh karenanya dalam proses pembentukan UU tersebut, para pengambil keputusan, baik Pemerintah maupun DPR, perlu memahami nilai dan kepentingan yang ada dalam masyarakat agar nilai yang ada dapat tertampung dalam UU tersebut dan sekaligus dapat mengatasi benturan kepentingan berbagai kelompok masyarakat. Keanekaragaman suku, budaya, agama, struktur dan status sosial di Indonesia sangat potensial untuk terjadinya benturan nilai dan kepentingan dalam pembentukan UU. Dengan begitu majemuknya negara Indonesia, maka keberadaan suatu peraturan harus diikuti dengan proses sosialisasi di masyarakat. Betapun bagusnya suatu peraturan tanpa dipahami oleh masyarakat maka akan sia-sia.
Suatu proses perubahan sosial juga tidak selalu didominasi kepada sesuatu hal yang baru, karena mungkin saja proses perubahan berjalan ke arah suatu fenomena yang sudah ada sejak lama dan hendak dihidupkan kembali untuk memenuhi kebutuhan masyarakat itu sendiri. Dengan demikian maka perubahan sosial diperlukan untuk memenuhi setiap kebutuhan masyarakat, baik kebutuhan primernya yang mencakup masalah spiritual maupun material, serta kebutuhan sekundernya. Kebuthan masyarakat senantiasa berkembang, dan oleh sebab itu perubahan dibutuhkan untuk menyesuaikan diri dalam upaya menjawab tantangan yang dihadapinya, baik yang berasal dari lingkungan sosial maupun dari lingkungan alam.

Daftar Pustaka
Al Maududi, Abul A’la, Riba,1951.
Arifin, Zainal, Prinsip-prinsip Ekonomi Islam, www.Tazkia.com, Edisi 8 Februari 2002.
Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek, Gema Insani Press 2001.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990.
Kusumaatmadja, Mochtar, Hukum, Masyarakat Dan Pembinaan Hukum nasional, Bina Cipta, 1976,
Samsul, Inosentius, Aspek Nilai Dan Kepentingan Dalam Pembentukan Undang-Undang Suatu Tinjauan Sosiologis, Era Hukum Jurnal Ilmu Hukum, 1996,
Soekanto, Soerjono, Fungsi Hukum Dan Perubahan Sosial, Citra Aditya Bakti, 1991,
_______________, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Press, 1990.
Vago, Steven, Law And Society, Kumpulan Artikel Sosiologi Oleh Winarno Yudho .



2 ) Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek, Gema Insani Press 2001, hal 25.
3 ) Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat Dan Pembinaan Hukum nasional, Bina Cipta, 1976, hal 5.
4 ) Abul A’la al-Maududi, Riba, 1951.
5 ) Mochtar Kusumaatmadja, Op.Cit, hal 5.
6 ) Inosentius Samsul, Aspek Nilai Dan Kepentingan Dalam Pembentukan Undang-Undang Suatu Tinjauan Sosiologis, Era Hukum Jurnal Ilmu Hukum, 1996, hal 64.
7 ) Soerjono Soekanto, Op.Cit, hal 345-349.
8 ) Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990.
9 ) Soejono Soekanto, Fungsi Hukum Dan Perubahan Sosial, Citra Aditya Bakti, 1991, hal 28.
10 ) Steven Vago, Law And Society, Kumpulan Artikel Sosiologi Oleh Winarno Yudho, hal 591.
11 ) Ibid.
12 ) Zaenal Arifin, Prinsip-prinsip Ekonomi Islam, www.Tazkia.com, Edisi 8 Februari 2002.
13 Soerjono Soekanto, Op.Cit, hal 49.

Sabtu, 12 Juli 2008

Kumpulan Khutbah

KHUTBAH KE-1
Sholat

الحمد لله الذي جعل يوم الجمعة من افضل الايام والاعياد. وفصه بساعة الدعاء فيها مجاب مسموع للحاضر والباد. أشهد ان لا اله الا الله وحده لا شريك له رب العباد. وأشهد ان سيد نا ومولانا محمدا عبده ورسوله أشرف العباد والزهاد. اللهم فصل وسلم على سيد نا ومولانا محمد وعلى اله واصحابه والتابعين وتابعيهم الى يوم التناد. اما بعد فيا عبادالله اتقوا الله حق تقاته ولا تموتن الا وانتم مسلمون.

Maasyirol muslimin Rohimakumulloh
Di siang hari ini, tanpa terasa kita telah memasuki Jum’at pertama di bulan Juni 2005, bertepatan dengan tanggal 25 Robi’utsani 1426 H. Sudah barang tentu usia kita pun semakin berkurang. Dalam upaya kita mengantisipasi usia yang semakin berkurang ini, marilah bersama-sama kita bertekad untuk berusaha meningkatkan kadar keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT dan Rosul-Nya, baik dalam bentuk ibadah kepada Allah SWT maupun dalam hubungan muamalah terhadap sesama manusia.

Maasyirol muslimin yang dimuliakan oleh Allah
Agama islam memiliki 5 pondasi dasar: (1) mengucapkan 2 kalimat syahadat,(2) mendirikan sholat,(3) menunaikan zakat,(4) berpuasa di bulan Ramadhan,(5) berhaji jika mampu. Kelima pondasi ini kita kenal dengan istilah Rukun Islam. Kelima macam Rukun Islam tersebut haruslah dilaksanakan secara berurutan dan bersifat kamulatif dan bukannya alternatif. Maksudnya ialah kelima hal tersebut harus dilaksanakan secara menyeluruh dan tidak dapat dipilah-pilih.
Pada kesempatan khutbah Jum’at yang mulia ini, izinkanlah Khotib menyampaikan beberapa hal yang berkaitan dengan Sholat.

Hadirin Sidang Jum’at Rohimakumulloh
Sholat merupakan kata yang sudah sangat akrab di telinga kita. Begitu akrabnya kata “Sholat” dengan aktivitas kita sehingga tidak jarang Sholat hanya dianggap sebagai sebuah rutinitas belaka. Rutinitas yang tidak memiliki serta menghasilkan suatu manfaat yang konkrit. Saat ini Sholat tidak mampu lagi mencegah orang untuk mencuri. Sholat seolah tidak mampu mencegah orang untuk korupsi, berjudi bahkan berzina. Sudah sedemikian terpuruknya Sholat di dalam masyarakat kita.Adalah benar masjid-masjid berkembang dengan pesat. Sangatlah tepat jika disebutkan bahwa jamaah berdatangan ke suatu masjid bergelombang layaknya air. Tidaklah salah jika dikatakan bahwa umat Islam adalah umat terbanyak di Indonesia bahkan di dunia. Namun kenyataan-kenyataan tersebut tidak mampu memberikan kepastian bahwa mereka-mereka yang beragama Islam, mereka-mereka yang melaksanakan Sholat tidak melakukan korupsi, perjudian, menenggak alcohol, dan perbuatan munkar lainnya. Berdasarkan kenyataan tersebut sangatlah relevan jika ada orang yang mengatakan melaksanakan Sholat hanyalah sebatas untuk menunaikan kewajiban, tidak lebih tidak kurang. Kenyataan-kenyataan di atas adalah bukti dari dangkalnya pemahaman sebagian masyarakat terhadap Sholat.

Ma’asyirol muslimin rohimakumulloh
Marilah kita simak ayat suci Al Qur’an dalam Surat Al Ankabut ayat 45 :
أتل ما أوحي اليك من الكتاب وأقم الصلاة. ان الصلاة تنهى عن الفحشاء والمنكر...الاية
Artinya : Bacalah apa yang diturunkan kepada mu dari pada Al Qur’an dan dirikanlah Sholat. Sesungguhnya Sholat dapat mencegah perbuatan keji dan munkar…

Apabila kita telah melaksanakan Sholat, seharusnya perbuatan-perbuatan terkutuk yang telah disebutkan sebelumnya tidak mungkin kita lakukan. Semestinya bangsa ini menjadi bangsa yang makmur dan sentosa. Begitu kontradiksinya antara nash dalam Al Qur’an dengan kenyataan yang terjadi saat ini.

Hadirin Sidang Jum’at yang dimuliakan oleh Allah
Bertolak belakngnya antara nash Al Qur’an yang menyebutkan bahwa Sholat dapat mencegah perbuatan keji dan munkar dengan kenyataan yang terjadi, sesungguhnya telah diprediksi sejak zaman Nabi Muhammad dalam salah satu Hadits Qudsi yang berbunyi :
قال الله عز وجل : ليس كل مصل يصلى. انما اتقبل الصلاة ممن تواضع لعظمتي. وكف شهواته عن محارمي. ولم يصر على معصيتي. واطعم الجائع. وكسا العريان. ورحم المصاب. وأوى الغريب. كل ذالك لي. رواه الديلامي.
Artinya : Berfirman Allah ‘Azza Wa Jalla : bukanlah setiap orang yang Sholat itu mendirikan Sholat. Hanyasanya yang diterima Sholatnya adalah orang tawadhu pada kebesaran Allah, dan menahan hawa nafsu dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah, dan tidak terus menerus berbuat ma’siat kepada Allah, dan orang yang memberi makan pada orang-orang yang kelaparan, dan orang yang memberikan pakaian pada orang yang telanjang, dan mengasihi orang yang terkena musibah, dan menampung orang pendatang. Semuanya itu dilakukan semata-mata karena Allah. (H.R. Dailami)

Dengan demikian jelaslah sudah bahwa orang-orang yang melakukan Sholat namun masih tetap melakukan perbuatan keji dan munkar, maka Sholatnya tertolak dan menjadi sia-sia.

Hadirin Sidang Jum’at yang berbahagia
Pemahaman tentang Sholat haruslah dimulai sejak dini. Adalah kewajiban orangtua untuk mengjarkan Sholat kepada anak-anaknya. Sebagaimana disabdakan Rosululloh :
مرو صبيانكم با الصلاة اذا بلغوا سبعا. واضربوهم عليها اذا بلغوا عشرا. وفرقوا بينهم فى المضاجع. رواه ابو دود.
Artinya : Perintahkanlah anak-anakmu untuk Sholat jika telah berumur 7 tahun. Dan pukullah anak-anak mu jika tidak mau mengerjakan Sholat di usia yang ke 10. Dan pisahkanlah tempat tidur mereka. (H.R Abu Daud).

Dan merupakan kesalahan serta dosa orangtua juga jika ada seorang anak yang tidak bias dan tidak pernah melaksanakan Sholat akibat ketidaktahuannya tentang wajibnya Sholat bagi setiap muslim. Sebagaimana disabdakan oleh Rosululloh :
كل مولود يولد على الفطرة. فأبواه يهودانه او ينصرانه او يمجسانه. رواه البخاري.
Artinya : Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau majusi. (H.R. Bukhori).

Ma’asyirol muslimin Rohimakumulloh
Sholat sebagai salah satu ibadah yang wajib, harus dilaksanakan oleh setiap muslim dalam keadaan apapun juga. Baik dalam keadaan sehat, sakit, berperang dan keadaan darurat lainnya. Oleh karena itu adalah sesuatu yang konyol jika ada seseorang yang tidak mengerjakan Sholat hanya disebabkan sibuknya pekerjaan dan hal-hal duniawi lainnya. Allah SWT telah memberi ancaman bagi mereka-mereka yang lalai dalam Sholat, sebagaimana dinyatakan dalam Surat Al Ma’uun ayat 4 dan 5 :
فويل للمصلين. الذين هم عن صلاتهم ساهون.
Artinya : maka celaka lah bagi mereka yang mengerjakan Sholat. Yaitu mereka yang mengerjakan Sholatnya dengan lalai.

Hujjatul Islam Imam Al Ghozali telah membagi pengertian lalai ke dalam 3 bagian :
1. Lalai waktu; yaitu mengerjakan Sholat tidak sesuai dengan waktu.
2. Lalai hati; yaitu mengerjakan Sholat dengan sangat terpaksa.
3. Lalai Pelaksanaanya; yaitu mengerjakan Sholat tidak sesuai dengan aturannya.
Jika kita masih termasuk dalam salah satu kategori tersebut, maka kita berada dalam keadaan celaka.

Ma’asyirol muslimin Rohimakumulloh
Apabila orang-orang yang lalai mengerjakan Sholat saja mendapatkan ancaman yang begitu keras, apalagi bagi orang-orang yang tidak mengerjakan Sholat sama sekali. Nabi Muhammad SAW dengan jelas dan tegas mengancam orang-orang tersebut. Antara lain dapat dilihat dalam beberapa Hadits sebagai berikut :
من ترك ثلاث جمع تهاونا من غير عذر طبع الله تبارك وتعالى على قلبه. رواه البخاري و مسلم.
Artinya : Barang siapa meninggalkan Sholat Jum’at sebanyak 3 kali karena meremehkannya dari pada tanpa uzur niscaya mengunci Allah SWT akan hatinya (H.R. Bukhori Muslim).

Dalam Hadits lain disebutkan :
من ترك الصلاة متعمدا فقد كفر جهارا. رواه أحمد.
Artinya :Barang siapa meninggalkan Sholat secara sengaja maka sungguh ia telah kafir secara terang-terangan. (H.R. Ahmad).

Beberapa ancaman tersebut hendaknya dapat membuka mata hati kita untuk senantiasa melaksanakan Sholat wajib. Karena janji Allah dan Rosul-Nya tidak pernah meleset dan wajib kita meyakininya.
ان الله لا يخلف الميعاد. {الرعد:31.}

Ma’asyirol muslimin rohimakumulloh
Di akhir khutbah yang singkat ini, Khotib mengajak kepada seluruh jamaah untuk saling menasehati terhadap sesama muslim. Marilah kita ajak serta bimbing saudara-saudara kita yang masih sering melalaikan atau bahkan meninggalkan Sholat. Marilah kita serukan kepada sanak famili kita untuk melaksanakan Sholat dengan khusyu’. Jangan kita biarkan anak-cucu- keluarga dan saudara-saudara kita mendapatkan siksa dari Allah SWT. Yakinlah bahwa siksa Allah sangatlah pedih dan tidak mungkin dapat kita bayangkan. Tiada kata terlambat bagi mereka yang mau bertobat.
قد افلح المئمنون. الذين هم فى صلاتهم خاشعون.


(Khutbah disampaikan di Masjid Annida Al Islamy tanggal 3 Juni 2005 )
KHUTBAH KE-2
Ibadah
Kaum muslimin sidang Jum’at Rohimakumulloh
Marilah kita canangkan bersama di dalam diri kita masing-masing untuk selalu berupaya meningkatkan iman dan taqwa kepada Allah SWT. Iman dan taqwa dalam pengertian segala tindak tanduk kita harus selalu berada di jalur yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Keimanan dan ketqwaan tersebut bukan untuk dilafazkan saja tetapi untuk dilaksanakan, baik dalam beribadat kepada Sang Kholik maupun dalam aktivitas keseharian. Keimanan dan ketaqwaan kita akan terlihat manakala kebutuhan untuk beribadat kepada Allah SWT semakin menggebu-gebu dan dorongan hawa nafsu semakin dapat kita kendalikan. Keimanan dan ketaqwaan juga akan tercermin dalam aktivitas sehari-hari, baik yang aktivitasnya di perusahaan, perkantoran, pasar, dan di mana saja jika aktivitasnya tersebut disertai dengan kejujuran dan keikhlasan. Tentunya keimanan dan ketaqwaan ini akan berdampak langsung bagi kesuksesan dalam bekerja.
Marilah kita simak sabda NabiAllah :
الايمان عقد باالقلب وقول باالسان وعمل باالاركان. رواه مسلم
Artinya : Iman ialah keyakinan dengan hati dan diucapkan dengan lidah serta dikerjakan dengan anggota badan. (H.R. Muslim)

Kaum muslimin sidang Jum’at Rohimakumulloh
Hari ini merupakan hari Jum’at pertama di tahun 2003, tentunya telah banyak kejadian yang telah kita lewati di tahun 2002 yang lalu. Segala macam kejadian tersebut tentunya tidak terlepas dari pada keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT.
Di awal tahun ini merupakan waktu yang tepat bagi kita untuk melakukan koreksi serta evaluasi terhadap segala macam tindakan kita selama di tahun 2002 yang lalu. Dalam pengoreksian dan evaluasi tersebut, marilah kita khususkan pada persoalan ibadah kepada Allah SWT. Sudah seberapa taatkah kita kepada Allah SWT selama ini ? Dan sudah seberapa maksiat kah kita selama ini ?
Persoalan ibadah kepada Allah SWT nampaknya merupakan suatu hal yang dianggap enteng oleh sebagian orang. Seringkali kita melalaikan kewajiban beribadah hanya karena memikirkan persoalan duniawi semata. Ada yang menganggap pekerjaan lebih penting dari pada ibadah sehingga seringkali kewajiban untuk beribadah dita’khirkan bahkan dilupakan. Padahal Allah SWT telah berfirman :
ومن يطع الله ورسوله فقد فاز فوزا عظيما. {الاحزاب:71}
Artinya : Dan barang siapa yang mentaati Allah dan Rosul-Nya niscaya ia akan bahagia sebenar-benarnya bahagia.

Tetapi sebaliknya, bagi orang yang mendurhakai Allah dan Rosul-Nya akan memperoleh azab yang yang pedih, sebagaimana difirmankan dalam Surat Jin ayat 23 :
ومن يعص الله ورسوله فان له نار جهنم خالدين فيها ابدا.
Artinya : Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rosul-Nya maka sesungguhnya baginya neraka jahanam kekal didalamnya selama-lamanya.

Dalam persoalan pengoreksian dan evaluasi sudah sepatutnya kalau kita memiliki sebuah patokan atau barometer. Barometer tersebut secara jujur hanya diri kita sendiri yang mengetahuinya. Untuk itu hendaknya kita selalu mendasari pengoreksian dan evaluasi tersebut pada 3 hal :
1. Lebih baik;
2. Lebih jelek;
3. Sama saja.
Hal ini telah disinggung jauh-jauh hari oleh Nabi Allah :
قال النبي : من كان يومه خيرا من امسه فهو رابح. ومن كان يومه مثل امسه فهو مغبون. ومن كان يومه شرا من امسه فهو ملعون. رواه الحاكم
Artinya : barangsiapa yang keadaan hari ini lebih baik dari kemarin maka dia adalah orang yang beruntung, dan barangsiapa yang keadaannya hari sama seperti hari kemarin dia adalah orang yang tertipu, dan barang siapa yang hari ini lebih jelek dari hari kemarin maka dia adalah orang yang terkutuk.

Dengan memperhatikan sabda nabi tersebut maka secara hakikat pengoreksian dan evaluasi tidak hanya dilakukan setahun sekali namun harus dilakukan setiap waktu. Hal ini didasari pada sebuah pemikiran untuk selalu berupaya lebih baik dalam setiap hitungan waktu.
Hadirin sidang Jum’at yang berbahagia
Saat ini kita seharusnya sudah dapat menganalisa kekurangan-kekurangan apa saja yang masih kita miliki dan telah menyusun rencana di awal tahun ini untuk menutupi kekurangan-kekurangan tersebut. Penutupan diakhir tahun dan pembukaan waktu di awal tahun seharusnya memberikan kita kewaspadaan bahwa umur kita semakin berkurang dan semakin mendekati kematian. Lalu apa manfaat yang dapat kita peroleh jika setiap akhir tahun aktivitas kita hanyalah berpesta pora seo;ah-olah kita telah berhasil mencapai kemenangan? Padahal kita sadari bersama bahwa masih banyak hal-hal yang semestinya dapat dilakukan dengan lebih baik lagi. Hendaknya kita selalu

mengingat bahwa sesuatu yang berlebihan hanya akan membawa kepada hal-hal yang tidak baik.
Kini waktunya untuk memulai merealisasikan segala hal yang telah kita rencanakan. Upaya untuk merealisasikan peningkatan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT.
يايهاالذين آمنو التقوا الله والتنظر نفس ماقدمت لغد والتقوا الله ان الله خبير بماتعملون. {الحشر:18}
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman bertqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap hari memeprhatikan (merencanakan) apa yang akan diperbuatnya esok. Sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
(Disampaikan di Masjid Jami Annida Al Islamy)




Khutbah 3
Idul Adha

الله اكبر 9x
الله اكبر كبيرا والحمدلله كثيرا وسبحان الله بكرة واصيلا. لا اله الا الله والله اكبر. الله اكبر ولله الحمد.
الحمدلله احمده سبحانه وتعالى على نعمه الغرار . اشكره على قسمه المدرار.
واشهد ان لا اله الا الله وحده لا شريك له . واشهد ان محمدا عبده ورسوله النبي المختار. صلى الله على سيدنا محمد وعلى اله الاطهار واصحابه الاخيار. وسلم تسليما كثيرا. ايهاالناس اتقوالله رب العالمين. فا التقواى وصية الله للاولين والآخرين . وشعار المؤمنين ودثار المتقين .

Hadirin Sidang Sholat Iedul Adha Rohimakumulloh
Marilah bersama-sama melalui momentum Hari Raya Kurban yang mulia ini kita berupaya untuk senantiasa meningkatkan kualitas serta kuantitas keimanan serta ketaqwaan kita kepada Allah SWT, baik dalam kegiatan ubudiyah kepada Allah mapun muamalah terhadap sesama manusia.
Di pagi hari ini kita telah mendapatkan satu kebaikan. Kebaikan dalam arti kita telah melaksanakan salah satu perintah Allah SWT dan Rosululloh SAW untuk melakukan sholat sunnah Idul Adha. Sholat sunnah yang hanya terdapat di 2 hari raya Islam, yakni Idul Fitri & Idul Adha. Oleh sebab itu berbahagialah bagi kita semua karena di awal waktu dimana kita akan menjalani kesibukan di hari raya ini, kita telah berbuat dan mendapatkan kebaikan.
Selanjutnya marilah kita simak salah satu hadits Rosululloh yang diriwayatkan oleh Daruqutni yang berbunyi :

عن عبدالله بن السائب قال : شهدت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم العيد . فلما قضى الصلاة قال : انا نخطب . فمن احب ان يجلس يعنى للخطبة فليجلس . ومن احب ان يذهب فليذهب.

Allahu Akbar 3X
Hadirin sidang Ied Rohimakumulloh
68 hari yang lalu, bersama-sama kita telah merayakan Hari Raya Idul Fitri. Suatu hari raya Islam yang mewajibkan umat Islam untuk melakukan puasa sebulan penuh di bulan Ramadhan sebelum akhirnya kita tiba di Hari Raya Idul Fitri tersebut. Pada hari ini genaplah usia kita telah berkurang sebanyak 68 hari. Mungkin ada diantara sanak famili kita, atau tetangga kita, atau di lingkungan kita yang tidak dapat lagi merayakan Hari Raya Idul Adha saat ini karena telah dipanggil oleh Allah SWT. Padahal 68 hari yang lalu di saat Idul Fitri kita masih dapat berkumpul dan merayakannya bersama-sama. Disitulah terletak hakikat seorang makhluk, yaitu kita akan menemui ajal tanpa dapat diprediksi sebelumnya oleh siapapun juga. Berdasarkan hal tersebut marilah kita bersama-sama, baik secara individu maupun kelompok untuk selalu berupaya meningkatkan kadar keimanan dan ketqwaan kepada Allah SWT. Sebab hanya dengan modal keimanan dan ketaqwaan lah kita dapat mendapatkan kebahagiaan di akhirat kelak.

Allahu Akbar 3x
Dalam kesempatan khutbah yang singkat ini, ada 2 pembicaraan yang tidak dapat kita lepaskan dalam momentum Idul Adha ini, yakni masalah kurban & masalah haji. Ke2 tema pembicaraan tersebut tidak terlepas daripada kisah Nabi Allah Ibrahim AS, Nabi Ismail AS serta Siti Hajar. Dari kisah tersebut semestinya kita dapat mengambil suri tauladan, sebagimana difirmankan oleh Allah SWT dalam Surat Al Mumtahanah ayat 4 yang berbunyi :

قد كانت لكم أسوة حسنة فى ابراهيم والذين معه....
Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagi kamu pada Ibrahim dan orang yang bersama dengan dia.

Allahu Akbar 3x
Ma’asyirol ….
Apabila kita memperhatikan adanya 2 hari raya Islam yang berbeda waktunya, maka sudah sepatutnyalah kita membuka pikiran untuk menganalisanya. Ketetapan Allah SWT untuk menjadikan hari raya Idul Fitri dilaksanakan terlebih dahulu dibandingkan dengan hari raya Idul Adha memunculkan beberapa analisa. Salah satunya ialah bahwa secara filosofis Idul Fitri merupakan hari dimana manusia kembali lagi kepada fitrahnya, yaitu hamba yang beriman kepada Allah SWT. Setelah sebulan penuh membakar dosa dan noda di jiwanya, manusia dapat kembali menjadi insane robbani. Idul Fitri merupakan simbolisasi hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhannya, yakni Allah SWT.
Adapun hari raya Idul Adha pada dasarnya memperingati pengorbanan puncak keluarga Nabi Ibrahim AS. Ia merupakan simbolisasi pengorbanan seorang hamba kepada Tuhannya dan sesamanya. Dari sini kita bias melihat bahwa pengorbanan yang hakiki harus berlandaskan pada jiwa yang bersih, iman yang kokoh dan tujuan yang benar. Kita tidak dapat beridul adha sebelum beridul fitri. Kita tidak bias berkurban untuk Allah SWT dan sesama manusia secara maksimal kalau jiwa kita masih kotor dan jauh dari cahaya Allah SWT.

Allahu Akbar 3x
Semangat kurban merupakan salah satu ajaran dalam Islam untuk menguji keimanan seseorang dan untuk mengetahui seberapa jauh kecintaannya kepada anak-anak dan hal-hal lain yang bersifat duniawi. Mencintai kepada anak adalah fitrah manusia sebagaimana halnya cinta kepada harta, pangkat dan kedudukan. Akan tetapi dalam pandangan agama, cinta yang sebenarnya adalah cinta kepada Allah SWT dan rosul-Nya.
Jika kita menyimak sepenggal kisah Nabi Allah ibrahim AS maka kita akan merasakan betapa besarnya pengorbanan beliau. Di usia yang telah senja, sekitar usia 80 tahun lebih, Nabi Allah Ibrahim AS baru dikarunia keturunan oleh Allah SWT. Dan disaat baru menginjak remaja ternyata anak tersebut yang tidak lain ialah Nabi Allah Ismail, harus direlakan untuk dikurbankan. Pada saat menerima perintah tersebut, Nabi Allah Ibrahim AS dihinggap keraguan dan kebimbangan. Lalu ia memutuskan untuk menunggu isyarat selanjutnya dari Allah SWT. Hari yang dilalui untuk menunggu inilah yang disebut dengan hari tarwiyah yang jatuh pada tanggal 8 Dzul Hijjah. Kemudian tibalah keesokan harinya tanggal 9 Dzul Hijjah Nabi Allah Ibrahim mendapatkan kepastian untuk mengorbankan anaknya. Pada tanggal 10 Dzul Hijjah dilaksanakanlah penyembelihan Nabi Allah Islamil AS yang pada akhirnya Allah SWT menggantikan posisi Nabi Ismail AS dengan seekor kambing kibas yang selanjutnya menjadi symbol utama binatang untuk dikorbankan.



Allahu Akbar 3x
Hadirin sidang sholat Ied Rohimakumulloh
Dalam bidang apapun, setiap pengorbanan sangatlah diperlukan. Jangankan di jalan yang haq, di jalan yang batil pun orang-orang kafir melakukan pengorbanan termasuk dengan harta yang mereka miliki. Hal ini dapat kita lihat dalam Surat Al Anfal ayat 36 :
ان الذين كفروا ينفقون اموالهم ليصدوا عن سبيل الله فسينفقونها ثم تكون عليهم حسرة ثم يغلبون والذين كفروا الى جهنم يحشرون .
Sesungguhnya orang-orang kafir itu menafkahkan harta mereka untuk menghalangi orang-orang dari jalan Allah SWT. Mereka menafkahkan harta itu kemudian mereka menjadi sesalan bagi mereka dan mereka akan dikalahkan. Dan ke dalam neraka jahanam lah orang-orang kafir itu dikumpulkan.

Allahu Akbar 3x
Pengertian berkorban adalah mengeluarkan dan menyerahkan apa yang kita miliki meskipun sebenarnya sangat kita butuhkan. Hal tersebut telah dicontohkan oleh Umar bin Abdul Aziz pada saat diangkat menjadi khalifah, dimana ia menyerahkan harta yang dimilikinya kepada negara. Hal tersebut justru sangat bertolak belakang dengan tipe pemimpin di zaman sekarang. Hampir di semua tingkatan pemimpin-pemimpin tersebut hanya memikirkan kepentingannya sendiri. Bahkan yang lebih menusuk hati mereka tidak malu lagi untuk meminta berbagai macam tunjangan yang besarnya mungkin berpuluh-puluh kali lipat dibandingkan Bantuan Langsung Tunai yang hanya sebesar 300.000 ribu rupiah untuk 3 bulan yang disediakan untuk rakyat miskin. Tidak sedikit nyawa taruhannya untuk mendapatkan uang bantuan tersebut. Sungguh ketimpangan yang sangat nyata dan tidak dapat ditolerir.

Allahu Akbar 3x
Pada hakikatnya berkurban di hari raya Idul Adha merupakan perbuatan sunnah. Namun demikian, nabi Muhammad SAW sangat menekankan pentingnya berkurban bagi kaum muslimin yang memiliki harta berlebih. Jika untuk mengambil kredit barang-barang mewah saja sanggup, menjadi tidak masuk akal manakala di kesempatan Idul Adha ini tidak mau untuk berkurban. Padahal jika diperhitungkan secara matematis maka jumlah uang yang dikeluarkan untuk membeli hewan kurban pasti tidak sebanding dengan harga barang-barang mewah tersebut. Terhadap orang-orang seperti ini Rosululloh telah mengeluarkan ancaman, sebagaimana di hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah :
عن ابي هريرة ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : من كان له سعة ولم يضح فلا يقربن مصلانا
Barang siapa memiliki kemampuan untuk berkurban tetapi tidak dilakukan janganlah ia mendekati tempat sholat kami.

Ma’asyirol…
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar kurban yang kita tunaikan tidak menjadi sia-sia.
Pertama : bersihnya jiwa dari segala kotoran yang bias merusak lurusnya niat. Nabi Allah Ibrahim AS mampu mengorbankan segalanya demi untuk taat kepada Allah SWT secara monumental setelah ia mampu menaklukan kehendak dirinya dan membersihkan jiwanya dari kotoran dan dosa. Seseorang yang mampu berkurban dengan ikhlas pada dasarnya telah mampu mengalahkan dirinya, karena pada hakikatnya manusia itu bersifat keluh kesah dan kikir. Hal ini termaktub dalam Surat Al Ma’arij ayat 19 :
ان الانسان خلق هلوعا
Sesungguhnya manusia diciptakan dalam keadaan keluh kesah.
Oleh karena itu pengorbanan harus dating dari hati yang bersih dan bukan karena paksaan dari orang lain. Apalagi jika berkurban dikaitkan dengan persoalan politik sungguh merupakan tindakan yang sia-sia.

Kedua : baiknya kualitas sesuatu yang dikurbankan. Kisah pengorbanan dari Habil dan Kabil dapat menjadi pelajaran penting bagi kita semua. Allah SWT hanya akan menerima pengorbanan yang terbaik dari hambanya. Kurban yang diberikan oleh Habil diterima oleh Allah SWT karena ia mengorbankan binatang peliharaannya yang terbaik yang ia miliki. Sedangkan Kabil berkurban dengan buah-buahan yang jelek kualitasnya sehingga Allah SWT menolaknya. Dalam salah satu hadits Rosululloh bersabda sebagaimana telah diriwayatkan oleh Ibnu Majah :
اربع لا تجوز فى الاضاحي : العوراء بين عورها . زالمريضة بين مرضها . والعرجاء بين ظلعها والكسير التي لا تنقي .
Ada 4 kondisi yang dimakruhkan untuk dikurbankan : (1) binatang yang buta sebelah matanya (2) binatang yang sakit (3) binatang yang pincang kakinya (4) dan binatang yang patah kakinya sehingga tidak dapat berjalan.

Ketiga : caranya benar. Cara disini meliputi proses penyembelihannya maupun cara pendistribusian daging yang yang dikurbankan.
Demikianlah beberapa hal yang harus diperhatikan pada saat melakukan pengurbanan. Pada prinsipnya pengurbanan tidak hanya terbatas dilakukan pada saat hari raya Idul Adha saja namun juga harus dilakukan pada setiap kesempatan demi terciptanya rasa saling tolong menolong di antara sesama.

Allahu Akbar 3x
Meningkat kepada persoalan yang kedua ialah mengenai haji. Haji merupakan rukun Islam yang kelima setelah 2 kalimat syahadat, sholat, zakat dan berpuasa. Tata urutan yang menempatkan haji diurutan yang kelima menunjukan bahwa adanya kewajiban untuk melaksanakan terlebih dahulu perintah-perintanh Allah yang lebih utama. Sudahkan sholat kita dirikan secara khusyu’ dan benar pada waktu-waktu yang telah ditentukan ? Sudahkah kita mengeluarkan zakat atas harta serta penghasilan yang telah kita dapatkan ? Sudahkan kita melakukan ibadah puasa di bulan Ramadhan secara utuh dan benar ?
Kesemua pertanyaan itu memberikan pemahaman bahwa ibdah haji seharusnya baru kita laksanakan setelah kita mampu melaksanakan secara baik ke 4 hal yang merupakan urutan terdepan dalam rukun Islam. Jangan sampai terjadi disekitar kita dimana ada orang yang telah berkali-kali melaksanakan ibadah haji namun belum pernah mengeluarkan zakat. Sungguh suatu keadaan yang sulit diterima akal sehat.

Ma’asyirol…….
Pelaksanaan ibadah haji merupakan salah satu ibadah yang membutuhkan biaya yang cukup besar. Oleh karenanya tidak semua orang mampu melaksanakan ibadah tersebut. Keluasan rizki dan kesempatan merupakan salah satu factor pendukung terlaksananya ibadah tersebut. Oleh karenanya hendaknya bagi orang yang telah mampu melaksanakannya untuk segera mensegerakannya, sebagaimana sabda Rosululloh yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad :
تعجلوا الحج فان احدكم لا يدري ما يعرض له
Segeralah kamu menunaikan ibadah haji bagi yang sanggup karena tiada seorang pun yang akan tahu hal yang akan menimpa dirinya.

Hadirin…
Pada umumnya ada 2 hal yang dapat menggerakan hati kaum muslimin untuk menunaikan ibadah haji, yakni mendapatkan haji mabrur dan ampunan dosa. Ke 2 tujuan tersebut terkadang ditafsirkan secara keliru oleh sebagian masyarakat. Ada sebagaian masyarakat yang beranggapan bahwa dengan melaksanakan haji berkali-kali maka ia akan mendapatkan haji yang mabrur dan ampunan dosa dari Allah. Padahal tidak ada kaitannya antara melaksanakan haji berulang kali dengan pengertian haji mabrur. Definisi haji mabrur ialah
ومن علامة الحج المبرور ان يكون الحج احسن حالا من قبل وان يكون قدوة اهل بلده
Diantara tanda haji mabrur ialah bahwa orang tersebut akan menjadi lebih baik keadaannya setelah kembali dari tanah suci dibandingkan sebelumnya dan orang tersebut menjadi panutan bagi masyarakat disekelilingnya.
Momentum hari raya Idul Adha ini merupakan salah satu momentum yang paling tepat untuk membuktikan bahwa kita telah menjadi haji yang mabrur, baik dengan memberikan kebahagiaan bagi mereka yang kurang mampu maupun menjadi waktu permulaan untuk menjadi orang yang diteladani akhlaknya dan prilakunya. Rosululloh pernah mengingatkan “tidak beriman seseorang yang tidur dalam keadaan kenyang sementara tetangganya kelaparan padahal ia mengetahuinya.” Dalam hadits yang lain pula disebutkan bahwa hamba yang paling dicintai oleh Allah SWT adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia.
Menyimak 2 hadits tersebut, sebaiknya kita memprioritaskan yang wajib terlebih dahulu untuk sesama dibandingkan melaksanakan ibadah haji untuk kesekian kalinya yang pada dasasrnya hanyalah sunnah.
Ma’asyirol….
Kemiskinan yang masih menguasai sebagian besar masyarakat Indonesia, selain karena pengelolaan negara yang belum maksimal, disebabkan pula oleh masih rendahnya kesadaran dari para “Agniyaa” untuk membantu para kaum papa. Sesungguhnya diantara harta kekayaan yang mereka miliki terdapat hak orang-orang miskin yang harus dikeluarkan , baik melalui zakat maupun sodaqoh lainnya, termasuk saat ini dengan cara mengeluarkan kurban.
Berkaitan dengan pelaksanaan haji, marilah kita simak sebuah kisah dari seorang sufi yang bernama Abdulloh bin Mubarok yang hidup sekitar tahun 900-an hijriah. Ketika ia berada di di Masjidil Haram selesai melaksanakan haji ia tertidu r lalu bermimpi. Dalam mimpinya tersebut nampak turun 2 malaikat dari langit mendekati sang sufi tersebut seraya bercengkerama : Malaikat pertama bertanya ada berapa jumlah jamaah haji tahun ini ? Kemudian malaikat yang kedua menjawab ada sekitar 600 ribu jamaah. Lalu malaikat pertama kembali bertanya ada berapa orang yang hajinya diterima ? Lalu malikat yang kedua menjawab tidak seorang pun. Kemudian sang sufi yang mendengar hal tersebut tak kuasa untuk ikut bertanya, lalu siapa yang mendapatkan pahala haji tersebut. Maka sang malaikat menjawab bahwa pahala haji tersebut diperoleh seorang tukang sepatu yang berada di Damaskus yang bernama Ali bin Muwaffaq. Singkat cerita berangkatlah sang sufi tadi untuk mencari tahu siapakah gerangan orang yang mendapat pahala haji tersebut. Ketika telah bertemu, maka sang sufi tadi bertanya keadaan tukang sepatu tersebut, yang kemudian tukang sepatu itu bercerita bahwa ia memang telah berniat untuk menunaikan ibadah haji. Namun tiba-tiba saja sang istri yang tengah mengidam menginginkan daging yang tengah dimasak oleh tetangganya yang miskin. Namun sang tetangga tersebut melarangnya, karena daging yang tengah dimasak itu merupakan daging bangkai keledai. Daging itu dimasak hanya untuk menghibur anak-anaknya yang telah berhari-hari belum makan. Mendengar hal tersebut dengan segera tukang sepatu itu pulang untuk memberikan uang yang akan dipergunakan untuk berangkat haji. Dan batalah ibadah haji yang telah direncanakan selama bertahun-tahun.
Kiranya kisah tersebut dapat membuka pikiran kita serta membuang sifat egois dalam beribadah, bahwa menolong tetangga yang tengah kesusahan lebih mulia di mata Allah SWT dibanding dengan ibadah haji sekalipun, apalagi jika ibadah haji tersebut dilaksanakan untuk yang kesekian kali.

Allahu Akbar 3x
Marilah saudara-saudarku kaum muslimin dan muslimat, di hari raya yang agung ini kita berupaya merealisasikan bentuk keimanan serta ketaqwaan kita kepada Allah SWT. Kalau memiliki harta yang berlebih , tiada kata terlambat untuk bersedekah serta amal jariah. Kalaupun kita tidak memiliki harta yang berlebih maka cukuplah kita perbanyak takbir serta zikir kehadirat Allah SWT sebagaimana disinyalir dalam sebuah sabda Rosululloh yang diriwayatkan oleh Imam Daruqutni :
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم اذا صلى الصبح من غداة عرفة يقبل على اصحابه فيقول : على مكانكم ويقول : الله اكبر الله اكبر الله اكبر لا اله الا الله والله اكبر الله اكبر ولله الحمد. فيكبر من غداة عرفة الى صلاة العصر من أخر ايام التشريق.

بارك الله لي ولكم في القرأن العظيم. ونفعني واياكم بما فيه من ألآيات والذكر الحكيم وتقبل مني ومنكم تلاوته انه هو السميع العليم. اقول قولي هذا وأستغفروه انه هو الغفور الرحيم .
(Disampaikan di Masjid Al Hidayah Rawalumbu 2006)