Jumat, 11 April 2008

Handout Mata Kuliah Ilmu Hukum

HAND OUT ILMU HUKUM
Oleh : H.M.Aiz Muhadjirin,SH,MH

Pertermuan I

Pengertian-pengertian Ilmu Hukum

Cross, memberikan definisi, bahwa “ilmu hukum adalah segala pengetahuan hukum yang mempelajari hukum dalam segala bentuk dan manifestasinya”. (Satjipto Rahardjo 1982:12).
Ilmu hukum dalam perpustakaan hukum dikenal dengan nama “Jurisprudence” yang berasal dari kata “Jus”, Juris” yang artinya hukum atau hak. “Prudence” berarti meilhat ke depan atau mempunyai keahlian, dan arti umum dari Jurisprudence adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari hukum.(Satjipto Rahardjo 1982:10).
Curzon, berpendapat bahwa “ilmu hukum adalah suatu ilmu pengetahuan yang mencakup dan membicarakan segala hal yang berhubungan dengan hukum”.(Satjipto Rahardjo 1982:3). Dalam bahasa Inggrisnya ia disebut “Jurisprudence”.
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto dalam bukunya “Perihal Kaidah Hukum” (1982:10) menyebutkan bahwa ilmu hukum mencakup :
Ilmu tentang kaidah, yaitu ilmu yang menelaah hukum sebagai kaidah atau sistem kaidah-kaidah dengan dogmatic hukum dan sistematik hukum.
Ilmu Pengertian, yakni ilmu tentang pengertian-pengertian pokok dalam hukum seperti subyek hukum, hak dan kewajiban, peristiwa hukum, hubungan hukum, dan obyek hukum.
Ilmu tentang kenyataan, yang menyoroti hukum sebagai perikelakuan sikap tindak, yang antara lain mencakup sosiologi hukum, antropologi hukum, psikologi hukum, perbandingan hukum, dan sejarah hukum.
Ilmu hukum adalah suatu pengetahuan yang obyeknya adalah hukum dan yang khusus mengajarkan perihal hukum dalam segala bentuk dan manifestasinya, ilmu hukum sebagai ilmu kaidah, ilmu hukum sebagai ilmu pengertian dan ilmu hukum sebagai ilmu kenyataan. (R.Soeroso 1993:5).


Pengertian Tentang Hukum

Arti kata hukum secara etimologi memiliki beberapa istilah, diantaranya yaitu :
Hukum
Kata hukum berasal dari bahasa Arab, yang selanjutnya diambil alih dalam bahasa Indonesia. Di dalam pengertian hukum terkandung pengertian yang bertalian erat dengan pengertian yang dapat melakukan paksaan.
Recht
Recht berasal dari “Rectum” (bahasa Latin) yang mempunyai arti bimbingan atau tuntunan, atau pemerintahan. Bertalian dengan kata ‘Rectum” di kenal pula kata “Rex” yaitu orang yang pekerjaannya memberikan bimbingan atau memerintah. “Rex” juga dapat diartikan raja yang mempunyai kerajaan (regimen).
Ius
Kata “Ius” berasal dari bahasa Latin yang mengandung arti hukum. “Ius” berasal dari kata “Iubere” artinya mengatur atau memerintah. Kata “Ius” seringkali bertalian erat dengan kata “Iustitia” atau keadilan. Pada zaman Yunani Kuno, Iustitia adalah dewi keadilan yang dilambangkan sebagai seorang wanita dengan kedua matanya tertutup dengan tangan kirinya memegang neraca dan tangan kanannya memegang sebuah pedang.
Lex
Kata “Lex” berasal dari bahasa Latin yakni “Lesere”. Lesere mengandung arti mengumpulkan orang-orang untuk diberi perintah.

Sebenarnya para sarjana telah lama mencari suatu batasan tentang hukum tetapi belum ada yang dapat meberikan suatu batasan atau definisi yang tepat. Batasan-batasan yang diberikan adalah bermacam-macam, berbeda satu sama lain dan tidak lengkap. Maka sangatlah tepat apa yang telah dikatakan oleh Immanuel Kant pada tahun 1800 : “Noch suchen die juristen eine definition zu ihren begriffe von recht”, yang artinya para juris masih mencari suatu definisi mengenai pengertian tentang hukum. Berdasarkan uraian tersebut, untuk membuat definisi hukum adalah sulit. Seandainya ada yang mendefinisikan, maka definisinya akan dipengaruhi oleh latar belakang mereka masing-masing. Diantara beberapa definisi hukum yang dikemukakan oleh pakar hukum antara lain ialah :
Prof.Dr. P.Brost
Hukum ialah merupakan peraturan atau norma, yaitu petunjuk atau pedoman hidup yang wajib ditaati oleh manusia. Dengan demikian hukum bukanlah kebiasaan.
Prof.Dr.Van Kan
Dalam bukunya “Inleiding tot de rechtswetenschap”, hukum ialah keseluruhan peraturan hidup yang bersifat memaksa untuk melindungi kepentingan manusia di dalam masyarakat.
Prof.Mr.Dr.L.J.Van Apeldoorn
Hukum mengatur perhubungan antara manusia atau inter hukum.
Kantorowich
Dalam bukunya “The definition of law” beliau mengatakan hukum adalah keseluruhan peraturan-peraturan social yang mewajibkan perbuatan lahir yang mempunyai sifat keadilan serta dapat dibenarkan.













Tujuan Hukum

Mengingat banyaknya perndapat yang berbeda-beda berkaitan dengan tujuan hukum, maka untuk mengatakan secara tegas dan pasti adalah suatu hal yang sulit. Ada yang beranggapan bahwa tujuan hukum itu kedamaian, keadilan, kefaedahan, kepastian hukum dan sebaginya. Kesemuanya itu menunjukan bahwa hukum itu merupakan gejala masyarakat. Mengenai pendapat dari beberapa pakar hukum, dapat diketengahkan sebagai berikut :
Dr.Wirjono Projodikoro,SH
Dalam bukunya “Perbuatan Melanggar Hukum”, beliau katakan bahwa tujuan hukum adalah mengadakan keselamatan, kebahagiaan, dan tata tertib dalam masyarakat.
Prof. Subekti,SH
Dalam bukunya “Dasar-dasar Hukum dan Pengadilan”, beliau katakan bahwa hukum itu mengabdi pada tujuan Negara yang intinya ialah mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan rakyatnya.
Prof.Mr.Dr.L.J.Apeldoorn
Dalam bukunya “Inleiding tot de studie van het Nederlandse recht”, beliau menyatakan bahwa tujuan hukum adalah mengatur tata tertib dalam masyarakat secara damai dan adil.
Aristoteles
Dalam bukunya “Rhetorica”, beliau cetuskan teorinya bahwa tujuan hukum menghendaki keadilan semata-mata dan isi daripada hukum ditentukan oleh kesadaran etis mengenai apa yang adil dan apa yang tidak adil.
Jeremy Bentham
Dalam bukunya “Introduction to the moral and legislation”, ia mengatakan bahwa hukum bertujuan semata-mata apa yang berfaedah bagi orang.
Prof.Mr.J.Van Kan
Tujuan hukum adalah menjaga kepentingan tiap-tiap manusia supaya kepentingan-kepentingan itu tidak dapat diganggu..


Fungsi Hukum
Secara umum fungsi hukum dapat dikatakan untuk menertibkan dan mengatur pergaualan dalam masyarakat serta menyelesaikan masalah-masalah yang timbul. Dalam perkembangan masyarakat saat ini, fungsi hukum dapat terdiri dari :
Sebagai alat pengetur tata tertib hubungan masyarakat.
Sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan social lahir dan batin.
Sebagai sarana penggerak pembangunan.
Sebagai fungsi kritis.
Agar fungsi-gungsi hukum dapat terlaksana dengan baik, maka bagi para penegak hukum dituntut kemampuannya untuk melaksanakan dan menerapkan hukum dengan baik, dengan seni yang dimiliki masing-masing petugas, misalnya :menafsirkan hukum sesuai dengan keadilan dan posisi masing-masing, serta bila diperlukan melakukan penafsiran analogis penghalusan hukum.

Pengertian Tata Hukum
Hukum merupakan salah satu norma yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat disamping norma kesopanan, kesusilaan, dan norma agama. Adapun tata hukum memiliki pengertian sebagai keseluruhan hukum yang berlaku dalam tata pergaulan hidup bernegara. Tata hukum meliputi berbagai macam aspek sudut pandang terhadap hukum itu sendiri, yakni :
Hukum menurut bentuknya, yaitu hukum tertulis dan hukum tidak tertulis.
Hukum menurut waktu berlakunya, yaitu ius constitutum (saat ini) dan ius constituendum (akan datang).
Hukum menurut wilayah berlakunya, yaitu hukum local, nasional, dan internasional.
Hukum menurut cara mempertahankannya, yaitu materil dan formal.
Hukum menurut isinya, yaitu hukum public dan hukum privat atau sipil.
Hukum Islam




Sejarah Tata Hukum Indonesia.
Berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945 disebutkan bahwa segala badan negara dan peraturan yang telah ada (buatan penjajah Belanda atau Jepang) masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini. Ketentuan inilah yang menjadi dasar dari pembentukan tata hukum di Indonesia. Ketentuan tersebut sekaligus juga sebagai jawaban bagi orang-orang yang selalu bertanya, kenapa hukum buatan Belanda masih terus dipergunakan sampai saat ini ?
Sistem hukum yang menjadi pondasi hukum bagi sebagian besar negara-negara di dunia setidaknya terbagi 3, yakni Roman law system, Common law system, dan sistem Hukum Islam. Roman law system (Satjipto Rahardjo menyebutnya dengan istilah sistem hukum Romawi-Jerman) dibentuk di benua Eropa yang penggodokannya sejak abad ke-12 dan 13. Namun, oleh karena hukum tersebut diinginkan untuk ditampilkan ke dalam konteks perkembangan masyarakat, maka tidak aneh kalau kemudian gerakan yang ingin menempatkan hukum Romawi tersebut berakibat merusak keasliannya. Dalam perkembangannya sistem hukum ini dibuat dalam bentuk tertulis, tersusun secara bulat dan sistematis dan masih mempunyai cirri pokok dengan menggunakan pembagian dasar ke dalam hukum perdata dan hukum public. Sebagai bekas negara jajahan Belanda, maka Indonesia mendapatkan warisan sistem hukum yang dipakai di negara Belanda, yaitu Roman law system. Pelajaran hukum dan ilmu hukum di Indonesia, tampak sekali wujud cirri-ciri sistem hukum tersebut. Lebih jauh lagi, para ahli hukum ketika melanjutkan pendidikannya juga orientasinya lebih banyak ke Belanda daripada ke negara-negara yang menjadi rumpun Common law system. Bahkan pada umumnya para ahli hukum Indonesia menganggap secara tegas bahwa sistem hukum di Indonesia digolongkan pada Roman law system.
Pandangan mayoritas yang menyetujui pengelompokan sistem hukum Indonesia lebih cenderung kepada sistem hukum Romawi tidak seluruhnya disetujui oleh para pakar hukum. Salah satunya ialah Prof. A. Qodri Azizi dalam bukunya “Hukum Nasional:Eklektisisme Hukum Isalm & Hukum Umum” menyatakan bahwa memang benar Indonesia pernah dijajah oleh Belanda, namun sistem hukum yang ada sejak kemerdekaan sebenarnya tidak seluruhnya sama dengan sistem hukum Belanda. Secara singkat, kalau Belanda menganut aliran Legisme, Indonesia menganut aliran Rechtvinding-plus atau Legal Realism-plus.
Sistem hukum Common law sendiri identik dengan negara Inggris, yang mulai abad ke 11 telah menjadi sebagai hukum kota di Inggris. Mulai abad ke 16 jenis sistem hukum ini berpengaruh di Amerika dan Australia dan kemudian berpengaruh pula di beberapa negara jajahan Inggris di Asia dan Afrika. Common law didasarkan pada ketentuan hukum yang lebih dulu (judicial precedent), bukan pada undang-undang, dan asalnya dari hukum tidak tertulis di Inggris. Di sinilah inti perbedaan antara jenis sistem hukum Common law dengan sistem hukum Romawi.
Sedangkan sistem hukum Islam merupakan hukum yang sumbernya berupa ajaran dasar atau pokok-pokok dalam Al-Qur’an dan hadits Nabi; sementara itu, wujud riilnya dalam praktik lebih banyak didominasi oleh hasil ijtihad ulama (fuqaha atau mujtahidin). Adanya sumber utama ini merupakan perbedaan mendasar antara hukum Islam dengan sistem hukum yang lain. Ini artinya, hasil ijtihad ulama yang disebut hukum Islam itu kemudian dijadikan sumber untuk tersusunnya aturan atau undang-undang (rules) dan dalam waktu bersamaan juga berupa ketentuan prinsip-termasuk qawa’id fiqhiyyah (legal maxim)- yang dijadikan landasan para hakim (qadi) untuk membuat suatu keputusan terhadap kasus-kasus di pengadilan.





















Daftar Pustaka

Azizy, A.Qodri, 2004, Hukum Nasional Eklektisisme Hukum Islam & Hukum Umum, Jakarta :
Teraju Mizan.

Kusmiaty dan Sulhi, 2003, Tata Negara, Jakarta : Bumi Aksara.

R.Soeroso, 1993, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta : Sinar Grafika.






































HAND OUT ILMU HUKUM
Oleh :H.M. Aiz Muhadjirin,SH,MH

Pertemuan ke II

Pendahuluan
Pembawa hak, yaitu sesuatu yang mempunyai hak dan kewajiban disebut subyek hukum. Jadi boleh dikatakan bahwa tiap manusia baik warga negara maupun orang asing dengan tidak memandang agama maupun kebudayaannya adalah subyek hukum. Manusia sebagai pembawa hak (subyek) mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban untuk melakukan tindakan hukum. Ia dapat mengadakan persetujuan, menikah, membuat wasiat dan sebagainya. Di samping manusia pribadi sebagai subyek, terdapat pula badan-badan (kumpulan manusia) yang oleh hukum diberik status “persoon” yang mempunyai hak dan kewajiban seperti manusia yang disebut badan hukum. Badan hukum sebagai pembawa hak yang tidak berjiwa dapat melakukan sebagai pembawa hak manusia, memiliki kekayaan yang sama sekali terlepas dari kekayaan anggota-anggotanya. Manusia sebagai mahluk hidup yang berjiwa dan badan hukum yang tidak berjiwa dapat bertindak sebagai subyek hukum.

Pengertian-pengertian Subyek Hukum
Subyek hukum adalah sesuatu yang menurut hukum berhak/berwenang untuk melakukan perbuatan hukum atau siapa yang mempunyai hak dan cakap untuk bertindak dalam hukum.
Subyek hukum adalah sesuatu pendukung hak yang menurut hukum berwenang/berkuasa bertindak menjadi pendukung hak (Rechtsbevoegdheid) .
Subyek hukum adalah segala sesuatu yang menurut hukum mempunyai hak dan kewajiban.
Ada dua pengertian orang/person sebagai subyek hukum, yaitu :
Natuurlijk person adalah men persoon, yang disebut orang atau manusia pribadi.
Rechtsperson adalah yang berbentuk badan hukum yang dapat dibagi dalam publiek rechtperson yang memilikisifat unsur kepentingan umum seperti negara, daerah, dan privaat rechtsperson/ badan hukum privat yang mempunyai sifat unsure kepentingan individual.

Badan Hukum
Badan hukum terbagi 3 :
Menurut bentuknya; terdiri atas :
badan hukum publik.
Badan hukum privat, yang terbagi atas 2 tujuan :
b.1. Tujuan tidak materialistik, seperti badan wakaf, yayasan social.
b.2.Tujuan memperoleh laba, seperti PT, koperasi.
2. Menurut jenisnya; terdiri atas :
a. Koporasi.
b. Yayasan
3. Menurut tata aneka warna hukum di Indonesia; terdiri atas :
a. Menurut hukum Eropa.
b. Menurut bukan hukum Eropa (Bumiputera)
c. Menurut hukum adat.

Obyek Hukum
Obyek hukum adalah segala sesuatu yang berguna bagi subyek hukum (manusia/badan hukum) dan yang dapat menjadi pokok permasalahan dan kepentingan bagi para subyek hukum. Oleh karenanya dapat dikuasai oleh subyek hukum. Biasanya obyek hukum adalah benda atau zaak. Pengetahuan tentang benda terdapat penjelasannya secara luas pada Buku II KUH Perdata tentang hukum kebendaan atau zaken recht yang berasal dari hukum barat. Menurut pasal 503,504 dan 505 KUH Perdata, benda dapat dibagi dalam beberapa kelompok :
Benda yang bersifat kebendaan, yang terdiri atas:
1.Benda bertubuh (bergerak / tidak tetap seperti mobil, perhiasan, beras,minyak dan lain-lain, serta tidak bergerak/tetap seperti rumah, sawah dan lain-lain).
2. Benda tidak bertubuh seperti merek, paten, hak cipta dan sebagainya.
Berkaitan dengan manusia, seiring dengan perkembangan zaman telah terjadi perubahan yang sangat fundamental. Beberapa abad yang lalu, dimana perbudakan masih terjadi, manusia terkadang dapat menjadi sebagai obyek hukum, yakni pada saat hak dan kewajibannya sebagai subyek hukum dicabut atau dilenyapkan. Namun seiring perkembangan demokrasi dan juga martabat manusia, maka pada zaman modern dimana sistem perbudakan sudah tidak diperkenankan lagi maka manusia tidak dapat lagi dijadikan sebagai obyek hukum. Jika hal tersebut terjadi maka dapat dikategorikan melanggar HAM. Dalam sudut pandang agama Islam pun demikian, sebagaimana tertulis dalam surat Al Isra ayat 70 :
“Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, kami angkat mereka di daratan dan dilautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebih mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan mahluk yang telah kami ciptakan”.























HAND OUT ILMU HUKUM
Oleh :H.M. Aiz Muhadjirin,SH,MH

Pertemuan ke III

Pengertian Peristiwa Hukum
Dalam konteks hukum suatu peristiwa atau kejadian terkadang dapat masuk dalam ranah hukum, sehingga disebut sebagai peristiwa hukum, dan di luar ranah hukum, sehingga disebut sebagai bukan peristiwa hukum. Tentunya ke 2 peristiwa tersebut memiliki perbedaan yang mendasar terutama yang berhubungan dengan konsekuensi yang harus ditanggung oleh pihak-pihak yang terlibat dalam peristiwa tersebut.
Untuk lebih memfokuskan serta memudahkan pemahaman mengenai peristiwa hukum maka di bawah ini akan diuraikan beberapa pengertian tentang peristiwa hukum, diantaranya yaitu :
Peristiwa hukum ialah suatu rechtsfeit atau suatu kejadian hukum.
Peristiwa hukum ialah suatu kejadian biasa dalam kehidupan sehari-hari yang akibatnya diatur oleh hukum.
Peristiwa hukum ialah perbuatan dan tingkah laku subyek hukum yang membawa akibat hukum, karena hukum mempunyai kekuatan mengikat bagi subyek hukum atau karena subyek hukum itu terikat oleh kekuatan hukum.
Menurut Apeldoorn peristiwa hukum ialah peristiwa yang berdasarkan hukum menimbulkan atau menghapuskan hak.
Menurut Bellefroid peristiwa hukum ialah peristiwa sosial yang tidak secara otomatis dapat merupakan/menimbulkan hukum. Suatu peristiwa dapat merupakan peristiwa hukum apabila peristiwa itu oleh peraturan hukum dijadikan sebagai peristiwa hukum.







Macam-Macam Peristiwa Hukum
Peristiwa hukum dapat dibagi dalam beberapa kelompok, yaitu :
Peristiwa menurut hukum dan peristiwa melanggar hukum. Contohnya kelahiran, kematian, pendudukan tanah, pencemaran laut, jual beli, sewa menyewa, kredit di bank, pembunuhan dan sebagainya. Selain itu pembunuhan, wanprestasi, pencemaran laut juga termasuk peristiwa hukum, tepatnya peristiwa melanggar hukum.
Peristiwa hukum tunggal dan peristiwa hukum majemuk. Contohnya ialah hibah (untuk peristiwa hukum tunggal) dan jual beli yang diawali dengan tawar menawar, penyerahan barang, penerimaan barang, garansi / jaminan (untuk peristiwa hukum majemuk).
Peristiwa hukum sepintas dan peristiwa hukum terus menerus. Contohnya ialah tawar menawar (untuk peristiwa hukum sepintas) dan perjanjian sewa menyewa (untuk persitiwa hukum terus menerus) karena biasanya masa sewa akan terjadi dalam waktu yang relatif lama.

Hubungan Hukum
Hubungan hukum (Rechtsbetrekkingen) ialah hubungan antara dua atau lebih subyek hukum. Dalam hubungan hukum ini, hak dan kewajiban pihak yang satu akan berhadapan dengan hak dan kewajiban pihak yang lain. Jadi setiap hubungan hukum mempunyai 2 segi, yaitu segi kekuasaan / kewenangan / hak dan segi kewajiban. Dengan demikian hukum sebagai himpunan peraturan yang mengatur hubungan sosial memberikan suatu hak kepada subyek hukum untuk berbuat sesuatu atau menuntut sesuatu yang diwajibkan oleh hak tersebut. Pada akhirnya terlaksananya hak dan kewajiban itu dijamin oleh hukum. Mengenai hubungan hukum ini, Logemann berpendapat bahwa dalam tiap hubungan hukum terdapat pihak yang berhak meminta prestasi dan pihak yang wajib melakukan prestasi. Setiap hubungan hukum mempunyai 2 segi, yaitu kewenangan atau hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban ini keduanya timbul dari satu peristiwa hukum dan lenyapnya pun bersamaan.


Unsur-unsur hubungan hukum setidaknya ada 3 hal, yaitu adanya para pihak, obyek, dan hubungan antara pemilik hak dan pengemban kewajiban atau adanya hubungan atas obyek yang bersangkutan. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa hubungan hukum akan ada manakala adanya dasar hukum yang melandasi setiap hubungan dan timbulnya peristiwa hukum.

Jenis Hubungan Hukum
Hubungan hukum yang bersegi 1. Dalam hal ini hanya satu pihak yang memiliki hak sedangkan lainnya hanya memiliki kewajiban.
Hubungan hukum bersegi 2. Contohnya ialah perjanjian, dimana kedua belah pihak masing-masing memiliki hak dan kewajiban.
Hubungan antara 1 subyek hukum dengan beberpa subyek hukum lainnya. Contoh dalam hal sewa-menyewa, maka si pemilik memiliki hak terhadap beberapa pihak / subyek hukum lainnya, yang menyewa di lahan si pemilik.
















HAND OUT ILMU HUKUM
Oleh : H.M.Aiz Muhadjirin,SH,MH
Pertemuan IV

Sumber Hukum
Pendahuluan
Layaknya sebuah “hasil” yang diberlakukan untuk orang banyak, tentunya “hasil” tersebut akan senantiasa dipertanyakan berasal darimanakah “hasil” yang telah dijadikan pedoman atau rujukan tersebut. Setidaknya seperti itu jugalah suatu produk hukum yang diciptakan untuk mengatur kelangsungan hidup manusia. Bersumber dari manakah hukum tersebut ? Berdasarkan Ketetapan MPR Nomor III / 2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Perundang-undangan Pasal 1 disebutkan sebagai berikut :
Sumber hukum adalah sumber yang dijadikan bahan penyusunan peraturan perundang-undangan.
Sumber hukum terdiri atas sumber hukum tertulis dan tidak tertulis.
Sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila sebagaimana yang tertulis dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan batang tubuh UUD 1945.

Macam-macam sumber hukum
Sumber hukum formal meliputi beberapa macam, yaitu :
Undang-undang. Undang-undang merupakan salah satu produk lembaga legislative. Undang-undang di Indonesia dibuat secara bersama antara DPR(Pasal 5 UUD 1945) dengan Presiden. Dalam praktek ketatanegaraan di Indonesia sangat jarang sekali undang-undang bisa muncul atas inisiatif DPR (Pasal 21 UUD 1945). Hal ini juga menjadi pertanyaan yang cukup mendasar berkaitan dengan kinerja DPR yang dianggap belum mampu untuk memunculkan draft RUU.
Kebiasaan. Kebiasaan adalah aturan tidak tertulis yang berlaku dan dipatuhi oleh masyarakat. Dalam ketatanegaraan aturan tidak tertulis ini disebut convention.
Menurut Prof. Sudikno kebiasaan adalah tindakan menurut pola tingkah laku yang tetap, ajeg, lazim, normal atau adapt dalam masyarakat atau pergaulan hidup tertentu. Menurut Utrecht, dalam bukunya Pengantar Hukum Indonesia, menyebutkan bahwa hukum kebiasaan ialah himpunan kaidah-kaidah yang biarpun tidak ditentukan oleh badan pembuat perundang-undangan dalam suasana kenyataan ditaati juga, karena orang sanggup menerima kaidah-kaidah itu sebagai hukum. Agar hukum kebiasaan tersebut ditaati, maka harus memiliki 2 syarat yang harus dipenuhi, yaitu sesuatu perbuatan yang tetap/terus dilakukan oleh orang, dan adanya keyakinan bahwa perbuatan itu harus dilakukan karena telah merupakan suatu kewajiban (opinion necessitates). Salah satu contoh ketentuan yang mengharuskan kebiasaan dijadikan sumber hukum dapat dilihat dalam Pasal 1339 KUH Perdata yang berbunyi : “Perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjiannya diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang”.
Yurisprudensi (Judge made law) adalah keputusan seorang Hakim melalui tafsiran yang diikuti oleh Hakim lain dalam menangani atau memutuskan perkara yang sama. Dalam prakteknya keputusan Hakim yang dijadikan rujukan biasanya keputusan Hakim tertinggi yang berada di Mahkamah Agung dan selanjutnya diikuti oleh Hakim lain yang berada di bawahnya. Yurisprudensi dapat hidup dan terus berlangsung selama Hakim yang lain menjadikan rujukan, namun manakala Hakim lain sudah tidak menjadikannya sebagai rujukan maka secara otomatis yurisprudensi tersebut dapat berangsur-angsur hilang karena digantikan oleh yurisprudensi yang lebih baru. Adapun alasan-alasan yang menyebabkan yurisprudensi tetap eksis adalah adanya pertimbangan psikologis dari Hakim yang berada di tingkat bawah untuk menghormati keputusan Hakim yang lebih tinggi. Pertimbangan praktis juga cukup berperan dalam kelangsungan yurisprudensi, dan faktor pendapat yang sama antara sesama Hakim. Contoh yurisprudensi di masa lalu adalah yurisprudensi Belanda yang diikuti oleh Indonesia pada tanggal 23 Mei 1921. Pengadilan Belanda memutuskan bahwa pencurian tenaga alam seperti tenaga listrik dapat juga dihukum berdasarkan pasal 362 tentang pencurian.
Doktrin adalah pendapat para ahli hukum terkenal yang diikuti para Hakim sebagai dasar pertimbangan dalam memberikan keputusan. Oleh sebab itu doktrin baru bisa dikatakan sebagai sumber hukum manakala telah dijadikan rujukan oleh Hakim dalam memutuskan suatu perkara. Doktrin tidak hanya diakui di Indonesia sebagai salah satu sumber hukum, namun juga telah diakui secara internasional. Hal ini dapat dilihat dalam sumber hukum internasional (Mahkamah Internasional).
Traktat atau Perjanjian Internasional adalah kesepakatan yang mengikat pihak-pihak atau negara-negara yang terlibat, baik dalam bentuk bilateral maupun multilateral. Akibat dari suatu perjanian yang mengikat para pihak disebut dengan “Pakta servanda”.

Pendapat berbagai pakar hukum
Algra, membagi sumber hukum dalam bentuk materil dan formil. Bentuk materil merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum, seperti hubungan sosial, kekuatan politik dan lain-lain. Adapun formil merupakan tempat atau sumber darimana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum, seperti UU, perjanjian antar negara, yurisprudensi dan kebiasaan.
Van Apeldoorn, membedakan sumber hukum menjadi 4 bagian, yaitu dalam arti histories seperti dokumen kuno, dalam arti sosiologis seperti pandangan agama, dalam arti filosofis , dan dalam arti formil.
Achmad Sanusi, membagi sumber hukum menjadi 2 yaitu sumber hukum normal seperti UU, perjanjian dan lain-lain, serta sumber hukum abnormal seperti proklamasi dan revolusi.






Hand Out Ilmu Hukum
Oleh : H.M. Aiz Muhadjirin,SH,MH
Pertemuan V

SUMBER TERTIB HUKUM & BENTUK-BENTUK PERATURAN PER-UU-AN

Pengantar
Salah satu tuntutan aspirasi yang berkembang dalam era reformasi sekarang ini adalah reformasi hukum menuju terwujudnya supremasi sistem hukum di bawah sistem konstitusi yang berfungsi sebagai acuan dasar yang efektif dalam proses penyelenggaraan negara dan kehidupan nasional sehari-hari. Dalam upaya mewujudkan sistem hukum yang efektif itu, penataan kembali kelembagaan hukum, didukung oleh kualitas sumberdaya manusia dan kultur dan kesadaran hukum masyarakat yang terus meningkat, seiring dengan pembaruan materi hukum yang terstruktur secara harmonis, dan terus menerus diperbarui sesuai dengan tuntutan perkembangan kebutuhan.
Dalam upaya pembaruan hukum tersebut, penataan kembali susunan hirarkis peraturan perundang-undangan tersebut bersifat niscaya, mengingat susunan hirarkis peraturan perundang-undangan Republik Indonesia dewasa ini dirasakan tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan dewasa ini. Di samping itu, era Orde Baru yang semula berusaha memurnikan kembali falsafah Pancasila dan pelaksanaan UUD 1945 dengan menata kembali sumber tertib hukum dan tata-urut peraturan perundang-undangan, dalam prakteknya selama 32 tahun belum berhasil membangun susunan perundang-undangan yang dapat dijadikan acuan bagi upaya memantapkan sistem perundang-undangan di masa depan. Lebih-lebih dalam prakteknya, masih banyak produk peraturan yang tumpang tindih dan tidak mengikuti sistem yang baku, termasuk dalam soal nomenklatur yang digunakan oleh tiap-tiap kementerian dan badan-badan pemerintahan seingkat Menteri. Sebagai contoh, produk hukum yang dikeluarkan Bank Indonesia yang dimaksud untuk memberikan aturan terhadap dunia perbankan menggunakan istilah Surat Edaran yang tidak dikenal dalam sistem peraturan perundang-undangan yang berlaku. Beberapa kementerian mengeluarkan peraturan di bidangnya dengan menggunakan sebutan Keputusan Menteri, dan beberapa lainnya menggunakan istilah Peraturan Menteri. Keputusan Presiden yang bersifat mengatur dengan Keputusan Presiden yang bersifat penetapan administratif biasa tidak dibedakan, kecuali dalam kode nomernya saja, sehingga tidak jelas kedudukan masing-masing sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang bersifat mengatur.
Sebelum membahas lebih rinci masalah-masalah dan usul-usul penyempurnaan mengenai sumber tertib hukum dan sistem serta tata urut peraturan Republik Indonesia di masa depan, perlu diperjelas dulu pengertian kita mengenai sumber tertib hukum, dan mengenai bentuk-bentuk serta tata urut peraturan yang kita gunakan dalam tulisan ini. Pengertian tentang sumber tertib hukum memuat pengertian yang lebih luas, yaitu tidak hanya mencakup aneka putusan legislatif dan eksekutif yang dapat dijadikan sumber hukum, tetapi mencakup pula putusan-putusan pengadilan dalam lingkungan kekuasaan judikatif. Sedangkan bentuk-bentuk dan tata-urut peraturan hanya mencakup putusan-putusan cabang kekuasaan legislatif dan eksekutif yang isinya dapat bersifat mengatur (regeling), dan karena itu disebut dengan ‘per-ATUR-an’. Akan tetapi, pengertian peraturan itu dalam arti luas dapat pula mencakup putusan-putusan yang bersifat administratif yang meskipun tidak bersifat mengatur, tetapi dapat dijadikan dasar bagi upaya mengatur kebijakan yang lebih teknis.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PASCA KEMERDEKAAN
Di zaman Hindia Belanda, bentuk-bentuk peraturan yang dikenal meliputi 5 tingkatan, yaitu: (I) Undang-Undang Dasar Kerajaan Belanda, (ii) Undang-Undang Belanda atau ‘wet’, (iii) Ordonantie yaitu peraturan yang ditetapkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda bersama-sama dengan Dewan Rakyat (Volksraad) di Jakarta sesuai Titah Ratu Kerajaan Belanda di Den Haag, (iv) Regerings Verordening atau RV, yaitu Peraturan Pemerintah yang ditetapkan oleh Gubernur Jenderal untuk melaksanakan Undang-Undang atau ‘wet’, dan (v) Peraturan daerah swatantra ataupun daerah swapraja3. Setelah Indonesia merdeka mulai diperkenalkan bentuk-bentuk peraturan baru, tetapi dalam prakteknya belum teratur karena suasana belum memungkinkan untuk menertibkan bentuk-bentuk peraturan yang dibuat. Di masa-masa awal kemerdekaan, kadang-kadang nota-nota dinas, maklumat, surat-surat edaran dan lain sebagainya diperlakukan sebagai peraturan yang seakan mengikat secara hukum. Bahkan, Wakil Presiden mengeluarkan Maklumat yang sangat terkenal yang isinya membatasi tugas dan fungsi Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang ketika itu sangat berperan sebagai lembaga legislatif, tetapi maklumat itu dibuat tanpa nomor, sehingga dikenal kemudian sebagai Maklumat No.x tertanggal 16 Oktober 1945.
Bentuk peraturan perundang-undangan yang dikenal dalam UUD 1945 adalah Undang-Undang, Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang, dan Peraturan Pemerintah. Dalam penjelasan juga disebutkan bahwa UUD adalah bentuk konstitusi yang tertulis. Di samping yang tertulis itu masih ada pengertian konstitusi yang tidak tertulis yang hidup dalam kesadaran hukum masyarakat. Dalam Konstitusi RIS yang berlaku mulai tanggal 27 Desember 1949, bentuk-bentuk peraturan yang tegas disebut adalah Undang-Undang Federal, Undang-Undang Darurat, dan Peraturan Pemerintah. Disini, pengertian Konstitusi diidentikkan dengan pengertian UUD. Sedangkan dalam UUDS yang berlaku mulai tanggal 17 Agustus 1950, penyebutannya berubah lagi menjadi Undang-Undang, Undang-Undang Darurat, dan Peraturan pemerintah. Dengan perkataan lain, dalam ketiga konstitusi ini, kita mengenal adanya Undang-Undang Dasar, Undang-Undang atau Undang-Undang Federal, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) atau Undang-Undang Darurat, dan Peraturan Pemerintah.
Penyebutan hanya 3 atau 4 bentuk peraturan (termasuk UUD) tersebut dalam Undang-Undang Dasar bersifat enunsiatif dalam arti tidak menutup kemungkinan untuk mengatur bentuk-bentuk lain yang lebih rinci sesuai dengan kebutuhan. Karena itu, setelah periode kembali ke UUD 1945, maka berdasarkan Surat Presiden No.2262/HK/1959 tertanggal 20 Agustus 1959 yang ditujukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong, dinyatakan bahwa di samping bentuk-bentuk peraturan perundang-undangan tersebut di atas, dipandang perlu dikeluarkan bentuk-bentuk peraturan yang lain, yaitu:
Penetapan Presiden untuk melaksanakan Dekrit Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang tanggal 5 Juli 1959 tentang Kembali Kepada UUD 1945.
Peraturan Presiden, yaitu peraturan yang dikeluarkan untuk melaksanakan penetapan Presiden, ataupun peraturan yang dikeluarkan berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945.
Peraturan Pemerintah, yaitu untuk melaksanakan Peraturan Presiden, sehingga berbeda pengertiannya dengan Peraturan Pemerintah yang dimaksudkan dalam Pasal 5 ayat (2) UUD 1945.
Keputusan Presiden yang dimaksudkan untuk melakukan atau meresmikan pengangkatan-pengangkatan.
Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri yang dibuat oleh kementerian-kementerian negara atau Departemen-Departemen pemerintahan, masing-masing untuk mengatur sesuatu hal dan untuk melakukan atau meresmikan pengangkatan-pengangkatan.
Dalam susunan tersebut di atas, jelas terdapat kekacauan antara satu bentuk dengan bentuk peraturan yang lain. Bahkan, dalam praktek, bentuk yang paling banyak dikeluarkan adalah Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden yang menimbulkan ekses dimana-mana. Kadang-kadang banyak materi yang seharusnya diatur dalam UU, justru diatur dengan Penetapan Presiden ataupun Peraturan Presiden. Yang lebih gawat lagi adalah banyak di antara penetapan dan peraturan itu yang jelas-jelas menyimpang isinya dari amanat UUD 1945. Namun demikian, satu hal yang perlu dicatat disini adalah bahwa antara penetapan yang bersifat administratif berupa pengangkatan-pengangkatan yang berisi putusan-putusan yang bersifat ‘beschikking’ jelas dibedakan dari putusan yang berbentuk mengatur (regeling). Istilah Keputusan Presiden ataupun Keputusan Menteri secara khusus dikaitkan dengan jenis putusan yang bersifat administraftif.
Dalam rangka penataan kembali bentuk-bentuk peraturan perundang-undangan tersebut dengan maksud mengadakan pemurnian terhadap pelaksanaan UUD 1945, maka pada tahun 1966 dikeluarkan Ketetapan MPRS No.XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Produk-Produk Legislatif Negara di Luar Produk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang Tidak Sesuai dengan UUD 1945. Ketetapan MPRS tersebut menugaskan Pemerintah untuk bersama-sama dengan DPR melaksanakan peninjauan kembali produk-produk legislatif, baik yang berbentuk Penetapan Presiden, Peraturan Presiden, Undang-Undang, ataupun Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang. Untuk memberikan pedoman bagi terwujudnya kepastian hukum dan keserasian hukum serta kesatuan tafsir dan pengertian mengenai Pancasila dan pelaksanaan UUD 1945 serta untuk mengakhiri ekses-ekses dan penyimpangan-penyimpangan tersebut di atas, ditetapkan pula sumber tertib hukum dan tata urut peraturan perundangan Republik Indonesia dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, yaitu tentang Memorandum DPRGR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urut Perundangan Republik Indonesia.
Dalam Ketetapan No.XX/MPRS/1966 tersebut, ditentukan bentuk peraturan dengan tata urut sebagai berikut:
Undang-Undang Dasar.
Ketetapan MPR.
Undang-Undang/Perpu.
Peraturan Pemerintah.
Keputusan Presiden.
Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya seperti Peraturan Menteri, Instruksi Menteri, dan lain-lain.
PRODUK LEGISLATIF DAN PRODUK ADMINISTRATIF
Pergeseran Fungsi Parlemen Indonesia dan implikasinya terhadap Kegiatan legislasi
Salah satu perubahan substantif yang telah dilakukan dalam rangka Perubahan Pertama UUD 1945 pada Sidang Umum MPR bulan Nopember 1999 lalu adalah soal cabang kekuasaan legislatif yang secara tegas dipindahkan dari Presiden ke DPR. Dalam Pasal 5 ayat (1) lama, ditegaskan bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR. Sedangkan dalam Pasal 5 ayat (1) baru berdasarkan Perubahan Pertama tersebut ditegaskan: “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.” Sebaliknya dalam Pasal 20 ayat (1) baru dinyatakan: “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.”5
Memang benar bahwa meskipun dikatakan pemegang kekuasaan membentuk UU itu dipindahkan ke DPR, tetapi ada juga yang berpendapat bahwa proses pembuatan UU itu tetap dilakukan bersama-sama antara Presiden dengan DPR. Lagi pula, meskipun UU ditetapkan oleh DPR, kekuassan yang mengesahkan menurut ketentuan Perubahan Pertama UUD tetap berada di tangan Presiden. Apakah perbedaan antara kekuasaan yang menetapkan dengan kekuasaan yang mengesahkan itu bersifat bertentangan? Menurut saya, tidak ada pertentangan dan tidak ada tumpang tindih di antara kedudukan DPR dan Presiden dalam hal ini. Kekuasaan legislatif tetap berada di tangan DPR, namun pengesahan formal produk UU itu dilakukan oleh Presiden. Hal ini justru menunjukkan adanya perimbangan kekuasaan diantara keduanya, yaitu hak Presiden untuk memveto suatu UU yang sudah ditetapkan oleh DPR. Untuk menegaskan hal inilah maka dalam Perubahan Kedua ketentuan Pasal 20 itu ditambah dengan ayat (5) yang memberikan waktu 30 hari bagi Presiden untuk mengesahkan UU itu. Jika dalam batas waktu itu tidak disahkan, maka RUU tersebut dianggap berlaku menjadi UU. Proses pembuatan UU itu dilakukan bersama-sama dalam arti pada tahap pembahasan di DPR, pihak pemerintah sudah terlibat intensif. Akan tetapi, dapat terjadi, bahwa suara partai pemerintah di DPR dikalahkan oleh suara oposisi. Dalam hal ini, maka Presiden dapat menggunakan hak vetonya untuk tidak mengesahkan UU yang sudah disetujui oleh DPR tersebut seperti juga dipraktekkan di Amerika Serikat.
Hanya saja, memang masih perlu diatur agar penggunaan hak veto Presiden ini dibatasi. Jangan sampai nanti, setiap UU yang dibuat oleh DPR selalu dapat digagalkan dengan mudah oleh Presiden dengan menggunakan hak vetonya. Apabila misalnya parlemen kita bersifat bikameral nantinya disetujui terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan atau Utusan Daerah, maka dapat saja terjadi bahwa suatu Undang-Undang, setelah disetujui oleh DPR, dimajukan untuk mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Daerah. Dalam hal demikian ini, maka veto Presiden dapat dinyatakan tidak berlaku, karena Rancangan UU tersebut sudah disetujui oleh dua lembaga tinggi negara setingkat Presiden. Tugas administratif Presiden tinggal hanya mengundangkan UU sebagaimana mestinya. Namun dalam sistem parlemen unikameral seperti yang sekarang berlaku, mekanisme pembatasan terhadap hak veto Presiden itu masih harus dikaji lebih lanjut cara membatasinya. Misalnya, dapat saja dipertimbangkan pengaturan sebagai berikut. Jika suatu rancangan UU telah disetujui oleh lebih dari 2/3 anggota DPR, maka hak veto Presiden tidak dapat diberlakukan. Demi kepentingan hukum, Presiden harus mengsahkan UU itu sebagaimana mestinya. Akan tetapi, jika suatu UU itu hanya mendapat persetujuan suara di bawah jumlah 2/3 anggota DPR, maka Presiden dapat diberikan hak untuk menerapkan hak vetonya dengan cara tidak mengesahkan UU tersebut. Dengan demikian, pergeseran kekuasaan membentuk UU dari Presiden ke DPR sungguh-sungguh mencerminkan terjadinya pergeseran terhadap kedudukan DPR yang secara substantif menjadi lembaga pemegang kekuasaan legislatif. Sedangkan Presiden, meskipun tetap diberikan hak inisiatif di bidang legislasi, hal itu tetap tidak menempatkan Presiden sebagai pemegang kekuasaan utama di bidang ini. Hal ini jelas berbeda dari sistem yang dianut selama ini, dimana antara fungsi legislatif dan eksekutif tidak dipisahkan secara tegas dan malah bersifat tumpang tindih. Perubahan ini sekaligus memastikan pula bahwa UUD 1945 dengan sungguh-sungguh menerapkan sistem pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, karena berdasarkan ketentuan yang lamapun kekuasaan judikatif memang dinyatakan bebas dari pengaruh pemerintah.
Perkembangan pemikiran dan praktek penyelenggaraan fungsi legislatif ini sebenarnya dapat dibahas tersendiri mengingat di berbagai negara di dunia dewasa ini, fungsi legislatif parlemen itu memang cenderung makin dianggap tidaklah lebih penting dibandingkan dengan fungsi kontrol atau pengawasan politik terhadap pemerintah. Fungsi pembuatan undang-undang itu bahkan mulai cenderung dianggap sebagai fungsi teknis dibandingkan dengan fungsi pengawasan yang bersifat politis6. Akan tetapi, rakyat Indonesia sudah menjatuhkan pilihan bahwa di masa depan kita akan menganut ajaran pemisahan yang tegas di antara ketiga cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Karena itu, fungsi pembuatan undang-undang itu dipertegas sebagai kekuasaan DPR, bukan lagi kekuasaan Presiden. Masalahnya kemudian yang perlu mendapat perhatian adalah bahwa pergeseran kekuasaan legislatif dari Presiden ke DPR itu tentunya mengandung implikasi yang mendasar terhadap proses pembentukan peraturan perundang-undangan dan terhadap institusi atau pejabat yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan itu sendiri.
Dalam sistem yang lama dimana dinyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR, maka kekuasaan Presiden dan termasuk para pembantunya serta para pejabat pemerintahan seperti Direktur Jenderal Departemen sampai pejabat yang lebih rendah juga mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan peraturan pada tingkat pelaksanaan di bidangnya masing-masing. Peraturan pelaksanaan ini makin rendah tingkatannya makin teknis pula sifatnya. Akan tetapi, dengan adanya pergeseran sebagaimana disebut di atas, sudah seharusnya ditinjau kembali logika yang memberikan pembenaran terhadap pola pengaturan seperti itu. Para Direktur Jenderal dan Direktur sebagai pejabat tinggi (eselon I atau eselon II) yang tunduk kepada hukum kepegawai-negerian tidak selayaknya diberikan wewenang untuk turut membentuk peraturan perundang-undangan dalam pengertian yang baru. Sesuai tingkatannya, instansi dan pejabat yang berhak membuat peraturan haruslah dibatasi hanya lembaga parlemen bersama-sama dengan pejabat yang memegang kedudukan politik saja, bukan mereka yang memegang kedudukan sebagai pegawai pemerintahan.
Lembaga parlemen yang dimaksud sesuai tingkatannya adalah DPR-Pusat, DPRD propinsi, dan DPRD kabupaten/kota7 yang merupakan badan-badan perwakilan rakyat. Khusus untuk tingkat desa, meskipun tidak terdapat lembaga parlemen sebagaimana mestinya, dibentuk Badan Perwakilan Desa sebagaimana diatur dalam Pasal 94 juncto Pasal 102, 104, dan Pasal 105 UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 105 ayat (3) UU ini menyatakan: “Badan Perwakilan Desa bersama dengan Kepala Desa menetapkan Peraturan Desa. Bentuk hukum peraturan-peraturan tersebut, masing-masing adalah UU di tingkat Pusat, Peraturan Daerah propinsi, Peraturan Daerah kabupaten, Perdaturan Daerah kota8, dan Peraturan Desa, sama-sama merupakan bentuk peraturan yang proses pembentukannya melibatkan peran wakil rakyat dan kepala pemerintahan yang bersangkutan. Untuk melaksanakan peraturan perundangan yang melibatkan peran para wakil rakyat tersebut, maka kepala pemerintahan yang bersangkutan juga perlu diberikan wewenang untuk membuat peraturan-peraturan yang bersifat pelaksanaan. Karena itu, selain UU, Presiden juga berwenang mengeluarkan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden (Pouvoir Reglementair). Demikian pula, Gubernur, Bupati, Walikota dan Kepala Desa, selain bersama-sama para wakil rakyat membentuk Perda dan Peraturan Desa, juga berwenang mengeluarkan Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati/Walikota, dan Peraturan Kepala Desa sebagai pelaksanaan terhadap peraturan yang lebih tinggi tersebut. Karena banyaknya kebijakan pemerintahan yang perlu dituangkan dalam bentuk peraturan yang bersifat pelaksanaan terhadap peraturan yang lebih tinggi, maka para Pembantu Presiden, yaitu para Menteri atau Pejabat Tinggi yang menduduki jabatan politis setingkat Menteri seperti Gubernur Bank Indonesia, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian, dan Panglima Tentara Nasional Indonesia, dapat pula diberikan kewenangan untuk membuat peraturan yang bersifat pelaksanaan tersebut.
Dengan demikian, secara tegas dapat diatur bahwa semua kebijakan yang bersifat mengatur di bidang yang menjadi tugas kementerian tertentu, haruslah dituangkan dalam bentuk Peraturan Menteri atau pejabat setingkat Menteri. Sedangkan Sekretaris Jenderal, Direktur Jenderal dan pejabat yang lebih rendah di tiap-tiap kementerian atau Departemen Pemerintahan tidak berwenang mengatur kepentingan publik. Para pejabat administratif itu pada prinsipnya hanya melaksanakan kebijakan dan peraturan yang ditetapkan oleh Menteri sebagai pemegang tanggungjawab politik di kementerian atau Departemennya. Demikian pula dengan para Kepala Kantor Wilayah Departemen di daerah-daerah tidak diperkenankan membuat peraturan yang mengatur kepentingan publik. Tugas Kepala Kantor Wilayah hanyalah melaksanakan kebijakan dan peraturan-peraturan di tingkat Departemennya. Dalam hal diperlukan pengaturan yang bersifat khusus di daerah, maka ketentuan demikian itu harus dituangkan dalam bentuk Peraturan Daerah atau Peraturan Gubernur.
Selain itu, sebagaimana dikemukakan oleh Hamid Attamimi, Keputusan Presiden yang bersifat pengaturan dapat pula bersifat mandiri dalam arti tidak dimaksudkan melaksanakan Undang-Undang ataupun mengatur hal-hal yang ditunjuk oleh undang-undang untuk diatur lebih oleh Presiden. Jenis Keputusan Presiden demikian itu disebut Hamid Attamimi sebagai Keputusan Presiden yang mendiri. Logika pengaturan yang mandiri oleh Presiden ini, meskipun banyak dipersoalkan di kalangan para ahli hukum, tetapi dapat saja diterima dalam paradigma pemikiran UUD 1945 yang lama, yaitu karena Presidenlah yang ditentukan dalam UUD sebagai pemegang kekuasaan utama dalam pembentukan undang-undang. Akan tetapi, dalam ketentuan yang baru berdasarkan Perubahan Pertama UUD, maka logika yang mungkin dapat dijadikan pertimbangan pembenar terhadap eksisten Keputusan yang mengatur secara mandiri tersebut dengan sendirinya tidak dapat diterima lagi. Pada prinsipnya, Presiden bukan lagi pemegang kekuasaan utama dalam pembentukan UU. Kalaupun Presiden diberi hak untuk mengajukan rancangan undang-undang, hak itu tidak memberikan kedudukan kepadanya sebagai pemegang kekuasaan legislatif, melainkan sekedar memberikan hak kepadanya untuk mengambil inisiatif karena kebutuhan yang sangat dirasakan oleh pihak eksekutif untuk mengatur suatu kebijakan publik yang harus dilayani oleh pemerintah, tetapi pihak DPR sendiri belum siap dengan rancangan dari mereka sendiri. Dalam hal ini, Presiden dapat mengambil prakarsa untuk menyusun rancangan undang-undangan tersebut dan kemudian mengajukannya kepada DPR. Oleh karena tidak boleh ada lagi peraturan-peraturan untuk kepentingan pengaturan kepentingan publik yang dibuat Presiden atau Pemerintah secara mandiri. Semua peraturan di bawah undang-undang hanyalah merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari Peraturan Dasar dan Undang-Undang.
Satu-satunya peraturan yang dapat berisi pengaturan yang mandiri hanyalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang dari segi isinya seharusnya dituangkan dalam bentuk UU, namun dari segi proses pembuatannya ataupun karena adanya faktor eksternal berupa keadaan bahaya atau kegentingan yang memaksa, maka oleh Presiden dapat ditetapkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti UU (PERPU) yang bersifat mandiri. Perpu tersebut harus diajukan untuk mendapat persetujuan DPR menjadi UU selambat-lambatnya 1 tahun sejak dikeluarkannya PERPU tersebut, dan apabila tidak disetujui harus dicabut kembali oleh Presiden. Jadi, dalam sistem pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif, Presiden tidak dapat lagi membuat peraturan-peraturan yang bersifat mandiri seperti kedudukan Keputusan Presiden pada masa lalu. Satu-satunya peraturan yang ditetapkan oleh Presiden dengan sifat mandiri adalah Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang seperti dikemukakan di atas. Karena itu, eksistensi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) ini saya usulkan tetap dipertahankan dengan perubahan fungsi seperti yang dikemukakan di atas.
Peraturan yang Mengatur dan Keputusan yang bersifat Administratif.
Dalam rangka penyusunan tertib peraturan perundang-undangan yang baru, perlu dibedakan dengan tegas antara putusan-putusan yang bersifat mengatur (regeling) dari putusan-putusan yang bersifat penetapan administratif (beschikking). Semua pejabat tinggi pemerintahan yang memegang kedudukan politis berwenang mengeluarkan keputusan-keputusan yang bersifat administratif, misalnya untuk mengangkat dan memberhentikan pejabat, membentuk dan membubarkan kepanitiaan, dan sebagainya. Secara hukum, semua jenis putusan tersebut dianggap penting dalam perkembangan hukum nasional. Akan tetapi, pengertian peraturan perundang-undangan dalam arti sempit perlu dibatasi ataupun sekurang-kurangnya dibedakan secara tegas karena elemen pengaturan (regeling) kepentingan publik dan menyangkut hubungan-hubungan hukum atau hubungan hak dan kewajiban di antara sesama warganegara dan antara warganegara dengan negara dan pemerintah. Elemen pengaturan (regeling) inilah yang seharusnya dijadikan kriteria suatu materi hukum dapat diatur dalam bentuk peraturan perundang-undangan sesuai dengan tingkatannya secara hirarkis. Sebagai contoh, Keputusan Presiden mengangkat seseorang menjadi Menteri ataupun mengangkat dan memberhentikan seorang Pejabat Eselon I di satu Departemen, ataupun menaikkan pangkat seorang pegawai negeri sipil ke pangkat yang lebih tinggi. Contoh lain, misalnya, Keputusan Menteri yang menetapkan pembentukan Panitia Nasional peringatan hari ulang tahun Departemen tertentu, ataupun mengangkat dan memberhentikan pegawai negeri sipil, dan lain-lain sebagainya. Materi-materi yang dituangkan dalam bentuk Keputusan Presiden ataupun Keputusan Menteri seperti tersebut tidaklah mengandung elemen regulasi sama sekali. Sifatnya hanya penetapan administratif (beschikking). Dalam arti luas, keputusan-keputusan tersebut memang mengandung muatan hukum, karena di dalamnya berisi hubungan-hubungan hak dan kewajiban dari para pihak yang terlibat di dalamnya yang terbit karena putusan pejabat yang berwenang dan juga didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah. Akan tetapi, untuk kepentingan tertib peraturan perundang-undangan, bentuk-bentuk hukum yang bersifat adminsitratif tersebut, sebaiknya disebut dengan istilah yang berbeda dari nomenklatur yang digunakan untuk bentuk-bentuk formal peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian, yang termasuk dalam pengertian peraturan perundang-undangan dalam arti sempit itu adalah UUD dan dokumen yang sederajat, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri dan Pejabat setingkat Menteri. Peraturan Daerah, Peraturan Gubernur, Bupati/Walikota, dan Peraturan Desa serta Peraturan Kepala Desa. Sedangkan bentuk-bentuk putusann lainnya dapat dinamakan Ketetapan atau Keputusan dengan tingkatan yang sederajat dengan peraturan yang terkait. Misalnya, Ketetapan dan Keputusan MPR, meskipun bukan peraturan dalam pengertian yang baru, tetapi tingkatannya sederajat dengan UUD dan Naskah Perubahan UUD yang sama-sama merupakan produk MPR. Keputusan Presiden dapat disetarakan tingkatannya dengan Peraturan Presiden, Keputusan Menteri sederajat dengan Peraturan Menteri, Keputusan Gubernur dengan Peraturan Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota dengan Peraturan Bupati/Walikota, dan seterusnya. Mengingat tingkatannya sederajat dengan bentuk-bentuk peraturan yang dikeluarkan oleh pejabat berwenang terkait (ambtsdrager), maka tidak ada salahnya apabila dalam susunan tata urut peraturan perundang-undangan yang baru nanti, bentuk keputusan administratif tersebut juga turut dicantumkan dengan pengertian bahwa putusan-putusan tersebut bersifat administratif (beschikking) dan tidak berisi pengaturan terhadap kepentingan umum (publik). Keputusan-keputusan yang bersifat administratif ini tidak dapat kita kategorikan sebagai peraturan perundang-undangan.
Di luar bentuk-bentuk peraturan yang bersifat mengatur itu, memang ada pula bentuk-bentuk peraturan yang disebut dengan ‘beleidsregels’ (policy rules) atau peraturan kebijakan. Bentuk peraturan kebijakan ini memang dapat juga disebut peraturan, tetapi dasarnya hanya bertumpu pada aspek ‘doelmatigheid’ dalam rangka prinsip ‘freis ermessen’ atau ‘beoordelingsvrijheid’, yaitu prinsip kebebasan bertindak yang diberikan kepada pemerintah untuk mencapai tujuan pemerintahan yang dibenarkan menurut hukum. Berdasarkan prinsip ini, sudah seyogyanya suatu pemerintahan itu diberikan ruang gerak yang cukup untuk berkreatifitas dalam usahanya melaksanakan tugas-tugas pemerintahan, yang tidak selalu atau bahkan tidak mungkin ditentukan secara rinci dalam bentuk peraturan-peraturan yang kaku. Inilah yang pada mulanya menjadi dasar pembenar sehingga muncul Keputusan-Keputusan Presiden yang turut mengatur, meskipun bukan dalam arti ‘regeling’ (public regulation). Akan tetapi, agar kita konsisten dan konsekwen mengikuti sistematika pemisahan kekuasaan legislatif dan eksekutif secara tegas, saya mengusulkan kiranya prinsip ‘freis ermessen’ tersebut di atas tidak digunakan sepanjang menyangkut pembuatan peraturan dalam arti teknis. Prinsip kebebasan bertindak itu cukup diimplementasikan dalam bentuk Instruksi Presiden ataupun Keputusan-Keputusan yang tidak diperlakukan sebagai peraturan.

ANALISIS TERHADAP TAP MPR NO.III.MPR/2000 dan Implikasinya terhadap Perda
Dalam rangka pembaruan sistem peraturan perundang-undangan kita di era reformasi dewasa ini, Sidang Tahun MPR Tahun 2000 telah menetapkan Ketetapan No.III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan. Dalam Pasal 2 ditentukan bahwa tata urutan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia adalah:
Undang-Undang Dasar 1945.
Ketetapan MPR-RI.
Undang-Undang.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu).
Peraturan Pemerintah.
Keputusan Presiden.
Peraturan Daerah.
Perumusan mengenai bentuk dan tata urutan ketujuh peraturan perundang-undangan di atas dapat dikatakan kurang sempurna dan mengandung beberapa kelemahan. Pertama, karena naskah Perubahan UUD sekarang dibuat terpisah, maka seharusnya penyebutan UUD 1945 tersebut di atas dilengkapi dengan ‘… dan Perubahan UUD’. Kedua, penyebutan Perpu pada nomer urut keempat di bawah undang-undang dapat menimbulkan penafsiran seakan-akan kedudukan perpu itu berada di bawah UU. Padahal, kedudukan hukum keduanya adalah sederajat. Karena itu, seharusnya, seperti dalam TAP No.XX/MPRS/1966, keduanya ditempat pada nomor tiga, yaitu ‘Undang-Undang dan Perpu’. Ketiga, penggunaan nomenklatur Keputusan Presiden yang selama ini dipakai mengandung kelemahan karena tidak membedakan secara tegas antara keputusan yang mengatur (regeling) dengan keputusan yang bersifat administratif belaka (beschikking). Seharusnya, momentum reformasi ini digunakan sebaik-baiknya untuk menata kembali peristilahan yang baik dan benar, yaitu untuk keputusan yang mengandung aturan dan pengaturan, dokumen hukumnya sebaiknya dinamakan Per-ATUR-an, bukan keputusan. Keempat, hanya karena pertimbangan bahwa MPR cukup mengatur mengenai tata urutan peraturan sampai tingkat peraturan yang ditetapkan oleh Presiden, maka bentuk Peraturan Menteri tidak disebut dalam tata urutan tersebut. Padahal, di bawahnya masih disebut Peraturan Daerah yang tingkatan-nya juga di bawah peraturan yang ditetapkan oleh Presiden. Padahal, Peraturan Menteri itu sangat penting untuk ditempatkan dalam tata urutan di atas Perda, di samping produk peraturan tingkat menteri itu dalam praktek banyak sekali ditetapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari dan memerlukan penertiban sebagaimana mestinya.
Selanjutnya, dalam Pasal 3 ayat (7) diatur mengenai pengertian Peraturan Daerah yang di dalamnya tercakup pengertian Peraturan Daerah Propinsi, Peraturan Daerah Kabupaten, dan Peraturan Desa. Hal ini dapat mengundang penafsiran bahwa ketiganya memiliki kedudukan yang sama, yaitu sama-sama Peraturan Daerah yang dalam tata urutan tersebut ditentukan berada dalam tata urutan ketujuh. Dalam Pasal 4 ayat (1) ditegaskan bahwa sesuai dengan tata urutan tersebut, maka setiap aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi, sesuai prinsip ‘lex superiore derogat lex infiriore’. Yang menjadi masalah adalah apa yang dirumuskan dalam ayat (2)-nya yaitu: “Peraturan atau Keputusan Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, Menteri, Bank Indonesia, badan, lembaga, atau Komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Pemerintah, tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang temuat dalam tata urutan peraturan perundang-undangan ini”. Ketentuan ayat (2) ini menentukan peraturan dan keputusan yang tidak boleh bertentangan itu adalah:
Peraturan atau Keputusan Mahkamah Agung.
Peraturan atau Keputusan Badan Pemeriksa Keuangan.
Peraturan atau Keputusan Menteri.
Peraturan atau Keputusan (Gubernur?) Bank Indonesia.
Peraturan atau Keputusan Badan, Lembaga ataupun Komisi yang setingkat dengan (Menteri?).
Beberapa persoalan yang timbul dengan adanya ketentuan demikian adalah: Pertama, apakah peraturan atau keputusan yang ditetapkan oleh lembaga tinggi negara seperti BPK dan MA dianggap sederajat dengan Menteri, Bank Indonesia, dan bahkan dengan Badan, Lembaga dan Komisi? Kedua, apakah Peraturan Mahkamah Agung dan Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Pemerintah, tidak boleh bertentangan dengan Keputusan Presiden, dan bahkan tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Daerah Propinsi, Peraturan Daerah Kabupaten, dan bahkan Peraturan Desa? Ketiga, lebih gawat lagi, apakah Keputusan Mahkamah Agung dalam menyelesaikan sesuatu perkara kasasi tidak boleh bertentangan semua ketentuan peraturan yang tingkatannya di bawah Undang-Undang? Padahal, sesuai dengan asas kebebasan hakim, demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, putusan hakim itu dapat saja bertentangan dengan Undang-Undang. Keempat, apakah kedudukan Perda lebih tinggi daripada Peraturan atau Keputusan Menteri, sehingga pembuatan dan penetapan Perda di daerah-daerah tidak perlu mengacu kepada pedoman yang ditetapkan oleh Menteri.
Tidak semua pertanyaan tersebut dapat dijawab tanpa memperbaiki lebih dulu perumusan TAP MPR No.III/MPR/2000 itu sendiri, meskipun sebagian dari kelemahan tersebut di atas, dapat diperbaiki dengan cara segera menetapkan UU yang diperintahkan untuk ditetapkan dalam Pasal 6 Ketetapan MPR tersebut. Dalam Pasal 6 tersebut dikatakan: “Tata cara pembuatan UU, PP, Perda dan pengujian peraturan perundang-undangan oleh MA serta pengaturan ruang lingkup keputusan Presiden diatur lebih lanjut dengan UU”. Akan tetapi, yang menjadi masalah adalah bahwa dalam rangka melaksanakan agenda otonomi daerah yang tidak mungkin ditunda-tunda lagi pelaksanaannya, daerah-daerah sudah sangat mendesak perlunya menetapkan berbagai Peraturan Daerah, baik di propinsi maupun kabupaten dan kota. Kesulitan-kesulitan teknis hukum tersebut dapat ditambah pula dengan pertanyaan kelima, yaitu apakah Peraturan Daerah Propinsi sederjat atau lebih tinggi daripada Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Pertanyaan ini timbul karena menurut ketentuan UU No.22/1999, hubungan antara daerah propinsi dan daerah kabupaten/kota berdasarkan UU tersebut tidak lagi bersifat hirarkis, melainkan koordinatif dan horizontal. Dalam Pasal 2 Ketetapan No.III/MPR/2000 tersebut, kedudukan Peraturan Daerah disebut pada nomor urut ketujuh, dengan pengertian sebagaimana diuraikan dalam Pasal 3 ayat (7) mencakup pengertian Perda Propinsi, Perda Kabupaten/Kota, dan Peraturan Desa.
Karena itu, sebagai jalan keluarnya – terutama untuk membantu pelaksanaan tugas pemerintahan dan tugas parlemen di daerah-daerah – dapat diusulkan hal-hal berikut. Pertama, Pemerintah Daerah dan DPRD di daerah-daerah sungguh-sungguh memperhatikan jiwa dari Ketetapan MPR No.IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Penyelenggaraan Otonomi Daerah yang dalam lampirannya merekomendasikan 7 kebijakan pokok. Yang perlu diperhatikan di antaranya ialah rekomendasi nomor 2d yang menegaskan: “Apabila keseluruhan peraturan pemerintah belum diterbitkan sampai dengan akhir Desember 2000, daerah yang mempunyai kesanggupan (penuh) untuk menyelenggarakan otonomi diberikan kesempatan untuk menerbitkan Peraturan Daerah yang mengatur pelaksanaannya. Jika peraturan pemerintah telah diterbitkan, peraturan daerah yang terkait harus disesuaikan dengan peraturan pemerintah dimaksud.” Semangat yang terkandung dalam rumusan rekomendasi ini di satu segi mendorong tumbuhnya kemandirian dan keprakarsaan dari bawah, sehingga Pemerintah Daerah ataupun DPRD tidak perlu menunggu arahan dan aturan dari atas. Tetapi di pihak lain, semangatnya mengatur agar Peraturan Daerah tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah yang ditetapkan oleh pusat.
Kedua, dalam melaksanakan inisiatif dari bawah itu, Pemerintah Daerah dan DPRD di tiap-tiap propinsi bersama-sama dengan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota beserta DPRD Kabupaten/Kota di propinsi masing-masing dapat mengadakan kesepakatan bersama mengenai mekanisme penetapan Peraturan Daerah masing-masing dengan mengacu kepada rencana induk pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana direkomendasikan dalam Rekomendasi TAP No.IV/MPR/2000 butir 3. Harus segera diadakan kesepakatan untuk menghindari penafsiran-penafsiran yang berbeda-beda antara satu daerah kabupaten/kota dan daerah kabupaten/kota lainnya di propinsi yang bersangkutan. Langkah-langkah ini penting untuk menghindari jangan sampai perbedaan antara satu sama lain terlalu tajam sehingga dapat mengganggu upaya mencapai tujuan menyukseskan pelaksanaan agenda otonomi daerah secara keseluruhan. Di pihak lain, pluralisme hukum yang dapat timbul sebagai akibat penerapan kebijakan otonomi daerah juga dapat diikuti tahap demi tahap, sehingga dapat dikelola sebagaimana mestinya.
Ketiga, untuk menjamin sikap kehati-hatian tidak menghalangi inisiatif yang tumbuh dari bawah, maka perlu dikembangkan pemahaman bahwa: (a) prinsip ‘lex superiore derogat lex infiriore’ mengharuskan norma hukum yang di bawah tidak bertentangan dengan norma hukum yang di atas. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, prinsip tersebut diimbangi oleh prinsip lain, yaitu ‘lex specialis derogat lex generalis’ bahwa norma hukum yang khusus, baik materinya maupun wilayah berlakunya ataupun waktu berlakunya, dapat saja mengatur yang berbeda dari norma hukum yang bersifat umum tanpa mengubah status keberlakuan norma hukum yang bersifat umum tersebut. (b) dalam hukum dibedakan antara istilah pertentangan norma (contra legem) dengan ketidaksesuaian norma (praepria). Peraturan Daerah mutlak tidak boleh mengatur norma yang berlawanan atau bertentangan dengan norma yang diatur dalam peraturan yang lebih tinggi. Akan tetapi, jika materi yang diatur bukan berlawanan tetapi hanya tidak sesuai dengan apa yang diatur dalam peraturan yang lebih tinggi, maka hal itu masih dapat diterima secara hukum. (c) dalam hal ditemukan adanya perbedaan pengaturan antara satu peraturan dengan peraturan yang lain, maka penafsirannya disarankan dikaitkan dengan elemen teleologis dari materi peraturan itu, yaitu menyangkut tujuannya (doelmatigheid). Jika tujuannya sama, maka perbedaan dalam teknis pelaksanaannya, sepanjang tidak mengganggu proses pencapaian tujuan langsungnya, maka keduanya masih dapat diterima sebagai dokumen hukum menurut pengertian ketidaksesuaian seperti pada butir (b) tersebut di atas. Dengan demikian, inisiatif dari bawah tidak perlu terganggu, tetapi kita siap untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan terjadinya kekisruhan dalam pengaturan teknis hukumnya di lapangan.
Sebelum dibentuknya UU tentang Tata Cara Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan yang diamanatkan berdasarkan ketentuan Pasal 6 TAP No.III/MPR/2000 tersebut di atas, Peraturan Daerah dapat ditetapkan mengacu kepada berbagai pedoman yang selama ini berlaku, dengan penyesuaian dan inovasi sendiri berdasarkan kebutuhan di lapangan. Misalnya, dalam konsideran Peraturan Daerah selalu dimuat adanya (a) elemen pertimbangan (unsur ‘Menimbang’) yang bersifat substantif yang menjadi latar belakang gagasan pembentukan Perda tersebut, (b) elemen pengingatan (unsur ‘Mengingat’) yang dijadikan landasan hukum pembentukan Perda tersebut, dan (c) elemen perhatian (unsur ‘Memperhatikan’) yang dijadikan rujukan operasional. Jika para perancang ragu mengenai status hukum Peraturan Menteri atau Keputusan Menteri yang mengatur hal yang bersangkutan, maka Peraturan Menteri ataupun Keputusan Menteri yang bersangkutan dapat dimuat dalam Konsideran Memperhatikan, bukan Konsideran Mengingat. Dalam hal demikian, maka norma aturan yang akan dimuat dalam diktum Perda dapat berbeda atau tidak sesuai dengan materi yang diatur dalam Keputusan Menteri atau Peraturan Menteri tersebut. Bahkan Keputusan Direktur Jenderal yang status hukumnya juga tidak jelas juga dapat dijadikan rujukan peringatan yang tidak mengikat dalam Perda yang bersangkutan..
PENUTUP
Demikianlah beberapa masukan pemikiran yang kiranya dapat dipertimbangkan oleh para anggota DPRD dan pejabat Pemerintah Daerah kita di seluruh Indonesia dalam upaya membuat dan menetapkan Peraturan daerah yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan otonomi di daerahnya masing-masing. Mudah-mudahan para pejabat kita di tingkat pusat dapat bekerja keras untuk segera menetapkan berbagai peraturan pusat yang sangat diperlukan sebagai pedoman bagi daerah-daerah di seluruh Indonesia. Mudah-mudahan pula, berbagai peraturan yang akan ditetapkan itu nantinya dapat sungguh-sungguh dijadikan acuan, tidak malah menimbulkan masalah-masalah baru, karena kekurangcermatan dalam perumusannya seperti yang telah terjadi dengan perumusan Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tersebut di atas.
Namun, terlepas dari harapan-harapan positif tersebut di atas, semua pihak hendaklah siap mengantisipasi berbagai kemungkinan buruknya teknik perumusan peraturan-peraturan di tingkat pusat tersebut. Karena harus dimaklumi juga bahwa persoalan yang harus diselesaikan demikian banyak dan rumit, sehingga tetap saja ada kemungkinan terjadinya kekurangan disana-sini. Yang penting adalah semangat kita semua harus ditujukan ke arah perbaikan yang sungguh-sungguh dalam rangka pelaksanaan agenda otonomi daerah yang justru sangat menentukan nasib bangsa dan negara kita ke depan. Sukses tidaknya pelaksanaan agenda otonomi daerah ini menyangkut taruhan yang sangat besar, yaitu keutuhan bangsa dan negara, serta kembali pulihnya kehidupan nasional bangsa kita, baik di bidang politik dan ekonomi yang menyangkut nasib 200-an juta rakyat Indonesia yang sudah terlalu menderita akibat krisis yang tidak berkepanjangan.



KODIFIKASI HUKUM
Sejarah dan Pengertian
Kodifikasi hukum adalah pembukuan hukum dalam suatu himpunan Undang-undang dalam materi yang sama. Tujuannya adalah agar didapat suatu kesatuan hukum dan kepastian hukum. Yang dianggap sebagai suatu kodifikasi nasional yang pertama adalah Code Civil Perancis atau Code Civil Napoleon yang dibuat pada awal abad XVIII setelah berakhirnya Revolusi Perancis.
Sebelum adanya kodifikasi tersebut, di Perancis tidak ada kesatuan hukum dan kepastian hukum karena dipergunakannya hukum adat dan berlaku untuk wilayahnya masing-masing, sehingga dalam penyelesaian masalah akan berbeda-beda pula keputusan akhirnya.
Kodifikasi di Indonesia
Saat ini persoalan kodifikasi sudah tidak menjadi hal yang diperdebatkan karena memang hukum nasional Indonesia telah mengkodifikasi hukum yang berlaku, baik itu yang berasal dari warisan Kolonial Belanda, maupun hukum Islam. Khusus untuk hukum Islam saat ini kita telah memiliki Kompilasi Hukum Islam, yang dinilai oleh sebagian pakar merupakan bentuk kodifikasi hukum Islam di Indonesia. Berdasarkan hal tersebut seluruh persoalan yang hendak diselesaikan menggunakan Hukum Islam dapat merujuk kepada Kompilasi tersebut.







Daftar Pustaka

Asshiddiqie, Jimly , Tata Urut Perundang-undangan dan Problema Peraturan Daerah .
Soeroso,R, 1993, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta : Sinar Grafika






















Hand Out Ilmu Hukum
Oleh : H.M. Aiz Muhadjirin,SH,MH
Pertemuan VI
ALIRAN-ALIRAN HUKUM
Di dalam praktek, terdapat 3 aliran hukum, yaitu :
1. Aliran Legisme
Aliran ini berpendapat bahwa satu-satunya hukum adalah UU, dan di luar UU tidak ada hukum. Penganut aliran ini dipelopori oleh negara Perancis yang menganggap bahwa Code Civil Perancis telah sempurna, lengkap, serta dapat menampung seluruh masalah hukum. Aliran ini dipraktekan dibeberapa negara lain seperti Belanda, Belgia, Jerman dan Swiss.
2. Aliran Freie Rechtslehre
Aliran ini bertolak belakang dengan aliran Legisme. Lahirnya aliran ini pertama kali di Jerman pada tahun 1840 oleh Herman Kantorowisz. Aliran ini muncul justru karena melihat kekurangan aliran Legisme yang ternyata tidak dapat memenuhi kebutuhan dan tidak dapat mengatasi persoalan-persoalan baru. Aliran ini berpendapat bahwa hakim bebas menentukan / menciptakan hukum, baik dengan melaksanakan UU atau tidak.
3. Aliran Rechtvinding
Aliran ini atau dikenal dengan penemuan hukum, merupakan aliran diantara 2 aliran hukum sebelumnya. Aliran ini tetap berpegang pada UU tetapi tidak seketat aliran Legisme, karena hakim juga mempunyai kebebasan. Namun kebebasan di sini adalah kebebasan yang terikat atau terkontrol, karena hakim bertugas untuk menselaraskan UU dengan tuntutan zaman dan bila perlu menambahkan dengan asas-asas yang dirasakan adil oleh masyarakat setempat.

ALIRAN HUKUM DI INDONESIA
Negara Indonesia mempergunakan aliran Rechtsvinding. Ini berarti bahwa hakim dalam memutuskan perkara berpegang pada UU dan hukum lain yang berlaku di dalam masyarakat.


Menggagas Ilmu Hukum Indonesia
A Qodri AzizyGuru Besar IAIN Walisongo Semarang
Pada tanggal 8 Desember 2004 telah diadakan seminar sehari mengenai Menggagas Ilmu Hukum (Progresif) Indonesia di Semarang. Penyelenggaranya Ikatan Alumni Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro bekerjasama dengan IAIN Walisongo Semarang. Pembicaranya ada empat orang, yakni Prof Dr Satjipto Rahardjo, SH (Guru Besar Sosiologi Hukum, Undip), Prof Dr Busthanul Arifin, SH (mantan Ketua Muda Mahkamah Agung/Guru Besar Hukum, UIN Jakarta), Prof Dr Muladi, SH (Guru Besar Hukum, Undip), dan Prof Dr A Qodri Azizy, MA (Guru Besar Ilmu Hukum Islam, IAIN Walisongo).
Sesuai dengan judulnya, berarti ini masih merupakan barang baru. Dikatakan baru karena belum banyak mendapatkan sorotan yang signifikan. Sebab, ketika bangsa kita (para ahli, praktisi luar pengadilan, pengamat, akademisi, mahasiswa, LSM, dan lainnya) euforia memasuki gelanggang belantara yang namanya orde reformasi, ilmu hukum belum banyak tersentuh. Ketika ada pembicaraan mengenai hukum yang menjadi sorotan adalah praktik hukum, dan lebih fokus lagi penegakan hukum. Tambahan lagi, hampir belum pernah terdengar secara wajar pembahasan atau perdebatan mengenai hukum kaitannya dengan agama dan budaya riil masyarakat.
Ini berbeda sekali dengan disiplin lain, seperti sosilogi, antropologi, bahkan juga ekonomi, terlebih lagi politik. Kajian mengenai beberapa disiplin ini telah tereformasi secara signifikan, meskipun belum menampakkan sosok ''identitas''-nya. Akibatnya, hukum di Indonesia lebih sering menjadi victim (korban) kritikan, bahkan juga hujatan oleh pelbagai pihak, tanpa ada solusi yang ditawarkan untuk ke depan. Selama kenyataannya seperti itu, belum bahkan juga mungkin tidak akan muncul solusi peran hukum di Indonesia sesuai dengan yang kita harapkan.
Apabila kita bicara mengenai hukum, sudah pasti melibatkan para pelaku hukumnya. Ketika para pelaku hukum menjalankan tugasnya seperti apa yang terjadi selama ini jelaslah tidak semata-mata kesalahan mereka. Bukankah mereka selalu mengatakan ''UU-nya kan memang berbunyi begitu''. Dengan demikian, bukankah mereka mempunyai dasar dan landasan yang ''benar'' menurut ilmu hukum yang kita ikuti selama ini? Toh, pendidikan hukumnya (termasuk kurikulum serta sistem dan metode pendidikan) belum pula menjadi sasaran evaluasi serius agar produknya menjadi yang kita harapkan.
Itulah, maka sudah seharusnya untuk menengok dan mengkaji ulang ilmu hukumnya. Bukan hanya semata-mata praktik hukum yang ada atau bukan pula hanya semata-mata menghujat pelaksana hukumnya. Memang banyak faktor yang harus dikaji serius, termasuk budaya hukum masyarakat, pendidikan hukum (meliputi kurikulum, dan lain-lain), dan yang paling penting untuk segera dilakukan adalah membangun Ilmu Hukum Indonesia.
Khas IndonesiaMengapa judul seminar menyebutkan ''menggagas''? Menggagas berarti sesuatu yang digagas belum terwujud. Dalam waktu bersamaan, berarti telah tumbuh bahkan telah mempunyai kesadaran terhadap kenyataan belum terwujud tadi. Lebih dari itu, menggagas juga berarti adanya kondisi yang telah mempunyai kesadaran untuk mewujudkannya.
Mengapa dikatakan belum terwujud? Secara singkat dapat dikatakan bahwa ilmu hukum yang kita pelajari, kita yakini, dan kita praktikkan pada hakikatnya adalah Ilmu Hukum Belanda. Buku LJ van Apeldoorn yang berjudul Pengantar Ilmu Hukum judul aslinya adalah Pengantar Ilmu Hukum Belanda. Salah satu ciri terpenting dalam sistem hukum Belanda adalah aliran legal positivism. Menurut hemat saya ini adalah kekeliruan yang paling mendasar dalam kehidupan hukum di Indonesia, terutama sekali ketika pelaksana hukum kita memahaminya secara harfiyah.
Dalam kajian ilmu hukum, sistem hukum Belanda tergolong pengikut mazhab Roman Law System (istilah Prof Rahardjo sistem hukum Romawi-Jerman). Sistem ini dibentuk di benua Eropa yang penggodokannya sejak abad ke-12 dan 13, yang mendasarkan pada tersusunnya peraturan perundang-undangan. Menurut sistem ini, UU menjadi sumber utama dan hakim tidak boleh membuat keputusan yang berbeda dengan UU.
Di dalam pasal 20 AB disebutkan bahwa hakim harus mengadili berdasarkan UU. Dalam pandangan aliran Legisme abad XIX, setelah Napoleon mengundangkan Civil Code-nya, berkembanglah anggapan bahwa UU adalah hukum itu sendiri. Civil Code bukan saja dianggap sempurna, namun juga sekaligus dianggap menghasilkan kepastian dan kesatuan hukum. Ini kemudian berkembang bahwa UU adalah esensi hukum itu sendiri, dimana hakim hanya mempunyai peran menerapkan UU (meliputi peraturan perundangan) dalam memberikan putusan hukum.
Bagaimana dengan sistem di Indonesia? Kalau Roman Law System ini dipahami secara kaku, maka tidak ada kekeliruan hakim dalam memberikan keputusan. Dalam waktu bersamaan, juga tidak ada tanggung jawab yang dibebankan kepada hakim. Yang salah, keliru, tidak tepat, tidak adil, atau negatif lainnya adalah bunyi harfiah UU atau peraturan perundangan. legal maxim-nya, ''memang hukum (peraturan perundangan) berbunyi beigitu''.
Dengan demikian, terwujudnya proses dan praktik hukum di Indonesia yang dianggap salah atau tidak/kurang memuaskan, seperti yang selama ini dituduhkan, tidak bisa dibebankan kepada hakim secara keseluruhan, selama ilmu hukumnya belum dibenahi. Namun, saya yakin, paham hukum beberapa abad lalu di Belanda itu sendiri telah mengalami perubahan, penyesuaian, dan perbaikan sesuai dengan tuntutan jamannya.
Lebih dekat ke Common LawKita batasi perbandingan antara Roman Law System dan Common Law System kaitannya dengan hukum Indonesia. Realitas masyarakat Indonesia dan hukum kebiasaan yang ada bersama-sama dengan budaya dan agama, menurut hemat saya Indonesia lebih dekat dengan sistem Common Law dari pada dengan Roman Law.
Common Law ini berasal dari Inggris sejak abad ke-11 sebagai hukum kota. Mulai abad ke-16 jenis hukum ini menyebar ke luar, termasuk ke Amerika Serikat. Sistem ini mendasarkan pada ketentuan hukum yang lebih dulu (judicial precedent) yang asalnya dari hukum tidak tertulis, bukan pada UU. Dengan kata lain, Common Law pada umumnya lebih berupa asas-asas (bukan peraturan tertulis) yang umum dan komprehensif berdasarkan rasa keadilan, pertimbangan akal dan pendapat umum yang dapat diterima. Tambahan lagi, asas-asanya ditentukan oleh kebutuhan-kebutuhan masyarakat dan dapat berubah sesuai dengan perubahan kebutuhan tersebut.
Kalau kita perhatikan, sistem ini lebih dekat dengan sistem hukum kebiasaan (customary law) di negara kita, yang kemudian dibaca dengan Hukum Adat (adatrecht). Toh, para ahli sudah banyak yang setuju bahwa Hukum Adat harus dipahami sebagai hukum yang hidup di masyarakat (living law) dan kebiasaan. Jadi, bukan dogama hukum dengan judul ''hukum adat'', yang berisi ketentuan tertulis. Sudah barang tentu, dalam perkembangannya juga mengenal hukum tertulis atau UU. Namun, esensi sistemnya masih tetap melekat pada peran hakim. Hakim tidak dituntut untuk menerapakan teks UU secara harfiah. Namun, lebih dituntut pada terwujudnya rasa keadilan, dimana UU dijadikan sebagai alat untuk mencapai ke sana.

Sistem hukum kitaBanyak buku telah membahas beberapa aliran teori hukum, yang biasanya selalu mencakup minimal tiga aliran: (i) aliran legisme atau legal positivism. Hakim berperan hanya melakukan pelaksanaan UU (Wetstoepassing); (ii) aliran Freie Rechtsbewegung. Hakim bertugas untuk menciptakan hukum (Rechtsschepping) dan sama sekali tidak terikat UU. Ini kebalikan yang pertama; (iii) aliran Rechtsvinding. Hakim mempunyai kebebasan yang terikat (Gebonden-Vrijheid) atau keterikatan yang bebas (Vrije-Gebondenheid).
Lalu yang mana yang diikuti oleh Indonesia? Selama ini kita dianggap atau menganggapkan diri sebagai pengikut aliran legal positivism atau legisme. Namun, menurut hemat saya anggapan tersebut keliru. Aliran yang kedua juga sama sekali tidak tepat bagi Indonesia. Lalu apakah yang ketiga, yakni Rechtsvinding atau legal realism? Ini juga masih kurang, sehingga belum mencerminkan keaslian Indonesia. Oleh karena itu, perlu tambahan ''plus''. Indonesia atau hukum nasional harus mempertegas dirinya sebagai pengikut mazhab Rechtsvinding/Legal Realism-Plus. Dengan demikian, secara nature-nya, di Indonesia yang sejak awal sudah ada sistem hukum kebiasaan ditambah lagi tuntutan keadilan, maka sistem inilah yang seharusnya dipertegas bagi kita.
Di dalam UU Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (No 35 tahun 1999 perubahan dari UU No 14 tahun 1970) secara jelas ditegaskan bahwa hakim-dan juga semua penegak hukum dan keadilan ''wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat''. Ungkapan ini memberi peran luar biasa bagi setiap hakim untuk ber-ijtihad (memutuskan hukum atas dasar pemikiran yang mandiri dan bertanggung jawab dalam rangka mewujudkan rasa keadilan dan kemaslahatan umum).
Untuk sampai ke tingkatan ini, dalam hal-hal tertentu hakim harus lebih menggunakan pendekatan kontekstual, bukan tekstual. Ini berarti hakim dituntut untuk bukan saja aktif dan proaktif, namun juga sekaligus progresif. Dan sejak dua tahun lalu, Prof Satjipto Rahardjo telah berbicara beberapa kali tentang hukum progresif, dimana beliau mengidealkannya.
Mengapa ada plusnya? Saya katakan plus, oleh karena bukan saja masyarakat kita adalah religius (sesuai dengan agama masing-masing), namun juga sudah masuk dalam sistem hukum kita bahwa setiap keputusan yang mempunyai nilai hukum (UUD, UU, dan keputusan pengadilan) selalu diawali dengan ''Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa''. Dan dalam penjelasan UU Kekuasaan Kehakiman dengan tegas urutan tanggung jawab hakim yang pertama sekali adalah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ungkapan ini pun perlu pembahasan dan kajian secara filosofis dan akademik, sebagai salah satu wujud sosialisasi yang mendasar.
Dari uraian di atas, berarti jelaslah tidak cukup hanya menghujat praktik hukum, namun harus memberi solusi sampai dengan yang paling fundamental yaitu membangun Ilmu Hukum Indonesia (Indonesian Jurisprudence). Hal ini otomatis harus mengadakan evaluasi mendasar pula dalam kurikulum pendidikan hukum, baik lewat formal maupun nonformal dengan bentuk pelatihan hukum.
( )












Hand Out Ilmu Hukum
Oleh :H.M. Aiz Muhadjirin,SH,MH
Pertemuan VII
TATA HUKUM DI INDONESIA

Tata hukum meliputi berbagai macam aspek sudut pandang terhadap hukum itu sendiri, yakni :
1. Hukum menurut bentuknya, yaitu hukum tertulis dan hukum tidak tertulis.
2. Hukum menurut waktu berlakunya, yaitu ius constitutum (saat ini) dan ius constituendum (akan datang).
3. Hukum menurut wilayah berlakunya, yaitu hukum local, nasional, dan internasional.
4. Hukum menurut cara mempertahankannya, yaitu materil dan formal.
5. Hukum menurut isinya, yaitu hukum public dan hukum privat atau sipil.
6. Hukum Islam

Bidang hukum
Hukum dapat dibagi dalam berbagai bidang, antara lain hukum perdata, hukum publik, hukum pidana, hukum acara, hukum tata negara, hukum internasional.
Hukum perdata
Salah satu bidang hukum yang mengatur hubungan-hubungan antara individu-individu dalam masyarakat dengan saluran tertentu. Hukum perdata disebut juga hukum privat atau hukum sipil.
Hukum perdata dapat digolongkan antara lain menjadi:
Hukum keluarga
Hukum harta kekayaan
Hukum benda
Hukum Perikatan
Hukum Waris

Hukum publik
Hukum publik adalah hukum yang mengatur hubungan antara subjek hukum dengan pemerintah. Hukum ini meliputi hukum pidana, hukum tatanegara, dan hukum administrasi negara.
Hukum pidana
Hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan berakibat diterapkannya hukuman bagi barang siapa yang melakukannya dan memenuhi unsur-unsur perbuatan yang disebutkan dalam undang-undang pidana. Seperti perbuatan yang dilarang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Korupsi, Undang-Undang HAM dan sebagainya Dalam hukum pidana dikenal, 2 jenis perbuatan yaitu kejahatan dan pelanggaran, kejahatan ialah perbuatan yang tidak hanya bertentangan dengan undang-undang tetapi juga bertentangan dengan nilai moral, nilai agama dan rasa keadilan masyarakat, contohnya mencuri, membunuh, berzina, memperkosa dan sebagainya. sedangkan pelanggaran ialah perbuatan yang hanya dilarang oleh undang-undang, seperti tidak pakai helem, tidak menggunakan sabuk pengaman dalam berkendaraan, dan sebagainya.
Hukum tatanegara
HTN adalah hukum yang mempelajari negara tertentu, baik asal mula berdirinya negara, bentuk negara, bentuk pemerintahan, sistem pemerintahan, sekaligus alat-alat perlengkapan negaranya.
Hukum Administrasi Negara
HAN adalah hukum yang mengatur cara kerja alat-alat perlengkapan negara serta hubungan antar alat perlengkapan negara.
Hukum acara
Untuk tegaknya hukum materiil diperlukan hukum acara atau sering juga disebut hukum formil. Hukum acara merupakan ketentuan yang mengatur bagaimana cara agar hukum (materiil) itu terwujud atau dapat diterapkan/dilaksanakan kepada subyek yang memenuhi perbuatannya . Tanpa hukum acara maka tidak ada manfaat hukum materiil. Untuk menegakkan ketentuan hukum pidana diperlukan hukum acara pidana, untuk hukum perdata maka ada hukum acara perdata. Hukum acara ini harus dikuasai para praktisi hukum, polisi, jaksa, pengacara, hakim.



Hukum internasional
Hukum yang mengatur tentang hubungan hukum antar negara satu dengan negara lain secara internasional, yang mengandung dua pengertian dalam arti sempit dan luas.
Dalam arti sempit meliputi : Hukum publik internasional saja
Dalam arti luas meliputi : Hukum publik internasional dan hukum perdata internasional

HUKUM ISLAM
PendahuluanTidak dapat dipungkiri bahwa umat Islam di Indonesia adalah unsur paling mayoritas. Dalam tataran dunia Islam internasional, umat Islam Indonesia bahkan dapat disebut sebagai komunitas muslim paling besar yang berkumpul dalam satu batas teritorial kenegaraan.
Karena itu, menjadi sangat menarik untuk memahami alur perjalanan sejarah hukum Islam di tengah-tengah komunitas Islam terbesar di dunia itu. Pertanyaan-pertanyaan seperti: seberapa jauh pengaruh kemayoritasan kaum muslimin Indonesia itu terhadap penerapan hukum Islam di Tanah Air –misalnya-, dapat dijawab dengan memaparkan sejarah hukum Islam sejak komunitas muslim hadir di Indonesia.
Di samping itu, kajian tentang sejarah hukum Islam di Indonesia juga dapat dijadikan sebagai salah satu pijakan –bagi umat Islam secara khusus- untuk menentukan strategi yang tepat di masa depan dalam mendekatkan dan “mengakrabkan” bangsa ini dengan hukum Islam. Proses sejarah hukum Islam yang diwarnai “benturan” dengan tradisi yang sebelumnya berlaku dan juga dengan kebijakan-kebijakan politik-kenegaraan, serta tindakan-tindakan yang diambil oleh para tokoh Islam Indonesia terdahulu setidaknya dapat menjadi bahan telaah penting di masa datang. Setidaknya, sejarah itu menunjukkan bahwa proses Islamisasi sebuah masyarakat bukanlah proses yang dapat selesai seketika.
Untuk itulah, tulisan ini dihadirkan. Tentu saja tulisan ini tidak dapat menguraikan secara lengkap dan detail setiap rincian sejarah hukum Islam di Tanah air, namun setidaknya apa akan Penulis paparkan di sini dapat memberikan gambaran tentang perjalanan hukum Islam, sejak awal kedatangan agama ini ke bumi Indonesia hingga di era reformasi ini. Pada bagian akhir tulisan ini, Penulis juga menyampaikan kesimpulan tentang apa yang sebaiknya dilakukan oleh kaum muslimin Indonesia untuk –apa yang Penulis sebut dengan- “mengakrabkan” bangsa ini dengan hukum Islam.Wallahu a’la wa a’lam!
Hukum Islam pada Masa Pra Penjajahan BelandaAkar sejarah hukum Islam di kawasan nusantara menurut sebagian ahli sejarah dimulai pada abad pertama hijriyah, atau pada sekitar abad ketujuh dan kedelapan masehi.[1] Sebagai gerbang masuk ke dalam kawasan nusantara, kawasan utara pulau Sumatera-lah yang kemudian dijadikan sebagai titik awal gerakan dakwah para pendatang muslim. Secara perlahan, gerakan dakwah itu kemudian membentuk masyarakat Islam pertama di Peureulak, Aceh Timur. Berkembangnya komunitas muslim di wilayah itu kemudian diikuti oleh berdirinya kerajaan Islam pertama di Tanah air pada abad ketiga belas. Kerajaan ini dikenal dengan nama Samudera Pasai. Ia terletak di wilayah Aceh Utara.[2]
Pengaruh dakwah Islam yang cepat menyebar hingga ke berbagai wilayah nusantara kemudian menyebabkan beberapa kerajaan Islam berdiri menyusul berdirinya Kerajaan Samudera Pasai di Aceh. Tidak jauh dari Aceh berdiri Kesultanan Malaka, lalu di pulau Jawa berdiri Kesultanan Demak, Mataram dan Cirebon, kemudian di Sulawesi dan Maluku berdiri Kerajaan Gowa dan Kesultanan Ternate serta Tidore.Kesultanan-kesultanan tersebut –sebagaimana tercatat dalam sejarah- itu tentu saja kemudian menetapkan hukum Islam sebagai hukum positif yang berlaku. Penetapan hukum Islam sebagai hukum positif di setiap kesultanan tersebut tentu saja menguatkan pengamalannya yang memang telah berkembang di tengah masyarakat muslim masa itu. Fakta-fakta ini dibuktikan dengan adanya literatur-literatur fiqh yang ditulis oleh para ulama nusantara pada sekitar abad 16 dan 17.[3] Dan kondisi terus berlangsung hingga para pedagang Belanda datang ke kawasan nusantara. Hukum Islam pada Masa Penjajahan BelandaCikal bakal penjajahan Belanda terhadap kawasan nusantara dimulai dengan kehadiran Organisasi Perdagangan Dagang Belanda di Hindia Timur, atau yang lebih dikenal dengan VOC. Sebagai sebuah organisasi dagang, VOC dapat dikatakan memiliki peran yang melebihi fungsinya. Hal ini sangat dimungkinkan sebab Pemerintah Kerajaan Belanda memang menjadikan VOC sebagai perpanjangtangannya di kawasan Hindia Timur. Karena itu disamping menjalankan fungsi perdagangan, VOC juga mewakili Kerajaan Belanda dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Tentu saja dengan menggunakan hukum Belanda yang mereka bawa.
Dalam kenyataannya, penggunaan hukum Belanda itu menemukan kesulitan. Ini disebabkan karena penduduk pribumi berat menerima hukum-hukum yang asing bagi mereka. Akibatnya, VOC pun membebaskan penduduk pribumi untuk menjalankan apa yang selama ini telah mereka jalankan.[4]Kaitannya dengan hukum Islam, dapat dicatat beberapa “kompromi” yang dilakukan oleh pihak VOC, yaitu:1.Dalam Statuta Batavia yag ditetapkan pada tahun 1642 oleh VOC, dinyatakan bahwa hukum kewarisan Islam berlaku bagi para pemeluk agama Islam.2. Adanya upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang telah berlaku di tengah masyarakat. Upaya ini diselesaikan pada tahun 1760. Kompilasi ini kemudian dikenal dengan Compendium Freijer.3. Adanya upaya kompilasi serupa di berbagai wilayah lain, seperti di Semarang, Cirebon, Gowa dan Bone.
Di Semarang, misalnya, hasil kompilasi itu dikenal dengan nama Kitab Hukum Mogharraer (dari al-Muharrar). Namun kompilasi yang satu ini memiliki kelebihan dibanding Compendium Freijer, dimana ia juga memuat kaidah-kaidah hukum pidana Islam.[5]
Pengakuan terhadap hukum Islam ini terus berlangsung bahkan hingga menjelang peralihan kekuasaan dari Kerajaan Inggris kepada Kerajaan Belanda kembali. Setelah Thomas Stanford Raffles menjabat sebagai gubernur selama 5 tahun (1811-1816) dan Belanda kembali memegang kekuasaan terhadap wilayah Hindia Belanda, semakin nampak bahwa pihak Belanda berusaha keras mencengkramkan kuku-kuku kekuasaannya di wilayah ini. Namun upaya itu menemui kesulitan akibat adanya perbedaan agama antara sang penjajah dengan rakyat jajahannya, khususnya umat Islam yang mengenal konsep dar al-Islam dan dar al-harb. Itulah sebabnya, Pemerintah Belanda mengupayakan ragam cara untuk menyelesaikan masalah itu. Diantaranya dengan (1) menyebarkan agama Kristen kepada rakyat pribumi, dan (2) membatasi keberlakuan hukum Islam hanya pada aspek-aspek batiniah (spiritual) saja.[6]
Bila ingin disimpulkan, maka upaya pembatasan keberlakuan hukum Islam oleh Pemerintah Hindia Belanda secara kronologis adalah sebagai berikut:1. Pada pertengahan abad 19, Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan Politik Hukum yang Sadar; yaitu kebijakan yang secara sadar ingin menata kembali dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda.[7]2. Atas dasar nota disampaikan oleh Mr. Scholten van Oud Haarlem, Pemerintah Belanda menginstruksikan penggunaan undang-undang agama, lembaga-lembaga dan kebiasaan pribumi dalam hal persengketaan yang terjadi di antara mereka, selama tidak bertentangan dengan asas kepatutan dan keadilan yang diakui umum. Klausa terakhir ini kemudian menempatkan hukum Islam di bawah subordinasi dari hukum Belanda.[8]3. Atas dasar teori resepsi yang dikeluarkan oleh Snouck Hurgronje, Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1922 kemudian membentuk komisi untuk meninjau ulang wewenang pengadilan agama di Jawa dalam memeriksa kasus-kasus kewarisan (dengan alasan, ia belum diterima oleh hukum adat setempat). [9]4. Pada tahun 1925, dilakukan perubahan terhadap Pasal 134 ayat 2 Indische Staatsregeling (yang isinya sama dengan Pasal 78 Regerringsreglement), yang intinya perkara perdata sesama muslim akan diselesaikan dengan hakim agama Islam jika hal itu telah diterima oleh hukum adat dan tidak ditentukan lain oleh sesuatu ordonasi.[10]
Lemahnya posisi hukum Islam ini terus terjadi hingga menjelang berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda di wilayah Indonesia pada tahun 1942. Hukum Islam pada Masa Pendudukan JepangSetelah Jendral Ter Poorten menyatakan menyerah tanpa syarat kepada panglima militer Jepang untuk kawasan Selatan pada tanggal 8 Maret 1942, segera Pemerintah Jepang mengeluarkan berbagai peraturan. Salah satu diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942, yang menegaskan bahwa Pemerintah Jepag meneruskan segala kekuasaan yang sebelumnya dipegang oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda. Ketetapan baru ini tentu saja berimplikasi pada tetapnya posisi keberlakuan hukum Islam sebagaimana kondisi terakhirnya di masa pendudukan Belanda.[11]Meskipun demikian, Pemerintah Pendudukan Jepang tetap melakukan berbagai kebijakan untuk menarik simpati umat Islam di Indonesia. Diantaranya adalah:1. Janji Panglima Militer Jepang untuk melindungi dan memajukan Islam sebagai agama mayoritas penduduk pulau Jawa.2. Mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam) yang dipimpin oleh bangsa Indonesia sendiri.3. Mengizinkan berdirinya ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan NU.4. Menyetujui berdirinya Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada bulan oktober 1943.[12]5. Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan yang mendampingi berdirinya PETA.6. Berupaya memenuhi desakan para tokoh Islam untuk mengembalikan kewenangan Pengadilan Agamadengan meminta seorang ahli hukum adat, Soepomo, pada bulan Januari 1944 untuk menyampaikan laporan tentang hal itu. Namun upaya ini kemudian “dimentahkan” oleh Soepomo dengan alasan kompleksitas dan menundanya hingga Indonesia merdeka.[13]
Dengan demikian, nyaris tidak ada perubahan berarti bagi posisi hukum Islam selama masa pendudukan Jepang di Tanah air. Namun bagaimanapun juga, masa pendudukan Jepang lebih baik daripada Belanda dari sisi adanya pengalaman baru bagi para pemimpin Islam dalam mengatur masalah-masalah keagamaan. Abikusno Tjokrosujoso menyatakan bahwa,
Kebijakan pemerintah Belanda telah memperlemah posisi Islam. Islam tidak memiliki para pegawai di bidang agama yang terlatih di masjid-masjid atau pengadilan-pengadilan Islam. Belanda menjalankan kebijakan politik yang memperlemah posisi Islam. Ketika pasukan Jepang datang, mereka menyadari bahwa Islam adalah suatu kekuatan di Indonesia yang dapat dimanfaatkan.[14] Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan (1945)Meskipun Pendudukan Jepang memberikan banyak pengalaman baru kepada para pemuka Islam Indonesia, namun pada akhirnya, seiring dengan semakin lemahnya langkah strategis Jepang memenangkan perang –yang kemudian membuat mereka membuka lebar jalan untuk kemerdekaan Indonesia-, Jepang mulai mengubah arah kebijakannya. Mereka mulai “melirik” dan memberi dukungan kepada para tokoh-tokoh nasionalis Indonesia. Dalam hal ini, nampaknya Jepang lebih mempercayai kelompok nasionalis untuk memimpin Indonesia masa depan. Maka tidak mengherankan jika beberapa badan dan komite negara, seperti Dewan Penasehat (Sanyo Kaigi) dan BPUPKI (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai) kemudian diserahkan kepada kubu nasionalis. Hingga Mei 1945, komite yang terdiri dari 62 orang ini, paling hanya 11 diantaranya yang mewakili kelompok Islam.[15] Atas dasar itulah, Ramly Hutabarat menyatakan bahwa BPUPKI “bukanlah badan yang dibentuk atas dasar pemilihan yang demokratis, meskipun Soekarno dan Mohammad Hatta berusaha agar aggota badan ini cukup representatif mewakili berbagai golonga dalam masyarakat Indonesia”.[16]
Perdebatan panjang tentang dasar negara di BPUPKI kemudian berakhir dengan lahirnya apa yang disebut dengan Piagam Jakarta. Kalimat kompromi paling penting Piagam Jakarta terutama ada pada kalimat “Negara berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Menurut Muhammad Yamin kalimat ini menjadikan Indonesia merdeka bukan sebagai negara sekuler dan bukan pula negara Islam.[17]
Dengan rumusan semacam ini sesungguhnya lahir sebuah implikasi yang mengharuskan adanya pembentukan undang-undang untuk melaksanakan Syariat Islam bagi para pemeluknya. Tetapi rumusan kompromis Piagam Jakarta itu akhirnya gagal ditetapkan saat akan disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI. Ada banyak kabut berkenaan dengan penyebab hal itu. Tapi semua versi mengarah kepada Mohammad Hatta yang menyampaikan keberatan golongan Kristen di Indonesia Timur. Hatta mengatakan ia mendapat informasi tersebut dari seorang opsir angkatan laut Jepang pada sore hari taggal 17 Agustus 1945. Namun Letkol Shegeta Nishijima –satu-satunya opsir AL Jepang yang ditemui Hatta pada saat itu- menyangkal hal tersebut. Ia bahkan menyebutkan justru Latuharhary yang menyampaikan keberatan itu. Keseriusan tuntutan itu lalu perlu dipertanyakan mengingat Latuharhary –bersama dengan Maramis, seorang tokoh Kristen dari Indonesia Timur lainnya- telah menyetujui rumusan kompromi itu saat sidang BPUPKI.[18]
Pada akhirnya, di periode ini, status hukum Islam tetaplah samar-samar. Isa Ashary mengatakan,Kejadian mencolok mata sejarah ini dirasakan oleh umat Islam sebagai suatu ‘permainan sulap’ yang masih diliputi kabut rahasia…suatu politik pengepungan kepada cita-cita umat Islam.[19]Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan Periode Revolusi Hingga Keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1950Selama hampir lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia memasuki masa-masa revolusi (1945-1950). Menyusul kekalahan Jepang oleh tentara-tentara sekutu, Belanda ingin kembali menduduki kepulauan Nusantara. Dari beberapa pertempuran, Belanda berhasil menguasai beberapa wilayah Indonesia, dimana ia kemudian mendirikan negara-negara kecil yang dimaksudkan untuk mengepung Republik Indonesia. Berbagai perundingan dan perjanjian kemudian dilakukan, hingga akhirnya tidak lama setelah Linggarjati, lahirlah apa yang disebut dengan Konstitusi Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949.
Dengan berlakunya Konstitusi RIS tersebut, maka UUD 1945 dinyatakan berlaku sebagai konstitusi Republik Indonesia –yang merupakan satu dari 16 bagian negara Republik Indonesia Serikat-. Konstitusi RIS sendiri jika ditelaah, sangat sulit untuk dikatakan sebagai konstitusi yang menampung aspirasi hukum Islam. Mukaddimah Konstitusi ini misalnya, samasekali tidak menegaskan posisi hukum Islam sebagaimana rancangan UUD’45 yang disepakati oleh BPUPKI. Demikian pula dengan batang tubuhnya, yang bahkan dipengaruhi oleh faham liberal yang berkembang di Amerika dan Eropa Barat, serta rumusan Deklarasi HAM versi PBB.[20]
Namun saat negara bagian RIS pada awal tahun 1950 hanya tersisa tiga negara saja RI, negara Sumatera Timur, dan negara Indonesia Timur, salah seorang tokoh umat Islam, Muhammad Natsir, mengajukan apa yang kemudian dikenal sebagai “Mosi Integral Natsir” sebagai upaya untuk melebur ketiga negara bagian tersebut. Akhirnya, pada tanggal 19 Mei 1950, semuanya sepakat membentuk kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi 1945. Dan dengan demikian, Konstitusi RIS dinyatakan tidak berlaku, digantikan dengan UUD Sementara 1950.Akan tetapi, jika dikaitkan dengan hukum Islam, perubahan ini tidaklah membawa dampak yang signifikan. Sebab ketidakjelasan posisinya masih ditemukan, baik dalam Mukaddimah maupun batang tubuh UUD Sementara 1950, kecuali pada pasal 34 yang rumusannya sama dengan pasal 29 UUD 1945, bahwa “Negara berdasar Ketuhanan yang Maha Esa” dan jaminan negara terhadap kebebasan setiap penduduk menjalankan agamanya masing-masing. Juga pada pasal 43 yang menunjukkan keterlibatan negara dalam urusan-urusan keagamaan.[21] “Kelebihan” lain dari UUD Sementara 1950 ini adalah terbukanya peluang untuk merumuskan hukum Islam dalam wujud peraturan dan undang-undang. Peluang ini ditemukan dalam ketentuan pasal 102 UUD sementara 1950.[22] Peluang inipun sempat dimanfaatkan oleh wakil-wakil umat Islam saat mengajukan rancangan undang-undang tentang Perkawinan Umat Islam pada tahun 1954. Meskipun upaya ini kemudian gagal akibat “hadangan” kaum nasionalis yang juga mengajukan rancangan undang-undang Perkawinan Nasional.[23] Dan setelah itu, semua tokoh politik kemudian nyaris tidak lagi memikirkan pembuatan materi undang-undang baru, karena konsentrasi mereka tertuju pada bagaimana mengganti UUD Sementara 1950 itu dengan undang-undang yang bersifat tetap.[24]
Perjuangan mengganti UUD Sementara itu kemudian diwujudkan dalam Pemilihan Umum untuk memilih dan membentuk Majlis Konstituante pada akhir tahun 1955. Majlis yang terdiri dari 514 orang itu kemudian dilantik oleh Presiden Soekarno pada 10 November 1956. Namun delapan bulan sebelum batas akhir masa kerjanya, Majlis ini dibubarkan melalui Dekrit Presiden yang dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1959. Hal penting terkait dengan hukum Islam dalam peristiwa Dekrit ini adalah konsiderannya yang menyatakan bahwa “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni menjiwai UUD 1945” dan merupakan “suatu kesatuan dengan konstitusi tersebut”. Hal ini tentu saja mengangkat dan memperjelas posisi hukum Islam dalam UUD, bahkan –menurut Anwar Harjono- lebih dari sekedar sebuah “dokumen historis”.[25] Namun bagaiamana dalam tataran aplikasi? Lagi-lagi faktor-faktor politik adalah penentu utama dalam hal ini. Pengejawantahan kesimpulan akademis ini hanya sekedar menjadi wacana jika tidak didukung oleh daya tawar politik yang kuat dan meyakinkan.
Hal lain yang patut dicatat di sini adalah terjadinya beberapa pemberontakan yang diantaranya “bernuansakan” Islam dalam fase ini. Yang paling fenomenal adalah gerakan DI/TII yang dipelopori oleh Kartosuwirjo dari Jawa Barat. Kartosuwirjo sesungguhnya telah memproklamirkan negara Islam-nya pada tanggal 14 Agustus 1945, atau dua hari sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Namun ia melepaskan aspirasinya untuk kemudian bergabung dengan Republik Indonesia. Tetapi ketika kontrol RI terhadap wilayahnya semakin merosot akibat agresi Belanda, terutama setelah diproklamirkannya negara-boneka Pasundan di bawah kontrol Belanda, ia pun memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia pada tahun 1948. Namun pemicu konflik yang berakhir di tahun 1962 dan mencatat 25.000 korban tewas itu, menurut sebagian peneliti, lebih banyak diakibatkan oleh kekecewaan Kartosuwirjo terhadap strategi para pemimpin pusat dalam mempertahankan diri dari upaya pendudukan Belanda kembali, dan bukan atas dasar –apa yang mereka sebut dengan- “kesadaran teologis-politis”nya.[26] Hukum Islam di Era Orde Lama dan Orde BaruMungkin tidak terlalu keliru jika dikatakan bahwa Orde Lama adalah eranya kaum nasionalis dan komunis. Sementara kaum muslim di era ini perlu sedikit merunduk dalam memperjuangkan cita-citanya. Salah satu partai yang mewakili aspirasi umat Islam kala itu, Masyumi harus dibubarkan pada tanggal 15 Agustus 1960 oleh Soekarno, dengan alasan tokoh-tokohnya terlibat pemberontakan (PRRI di Sumatera Barat). Sementara NU –yang kemudian menerima Manipol Usdek-nya Soekarno[27]- bersama dengan PKI dan PNI[28] kemudian menyusun komposisi DPR Gotong Royong yang berjiwa Nasakom. Berdasarkan itu, terbentuklah MPRS yang kemudian menghasilkan 2 ketetapan; salah satunya adalah tentang upaya unifikasi hukum yang harus memperhatikan kenyataan-kenyataan umum yang hidup di Indonesia.[29]Meskipun hukum Islam adalah salah satu kenyataan umum yang selama ini hidup di Indonesia, dan atas dasar itu Tap MPRS tersebut membuka peluang untuk memposisikan hukum Islam sebagaimana mestinya, namun lagi-lagi ketidakjelasan batasan “perhatian” itu membuat hal ini semakin kabur. Dan peran hukum Islam di era inipun kembali tidak mendapatkan tempat yang semestinya. Menyusul gagalnya kudeta PKI pada 1965 dan berkuasanya Orde Baru, banyak pemimpin Islam Indonesia yang sempat menaruh harapan besar dalam upaya politik mereka mendudukkan Islam sebagaimana mestinya dalam tatanan politik maupun hukum di Indonesia. Apalagi kemudian Orde Baru membebaskan bekas tokoh-tokoh Masyumi yang sebelumnya dipenjara oleh Soekarno. Namun segera saja, Orde ini menegaskan perannya sebagai pembela Pancasila dan UUD 1945. Bahkan di awal 1967, Soeharto menegaskan bahwa militer tidak akan menyetujui upaya rehabilitasi kembali partai Masyumi.[30] Lalu bagaimana dengan hukum Islam?Meskipun kedudukan hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional tidak begitu tegas di masa awal Orde ini, namun upaya-upaya untuk mempertegasnya tetap terus dilakukan. Hal ini ditunjukkan oleh K.H. Mohammad Dahlan, seorang menteri agama dari kalangan NU, yang mencoba mengajukan Rancangan Undang-undang Perkawinan Umat Islam dengan dukunagn kuat fraksi-fraksi Islam di DPR-GR. Meskipun gagal, upaya ini kemudian dilanjutkan dengan mengajukan rancangan hukum formil yang mengatur lembaga peradilan di Indonesia pada tahun 1970. Upaya ini kemudian membuahkan hasil dengan lahirnya UU No.14/1970, yang mengakui Pengadilan Agama sebagai salah satu badan peradilan yang berinduk pada Mahkamah Agung. Dengan UU ini, dengan sendirinya –menurut Hazairin- hukum Islam telah berlaku secara langsung sebagai hukum yang berdiri sendiri.[31]
Penegasan terhadap berlakunya hukum Islam semakin jelas ketika UU no. 14 Tahun 1989 tentang peradilan agama ditetapkan.[32] Hal ini kemudian disusul dengan usaha-usaha intensif untuk mengompilasikan hukum Islam di bidang-bidang tertentu. Dan upaya ini membuahkan hasil saat pada bulan Februari 1988, Soeharto sebagai presiden menerima hasil kompilasi itu, dan menginstruksikan penyebarluasannya kepada Menteri Agama.[33] Hukum Islam di Era ReformasiSoeharto akhirnya jatuh. Gemuruh demokrasi dan kebebasan bergemuruh di seluruh pelosok Indonesia. Setelah melalui perjalanan yang panjang, di era ini setidaknya hukum Islam mulai menempati posisinya secara perlahan tapi pasti. Lahirnya Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan semakin membuka peluang lahirnya aturan undang-undang yang berlandaskan hukum Islam. Terutama pada Pasal 2 ayat 7 yang menegaskan ditampungnya peraturan daerah yang didasarkan pada kondisi khusus dari suatu daerah di Indonesia, dan bahwa peraturan itu dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan yang bersifat umum.[34]Lebih dari itu, disamping peluang yang semakin jelas, upaya kongkrit merealisasikan hukum Islam dalam wujud undang-undang dan peraturan telah membuahkan hasil yang nyata di era ini. Salah satu buktinya adalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun Propinsi Nangroe Aceh Darussalam tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Nomor 11 Tahun 2002.
Dengan demikian, di era reformasi ini, terbuka peluang yang luas bagi sistem hukum Islam untuk memperkaya khazanah tradisi hukum di Indonesia. Kita dapat melakukan langkah-langkah pembaruan, dan bahkan pembentukan hukum baru yang bersumber dan berlandaskan sistem hukum Islam, untuk kemudian dijadikan sebagai norma hukum positif yang berlaku dalam hukum Nasional kita.[35] PenutupEra reformasi yang penuh keterbukaan tidak pelak lagi turut diwarnai oleh tuntutan-tuntutan umat Islam yang ingin menegakkan Syariat Islam. Bagi penulis, ide ini tentu patut didukung. Namun sembari memberikan dukungan, perlu pula kiranya upaya-upaya semacam ini dijalankan secara cerdas dan bijaksana. Karena menegakkan yang ma’ruf haruslah juga dengan menggunakan langkah yang ma’ruf. Disamping itu, kesadaran bahwa perjuangan penegakan Syariat Islam sendiri adalah jalan yang panjang dan berliku, sesuai dengan sunnatullah-nya. Karena itu dibutuhkan kesabaran dalam menjalankannya. Sebab tanpa kesabaran yang cukup, upaya penegakan itu hanya akan menjelma menjadi tindakan-tindakan anarkis yang justru tidak sejalan dengan kema’rufan Islam.[36]
Proses “pengakraban” bangsa ini dengan hukum Islam yang selama ini telah dilakukan, harus terus dijalani dengan kesabaran dan kebijaksanaan. Disamping tentu saja upaya-upaya penguatan terhadap kekuatan dan daya tawar politis umat ini. Sebab tidak dapat dipungkiri, dalam sistem demokrasi, daya tawar politis menjadi sangat menentukan sukses-tidaknya suatu tujuan dan cita-cita.Wallahu a’lam.
Cipinang Muara, 19 September 2006(Sumber : abulmiqdad.multiply.com)
*)Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Indonesia Program Studi kajian Islam Dan Timur Tengah Kekhususan Kajian Islam.
DAFTAR PUSTAKA1. Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia dan Peranannya dalam Pembinaan Hukum Nasional, Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Jakarta, Mei 2005.2. Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Paramadina, Jakarta, Oktober 1998.3. Jimly Ashshiddiqie, Hukum Islam dan Reformasi Hukum Nasional, Seminar Penelitian Hukum tentang Eksistensi Hukum Islam dalam Reformasi Sistem Nasional, Jakarta, 27 September 2000.4. Chamzawi, Memperjuangkan Berlakunya Syari’ah Islam di Indonesia (Masih Perlukah?), Majalah Amanah, no.56, tahun XVIII, Nopember 2004/Ramadhan-Syawal 1425 H.
[1] Sebagaimana disebutkan dalam Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia dan Peranannya dalam Pembinaan Hukum Nasional, Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Jakarta, Mei 2005, hal. 61. Sementara itu Bahtiar Effendy menyebutkan bahwa Islam mulai diperkenalkan di wilayah nusantara pada akhir abad 13 dan awal abad 14 Masehi. Kesimpulan ini sangat mungkin didasarkan pada fakta bahwa kesultanan Islam pertama, Samudra Pasai, berdiri pada kisaran waktu tersebut. Lih. Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Paramadina, Jakarta, Oktober 1998, hal. 21.[2] Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia, op.cit., hal. 61.[3] Ibid., hal. 61-62.[4] Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia, op.cit., hal. 63-64.[5] Ibid., hal. 64-66.[6] Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam Konstitusi-konstitusi Indonesia, op.cit., hal. 67-68.[7] Ibid., hal. 68.[8] Ibid., hal. 68-70.[9] Ibid., hal. 70.[10] Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia, op.cit., hal. 72. Sebagaimana terlihat dengan jelas bahwa perubahan ini juga sangat dipengaruhi oleh Teori Receptio Snouck Hurgronje.[11] Ibid., hal. 76.[12] Mengenai apakah Masyumi versi ini merupakan asal-usul Partai Masyumi di kemudian hari, lihat Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, op.cit., hal. 93, catatan kaki no.105.[13] Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia, op.cit., hal. 76-79.[14] Daniel S.Lev, Islamic Courts in Indonesia, hal. 34, sebagaimana dinukil dari Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, op.cit., hal. 83.[15] Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, op.cit., hal. 84. Mereka antara lain adalah Ki Bagus Hadikusumo, Abdul Kahar Muzakkir, H. Agus Salim, Abikusno Tjokrosujoso, dan K.H.A.Wahid Hasjim. Jumlah ini didasarkan pada apa yang dituliskan oleh Muhammad Yamin dalam Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, jilid I dan II, Jakarta: Yayasan Prapanca, 1959, hal. 60. Sementara dalam Ramly Hutabarat menyebutkan dalam Kedudukan Hukum Islam, hal. 85, disebutkan jumlah kubu Islam adalah 15 orang. Data ini didasarkan pada pidato Abdul Kahar Muzakkir di Konstituante, dalam Tentang Dasar Negara di Konstituante, jilid III. Bandung: Secretariat Jenderal Konstituante, 1959, hal. 35. [16] Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam, op.cit., hal. 85.[17] Ibid., hal. 89-90. Titik kompromi lain juga terlihat dalam rumusan tentang syarat menjadi Presiden Republik Indonesia yang haruslah “orang Indonesia asli dan beragama Islam.”[18] Ibid., hal. 92-93.[19] Risalah Perundingan 1957, tanpa tempat, Konstituante Republik Indonesia, tanpa tahun, hal. 325, sebagaimana dinukil dari Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, op.cit., hal. 91.[20] Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam, op.cit., hal. 103.[21] Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam, op.cit., hal. 110-111.[22] Ibid., hal. 112.[23] Ibid., hal. 113.[24] Ibid., hal. 115.[25] Ibid., hal. 131-133.[26] Karl. D. Jackson, Traditional Authority, Islam, and Rebellion, hal. 10, sebagaimana dikutip dari Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, hal. 96-97.[27] Ini adalah manifesto politik yang terdiri dari (1) kembali ke UUD 1945; (2) sosialisme Indonesia: (3) demokrasi terpimpin: (4) ekonomi terpimpin; dan (5) kepribadian Indonesia. Lih. Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, op.cit., hal. 110.[28] Masing-masing diwakili oleh Idham Chalid (NU), D.N. Aidit (PKI), dan Suwirjo (PNI).[29] Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam, op.cit., hal. 140-141.[30] Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, op.cit., hal. 111-112.[31] Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam, op.cit., hal. 149-150, dan 153.[32] Lihat beberapa alasan diterimanya UU ini dalam Ramli Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam, op.cit, hal. 163-164.[33] Ibid., hal. 156-157. Kompilasi ini terdiri dari tiga buku: (1) tentang Hukum Perkawinan, (2) tentang Hukum Kewarisan; dan (3) tentang Hukum Perwakafan.[34] Jimly Ashshiddiqie, Hukum Islam dan Reformasi Hukum Nasional, makalah Seminar Penelitian Hukum tentang Eksistensi Hukum Islam dalam Reformasi Sistem Nasional, Jakarta, 27 September 2000.[35] Ibid.[36] Lih. Chamzawi, Memperjuangkan Berlakunya Syari’ah Islam di Indonesia (Masih Perlukah?), Majalah Amanah, no.56, tahun XVIII, Nopember 2004/Ramadhan-Syawal 1425 H.
Juni 12, 2007Kategori: Hukum-hukum . . Penulis: abu ghonam






SOAL UJIAN TENGAH SEMESTER
MATA KULIAH : ILMU HUKUM
SEMESTER : I
JURUSAN : SYARI’AH
DOSEN : H.M.Aiz Muhadjirin,SH,MH

1. Berikan definisi tentang ilmu hukum yang kamu ketahui, minimal menurut 2 orang pakar / ahli !
2. Apakah tujuan dan fungsi hukum yang kamu ketahui ?
3. Jelaskan mengenai subyek hukum dan obyek hukum !
4. Jelaskan tentang aliran hukum yang berkembang luas saat ini di Indonesia?
5. Apakah yang kamu ketahui tentang Ketetapan MPR-RI Nomor III Tahun 2000 ?
6. Sebutkan sumber hukum menurut hukum positif di Indonesia dan menurut syari’at Islam !








Hand Out Ilmu Hukum
Oleh : H.M.Aiz Muhadjirin,SH,MH
Pertemuan IX
Teori-Teori Hukum
Pendahuluan
Untuk dapat memahami hukum secara utuh dan komprehensif tidak hanya dibutuhkan pemahaman terhadap makna dan penjabaran arti kata hukum semata, namun dituntut lebih luas lagi, yakni mengetahui berbagai teori hukum yang tertuang dalam ranah filsafat. Berdasarkan hal tersebut dibawah ini akan diuraikan beberapa teori hukum.
1. Hukum Alam
Huijbers (1995:82) membedakan penggunaan istilah hukum alam dengan hukum kodrat. Hal ini didasarkan atas perbedaan penggunaan istilah yang bermuara pada perbedaan arti. Huijbers lebih condrong menggunakan istilah latin lex naturalis yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan natural law atau hukum kodrat dibanding dengan istilah latin lex naturae yang diartikan dengan law of nature atau hukum alam.
Pemikiran mengenai hukum alam dapat ditelusuri dengan pengenalan hukum alam dalam pandangan mithologis, theologies maupun perkembangan selanjutnya dalam pandangan rasional. Aliran hukum alam telah berkembang sejak kurun waktu 2500 tahun yang lalu dan muncul sebagai bentuk pemikiran. Sejarah hukum alam dimulai ketika bangsa Yunani mengenal suatu hukum ketuhanan yang berada di atas lembaga-lembaga manusia. Di atas dunia manusia bertahta dewa-dewi. Akal manusia memungkinkan untuk mengenal dewa dewi. Dewa-dewi sendiri harus tunduk pada undang-undang abadi yang disebut “moira”.
Dasar gagasan hukum alam ada pada asumsi bahwa melalui penalaran, hakikat mahluk hidup akan dapat diketahui, dan pengetahuan itu mungkin menjadi dasar bagi tertib sosial serta tertib hukum eksistensi manusia. Hukum alam dianggap lebih tinggi dari hukum yang sengaja dibentuk oleh manusia. Menurut Friedmann sejarah tentang hukum alam merupakan sejarah umat manusia dalam usahanya untuk menemukan apa yang dinamakan keadilan yang mutlak (absolute justice). Selain itu ditinjau dari sumbernya, hukum alam dibedakan menjadi 2 yaitu : Hukum alam yang bersumber dari Tuhan (Irasional), dan Hukum alam yang bersumber dari akal manusia (Rasional). Pendukung aliran hukum alam irasional aialah Thomas Aquinas, John Salisbury, Dante, Piere Dubois, Marsilius Padua dan John Wycliffe. Adapun pendukung rasional ialah Hugo de Groot, Immanuel Kant, Christian Thomasius dan Samuel von Pufendorf.
2. Positivisme
Teori ini dikembangkan August Comte, seorang sarjana Perancis (1798-1857). Menurut para pendukung teori ini atau dikenal dengan positivis bahwa hukum positiflah yang berlaku; dan hukum positif di sini adalah norma-norma yudisial yang dibangun oleh otoritas negara. Ia juga menekankan pemisahan ketat hukum positif dari etika dan kebijaksanaan sosial dan cenderung mengidentifikasikan keadilan dengan legalitas, yaitu ketaatan kepada aturan-aturan yang ditentukan oleh negara. Positivisme hukum ada 2 bentuk, yaitu positivisme yuridis dan positivisme sosiologis.
Selain itu, dalam teori ini dikenal pula pembagian yang lain, yaitu positivisme analitik dan positivisme pragmatik.
Positivisme analitik dipelopori oleh John Austin (1790-1859) seorang yuris Inggris yang mendefinisikan hukum sebagai suatu aturan yang ditemukan untuk membimbing mahluk berakal oleh mahluk berakal yang telah memiliki kekuatan mengalahkannya. Sehingga karenanya hukum yang dipisahkan dari keadilan dan sebagai gantinya didasarkan pad aide-ide baik dan buruk dilandaskan pada kekuasaan yang tertinggi.(Freidmann, 1990:258). Menurut Austin, hukum dibedakan menjadi 2, yaitu hukum Allah yang merupakan suatu moral hidup daripada hukum dalam arti sejati, dan hukum manusia yakni segala peraturan yang dibuat oleh manusia sendiri.
Adapun positivisme pragmatik melihat hukum sebagai sesuatu yang harus ditentukan oleh fakta-fakta sosial yang berarti sebuah konsepsi hukum dalam perubahan terus menerus dan konsep masyarakat yang berubah lebih cepat dibandingkan dengan hukum.

3. Teori Hukum Murni (Pure Theory of Law)
Pembahasan utama Hans Kelsen, sebagai pelopor teori ini adalah untuk membebaskan ilmu hukum dari unsur-unsur ideologis. Menurut Kelsen teori hukum murni berusaha untuk menjawab pertanyaan “apa hukum itu?” tetapi bukan pertanyaan “apa hukum itu seharusnya?”. Teori ini mengkonsentrasikan diri pada hukum semata-mata dan berusaha melepaskan ilmu pengetahuan hukum dari campur tangan ilmu pengetahuan asing seperti psikologi dan etika.
4. Hukum berlandaskan wahyu
Menurut As Syatibi, Islam telah mensyariatkan berbagai hukum yang menjamin terwujudnya hal-hal dharuri (primer) yang meliputi agama, jiwa (al-muhafadzah ‘ala an-nafs), akal (al-muhafadzah ‘ala al ‘aql), kehormatan (al-muhafadzah ‘ala an-nasl), dan harta kekayaan (al-muhafadzah ‘ala al-mal); serta menjamin pemeliharaan terhadap kelima hal tersebut.













Hand Out Ilmu Hukum
Oleh : H.M.Aiz Muhadjirin,SH,MH
Pertemuan X
Bidang Studi Hukum (Lanjutan)

A. Sejarah Hukum
Sumbangan Von Savigny sebagai “Bapak Sejarah Hukum” telah menghasilkan aliran historis (sejarah). Cabang ilmu ini lebih muda usianya dibandingkan dengan sosiologi hukum. Berkaitan dengan masalah ini Soedjono, D., menjelaskan bahwa : “Sejarah hukum adalah salah satu bidang studi hukum, yang mempelajari perkembangan dan asal usul sistem hukum dalam suatu masyarakat tertentu dan memperbandingkan antara
hukum yang berbeda karena dibatasi oleh perbedaan waktu. (Sudarsono, hal. 261). Demikian juga hal yang senada diungkapkan oleh Menteri Kehakiman dalam pidato sambutan dan pengarahan pada simposium Sejarah Hukum (Jakarta 1-3 April 1975) dimana dinyatakan bahwa :
“Perbincangan sejarah hukum mempunyai arti penting dalam rangka pembinaan hukum nasional, oleh karena usaha pembinaan hukum tidak saja memerlukan bahan-bahan tentang perkembangan hukum masa kini saja, akan tetapi juga bahan-bahan mengenai perkembangan dari masa lampau. Melalui sejarah hukum kita akan mampu menjajaki berbagai aspek hukum Indonesia pada masa yang lalu, hal mana akan dapat memberikan bantuan kepada kita untuk memahami kaidah-kaidah serta institusi-institusi hukum yang ada dewasa ini dalam masyarakat bangsa kita” (Soerjono Soekanto hal, 9).
Apa yang sejak lama disebut sejarah hukum, sebenarnya tak lain dari pada pertelaahan sejumlah peristiwa-peristiwa yuridis dari zaman dahulu yang disusun secara kronologis, jadi adalah kronik hukum. Dahulu sejarah hukum yang demikian itupun disebut “antiquiteiter”, suatu nama yang cocok benar. Sejarah adalah suatu proses, jadi bukan sesuatu yang berhenti, melainkan sesuatu yang bergerak; bukan mati, melainkan hidup.
Hukum sebagai gejala sejarah berarti tunduk pada pertumbuhan yang terus menerus. Pengertian tumbuh membuat dua arti yaitu perobahan dan stabilitas. Hukum tumbuh, berarti bahwa ada terdapat hubungan yang erat, sambung-menyambung atau hubungan yang tak terputus-putus antara hukum pada masa kini dan hukum pada masa lampau. Hukum pada masa kini dan hukum pada masa lampau merupakan satu kesatuan. Itu berarti, bahwa kita dapat mengerti hukum kita pada masa kini, hanya dengan penyelidikan sejarah, bahwa mempelajari hukum secara ilmu pengetahuan harus bersifat juga mempelajari sejarah. (Van Apeldroon, hal. 417). Misalnya saja penelitian yang dilakukan oleh Mohd. Koesno tentang hukum adat setelah Perang Dunia II melalui beberapa pentahapan (periodisasi). Secara kronologi perkembangan tersebut dibaginya dalam beberapa tahap,
yaitu :
1. Masa 1945-1950
2. Masa Undang-undang Dasar Sementara 1950
3. Masa 1959-1966
4. Masa 1966 - sekarang

Penetapan tersebut disertai analisis yang mendalam tentang kedudukan dan peranan hukum adat pada masa-masa tersebut. Mempelajari sejarah hukum memang bermanfaat, demikian yang dikatakan Macauly bahwa dengan mempelajari sejarah, sama faedahnya dengan membuat perjalanan ke negeri-negeri yang jauh : ia meluaskan penglihatan, memperbesar pandangan hidup kita. Juga dengan membuat perjalanan di negeri-negeri asing, sejarah mengenalkan kita dengan keadaan-keadaan yang sangat berlainan dari pada yang biasa kita kenal dan dengan demikian melihat, bahwa apa yang kini terdapat pada kita bukanlah satu satunya yang mungkin. (Sudarsono, hal. 254). Sebagai contoh adalah “ Misi Rahasia Tsar Peter”. Banyak sedikit, kita manusia semuanya condong menerima yang ada sebagai yang sewajarnya, juga dengan tiada kita sadari kita semua dikuasai oleh waktu yang lalu. Karena dilahirkan dalam sesuatu waktu, dalam sesuatu negara dan dalam sesuatu lingkungan, sedari kecil kita sama sekali biasa pada pelbagai pandangan dan pada pelbagai keadaan, sehingga biasanya timbul pada kita pertanyaan, apakah hal-hal tersebut ada sebagai mana mestinya? (Van Apeldroon, hal. 420). Penyelidikan sejarah membebaskan kita dari prasangka-prasangka, ia menyebabkan bahwa kita tidak begitu saja menerima yang ada sebagai hal yang demikian melainkan menghadapinya secara kritis. Makin sedikit kita mengenal waktu yang lalu, makin besar bahayanya kita dikuasainya. (Van Apeldroon, hal. 421). Sebagai contoh : “Tinjauan ulang sejarah serangan umum 1 Maret dan G. 30 S. PKI (Waspada, 3 Oktober 2000).
Penelitian sejarah pada umumnya dilakukan terhadap bahan-bahan tertulis maupun tidak tertulis yang biasanya dibedakan antara bahan-bahan primer, sekunder dan tersier.
Bahan-bahan primer, antara lain :
1. Dokumen, yaitu arsip, surat-surat, memoranda, pidato, laporan, pernyataan dari lembaga-lembaga resmi.
2. Bahan tertulis lain seperti catatan harian, laporan-laporan hasil wawancara yang dilakukan dan dibuat oleh wartawan.
3. Gambar-gambar atau potret
4. Rekaman.

Data suplementer pada bahan-bahan primer adalah antara lain : Oral Story dan Folk Story (khususnya yang tidak tertulis), kemudian benda-benda hasil penemuan arkeologis, bekas kota dan lain sebagainya.
Kemudian bahan-bahan sekunder :
1. Monograp
2. Bahan tertulis yang berupa bahan referensi
3. Ilmu-ilmu pembantu terhadap sejarah, misal : epigrafi, yaitu seloka atau sajak yang barisnya tidak banyak dan mengandung sindiran serta numismatis yaitu ilmu tentang maka uang.
Bahan-bahan tersebut dapat dimanfaatkan melalui beberapa tahap sebelum benar-benar menjadi sumber data sejarah. Penggolongan bukti-bukti tersebut tidak mutlak, bukti-bukti tersebut harus dilihat dengan kritis. Peneliti harus bertanya apakah bukti tersebut asli dan isinya dapat dipercayai, karena metode sejarah menggunakan akal yang teratur dan sistematis. Sebagai ilmu sosial dan ilmu budaya, sejarah menelaah aktivitas manusia dan peristiwa-peristiwanya yang terjadi pada masa lalu dalam keitannya dengan masa kini. Sebagai ahli sejarah, tidak harus puas dengan deskripsi saja dan harus berusaha untuk memakainya serta bagaimana prosesnya yang pusat perhatiannya
adalah uniknya dan khasnya peristiwa-peristiwa tersebut. Pada sejarah hukum umum yang menjadi ruang lingkupnya adalah perkembangan secara menyeluruh dari suatu hukum positif tertentu. Objek khususnya adalah sejarah pembentukan hukum atau pengaruh dari sumber-sumber hukum dalam arti formil pada peraturan-peraturan tertentu. Paradigma yang digunakan sebagai kerangka dasar penelitian adalah sumber-sumber hukum dalam arti formil yang mencakup :
1. Perundang-undangan.
2. Hukum kebiasaan.
3. Yurisprudensi.
4. Traktat.
5. Doktrin.
Masing-masing sumber tersebut ditelaah perkembangannya serta pengaruhnya terhadap pembentukan hukum (rechtvorming). Penelitian dapat dilakukan secara menyeluruh dan juga dapat dibatasi pada suatu sumber tertentu.
Kesimpulan :
Dari uraian diatas maka dapat penulis simpulkan bahwa salah satu kegunaan sejarah hukum adalah untuk mengungkapkan fakta-fakta hukum tentang masa lampau dalam kaitannya dengan masa kini. Hal di atas merupakan suatu proses, suatu kesatuan, dan satu kenyataan yang diahadapi, yang terpenting bagi ahli sejarah data dan bukti tersebut adalah harus tepat, cenderung mengikuti pentahapan yang sistematis, logika, jujur, kesadaran pada diri sendiri dan imajinasi yang kuat. Sejarah hukum dapat memberikan pandangan yang luas bagi kalangan hukum, karena hukum tidak mungkin berdiri sendiri, senantiasa dipengaruhi oleh berbagai aspek kehidupan lain dan juga mempengaruhinya. Hukum masa kini merupakan hasil perkembangan dari hukum masa lampau, dan hukum masa kini merupakan dasar bagi hukum masa mendatang. Sejarah hukum akan dapat melengkapi pengetahuan kalangan hukum mengenai hal-hal tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
1. Dr. Soerjono Soekanto, SH.MA, 1986, Pengantar Sejarah Hukum, Bandung,
Alumni.
2. Prof. Dr. Mr. L. J. Van Apeldroon, 2001, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, PT.
Pradnya Paramita.
3. Drs. Sudarsono, SH.M.Si, 2001, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Rineka
Cipta.
4. Prof. Warsani, SH, 2001, Bahan Kuliah.



B. Politik Hukum

HUKUM DAN POLITIK
Oleh: Oka Mahendra
Hukum dan politik merupakan subsistem dalam sistem kemasyarakatan. Masing-masing melaksanakan fungsi tertentu untuk menggerakkan sistem kemasyarakatan secara keseluruhan. Secara garis besar hukum berfungsi melakukan social control, dispute settlement dan social engeneering atau inovation.sedangkan fungsi politik meliputi pemeliharaan sistem dan adaptasi (socialization dan recruitment), konversi (rule making, rule aplication, rule adjudication, interestarticulation dan aggregation) dan fungsi kapabilitas (regulatif extractif, distributif dan responsif).
Virgina Held (etika Moral, 1989 106-123) secara panjang lebar membicarakan sistem hukum dan sistem politik dilihat dari sudut pandang etika dan moral. Ia melihat perbedaan diantara keduanya dari dasar pembenarannya. "Dasar pembenaran deontologis pada khususnya merupakan ciri dan layak bagi sistem hukum, sedangkan dasar pembenaran teleogis pada khususnya ciri dan layak bagi sistem politik. Argumentasi deontologis menilai suatu tindakan atas sifat hakekat dari tindakan yang bersangkutan, sedangkan argumentasi teleogis menilai suatu tindakan atas dasar konsekuensi tindakan tersebut. Apakah mendatangkan kebahagiaan atau menimbulkan penderitaan. Benar salahnya tindakan ditentukan oleh konseku ensi yang ditimbulkannya, tanpa memandang sifat hakekat yang semestinya ada pada tindakan itu.
Sistem hukum, kata Held lebih lanjut memikul tanggung jawab utama untuk menjamin dihormatinya hak dan dipenuhinya kewajiban yang timbul karena hak yang bersangkutan. Dan sasaran utama sistem politik ialah memuaskan kepentingan kolektif dan perorangan. Meskipun sistem hukum dan sistem politik dapat dibedakan, namun dalan bebagai hal sering bertumpang tindih. Dalam proses pembentukan Undang-undang oleh badan pembentuk Undang-undang misalnya. Proses tersebut dapat dimasukkan ke dalam sistem hukum dan juga ke dalam sistem politik, karena Undang-undang sebagai output merupakan formulasi yuridis dari kebijaksanaan politik dan proses pembentukannya sendiri digerakkan oleh proses politik.
Hukum dan politik sebagai subsistem kemasyarakatan adalah bersifat terbuka, karena itu keduanya saling mempengaruhi dan dipengaruhi ole subsistem lainnya maupun oleh sistem kemasyarakatan secara keseluruhan. Walaupun hukum dan politik mempunyai fungsi dan dasar pembenaran yang berbeda, namun keduanya tidak saling bertentangan. Tetapi saling melengkapi. Masing-masing memberikan kontribusi sesuai dengan fungsinya untuk menggerakkan sistem kemasyarakatan secara keseluruhan. Dalam masyarakat yang terbuka dan relatif stabil sistem hukum dan politiknya selalu dijaga keseimbangannya, di samping sistem-sitem lainnya yang ada dalam suatu masyarakat.
Hukum memberikan kompetensi untuk para pemegang kekuasaan politik berupa jabatan-jabatan dan wewenang sah untuk melakukan tindakan-tindakan politik bilamana perlu dengan menggunakan sarana pemaksa. Hukum merupakan pedoman yang mapan bagi kekuasan politik untuk mengambil keputusan dan tindakan-tindakan sebagai kerangka untuk rekayasa sosial secar tertib. Prof. Max Radin menyatakan bahwa hukum adalah teknik untuk mengemudikan suatu mekanisme sosial yang ruwet. Dilain pihak hukumtidak efektif kecuali bila mendapatkan pengakuan dan diberi sanksi oleh kekuasaan politik. Karena itu Maurice Duverger (Sosiologi Politik 1981:358) menyatakan: "hukum didefini- sikan oleh kekuasaan; dia terdiri dari tubuh undang-undang dan prosedur yang dibuat atau diakui oleh kekuasaan politik.
Hukum memberikan dasar legalitas bagi kekuasaan politik dan kekuasaan politik membuat hukum menjadi efektif. Atau dengan kata lain dapat dikemukakan bahwa hukum adalah kekuasaan yang diam dan politik adalah hukum yang in action dan kehadirannya dirasakan lebih nyata serta berpengaruh dalam kehidupan kemasyarakatan.
Hukum dan politik mempunyai kedudukan yang sejajar. Hukum tidak dapat ditafsirkan sebagai bagian dari sistem politik. Demikian juga sebaliknya. Realitas hubungan hukum dan politik tidak sepenuhnya ditentukan oleh prinsp-prinsip yang diatur dalam suatu sistem konstitusi, tetapi lebih dtentukan oleh komitmen rakyat dan elit politik untuk bersungguh-sungguh melaksanakan konstitusi tersebut sesuai dengan semangat dan jiwanya. Sebab suatu sistem konstitusi hanya mengasumsikan ditegakkannya prinsi-prinsip tertentu, tetapi tidak bisa secara otomatis mewujudkan prinsi-prinsip tersebut. Prinsip-prinsip obyektif dari sistem hukum (konstitusi) sering dicemari oleh kepentingan-kepentingan subyektif penguasa politik untuk memperkokoh posisi politiknya, sehingga prinsip-prinsip konstitusi jarang terwujud menjadi apa yang seharusnya, bahkan sering dimanipulasi atau diselewengkan.
Penyelewengan prinsi-prinsip hukum terjadi karena politik cenderung mengkonsentrasikan kekuasaan ditangannya dengan memonopoli alat-alat kekuasaan demi tercapainya kepentingan-kepentingan politik tertentu. Di samping itu seperti dicatat oleh Virginia Held (Etika Moral 1989; 144) keputusan-keputusan politik dapat bersifat sepenuhnya ekstra legal, selama orang-orang yang dipengaruhinya menerima sebagai berwenang. Jika keputusan seorang pemimpin, betapapun sewenang wenang ataupun tidak berhubungan dengan peraturan-peraturan tertentu, diterima oleh para pengikutnya, maka keputusan itu mempunyai kekuatan politik yang sah. Dengan memonopoli penggunaan alat-alat kekuasaan dan mengkondisikan penerimaan oleh masyarakat, maka politik mampu menciptakan kekuasaan efektif tanpa memerlukan legalitas hukum.
Hukum tidak ditempatkan pada posisi sentral protes input output sistem kemasyarakatan secara keseluruhan. Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, kita mengalami hubungan hukum dengan politik yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip yang diamanatkan dalam UUD 1945. Pembukaan UUD 1945 dengan jelas mengamanatkan susunan negara RI yang berkedaulatan rakyat . Dan penjelasan umum UUD 1945 mengenai sistem Pemerintahan Negara dengan gamblang menentukan antara lain bahwa Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtstaat) tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat) serta pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar) tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).
Di masa Orde Lama prinsip-prinsip tersebut diselewengkan. Kedaulatan tidak berada di tangan rakyat, tetapi berpindah ke tangan "Pemimpin Besar Revolusi". Hukum disubordinasikan pada politik Pemerintah berdasar atas sistem konstitusi dalam praktek menjadi pemerintahan berdasar Penetapan Presiden (Penpres) dan Peraturan Presiden (perpres). Hubungan hukum dan politik pada Orde Lama berjalan tidak seimbang. Hukum kehilangan wibawanya dan melorot peranannya menjadi pelayan kepentingan politik, karena waktu itu politik dinobatkan menjadi panglima. Orde Baru yang bangkit pada awal tahun 1966 melakukan koreksi terhadap berbagai penyelewengan yang terjadi pada masa Orde Lama dan bertekad mengembalikan tatanan kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan pada kemurnian pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945.
Hasil-hasil selama ini tampak nyata khususnya dalam penataan kembali kehidupan hukum dan politik sebagai pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Namun perlu dicatat pula bahwa dalam perjalanan waktu tampaknya godaan pragmatisme pembangunan sulit dikendalikan, di mana pencapaian sasaran-sasaran kuantitatif yang terukur dengan angka-angka statistik menjadi ukuran keberhasilan. Artinya dasar pembenaran teleogis dari politik yang mengedepan, tidak diimbangi oleh pembenaran deontologis dari sistem hukum yang menekankan pada prinsip-prinsip yang seharusnya ditegakkan berdasarkan konstitusi dan hukum.
Di samping itu kekuasaan tak jarang menampakkan wajahnya yang arogan dan tak terjangkau oleh kontrol hukum maupun rakyat melalui lembaga perwakilan. Padahal salah satu esensi dari negara yang berdasar atas hukum adalah bahwa kekuasaanpun mesti tunduk dan bertanggung jawab untuk mematuhi hukum. Kekuasaan politik yang dijalankan dengan menghormati hukum, merupakan yang dijalankan sesuai dengan kehendak rakyat yang berdaulat. Carol C Gould (Demokrasi ditinjau Kembali 1993: 244) menyatakan: "mematuhi hukum sebagai bagian dari kewajiban politik". Aturan hukum dan juga kehidupan sosial yang berperaturan berfungsi sebagai salah satu kondisi bagi kepelakuan. Hukum mencegah gangguan dan sekaligus menjaga stabilitas dan koordinasi kegiatan masyarakat. Dengan demikian memungkinkan tindakan orang lain dan membuat rencana masa depan.
Gejala mengutamakan pencapaian target dengan kurang mengindahkan prinsip-prinsip yang mesti ditegakkan dan arogansi kekuasaan apabila tidak segera diatasi merupakan kendala dalam merealisasikan komitmen Orde Baru untuk menegakkan konstitusi, demokrasi dan hukum. Untuk menegakkan konstitusi, demokrasi dan hukum tak cukup hanya dengan kemauan politik yang selalu dijadikan retorika, yang lebih penting adalah melakukan upaya nyata melaksanakan konstitusi, mengembangkan demokrasi dan membangun wibawa hukum dalam praktek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Hal itu akan menjadi realitas apabila sistem hukum dan politik berfungsi dengan baik menurut kewenangan-kewenangan sah yang diatur dalam konstitusi. Sistem check and balance akan terlaksana bila kekuasaan politik menghormati hukum dan dikontrol oleh rakyat secara efektif melalui lembaga perwakilan rakyat. Untuk mewujudkan lembaga hukum dan politik yang saling melengkapi memang diperlukan komitmen yang kuat dan kesungguhan melaksanakan demokratisasi dan penegakkan wibawa hukum. Semua itu bergantung kepada pemahaman dan tanggung jawab kita yang lebih dalam untuk memfungsikan lembaga hukum dan politik sesuai dengan jiwa dan semangat konstitusi, maupun dalam membangun budaya masyarakat yang kondusif untuk menegakkan prinsip-prinsip tersebut.***

C. Filsafat Hukum

Filsafat Hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis. Jadi obyek filsafat hukum adalah hukum, dan obyek tersebut dikaji secara mendalam sampai kepada inti atau dasarnya, yang disebut hakikat.
Seperti diungkapkan oleh Radhakrishnan dalam bukunya The History of Philosophy, manfaat mempelajari filsafat hukum bukan hanya sekedar mencerminkan semangat masa ketika ia hidup, melainkan membimbing kita untuk maju. Fungsi filsafat hendaknya mengilhamkan keyakinan kepada kita untuk menopang dunia baru, mencetak manusia-manusia yang tergolong ke dalam berbagai bangsa, ras, dan agama itu mengabdi kepada cita-cita mulia kemanusiaan. Filsafat tidak ada artinya sama sekali apabila tidak universal, baik dalam ruang lingkupnya maupun dalam semangatnya.(Poerwatana, 1988)

D. Psikologi Hukum

Psikologi hukum adalah cabang pengetahuan yang mempelajari hukum sebagai perwujudan dari perkembangan jiwa manuisa. Psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang perilaku manusia. Maka dalam kaitannya dengan studi hukum, ia akan melihat hukum sebagai salah satu dari pencerminan perilaku manusia. Suatu kenyataan bahwa salah satu yang menonjol pada hukum, terutama pada hukum modern, adalah penggunaannya secara sadar sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan yang dikehendaki. Dengan demikian sadar atau tidak sadar, hukum telah memasuki bidang psikologi, terutama psikologi sosial (Soedjono,1983).








Hand Out Ilmu Hukum
Oleh :H.M.Aiz Muhadjirin,SH,MH
Pertemuan XI

PENEGAKAN HUKUM;
KESADARAN, KEPATUHAN DAN KEBERLAKUAN HUKUM
· J.J. Von Schmid (1965) membedakan antara perasaan hukum dan kesadaran hukum. Menurutnya perasaan hukum aialah penilaian hukum yang timbul secara serta merta dari masyarakat. Sedangkan kesadaran hukum lebih banyak merupakan perumusan dari kalangan hukum mengenai penilaian tersebut yang telah dilakukannya secara ilmiah.
· Paul Scholten (1954) menyebutkan bahwa kesadaran hukum merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat dalam diri manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada.
· Bierstedt (1970) menyebutkan bahwa kesadaran hukum muncul karena didorong oleh sejauhmana kepatuhan kepada hukum yang didasari oleh: indoctrination, habituation,utility, dan group identification. Proses ini melalui internalisasi dalam diri manusia. Kadar internalisasi inilah yang kemudian memberikan motivasi yang kuat dalam diri manusia atas persoalan penegakan hukum.
· Soerjono Soekanto (1982,1993) menyatakan terdapat 4 indikator kesadaran hukum yang masing-masing merupakan suatu tahapan bagi tahapan selanjutnya, yaitu: pengetahuan hukum, pemahaman hukum, sikap hukum dan pola perilaku hukum. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum yaitu: faktor hukum (UU) nya sendiri, faktor penegakan hukum, faktor kesadaran hukum masyarakat, dan faktor kebudayaan.
Pembinaan kesadaran hukum dan budaya hukum masyarakat itu perlu dikembangkan, baik melalui saluran pendidikan masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya maupun melalui saluran media komunikasi massa dan sistem informasi yang menunjang upaya pemasyarakatan dan pembudayaan kesadaran hukum yang luas. Sudah saatnya semua pihak menanamkan keyakinan yang sunguh-sungguh mengenai pentingnya menempatkan hukum sebagai “kalimatun sawa’” atau ‘pegangan normatif’ tertinggi dalam kehidupan bersama.
Pengakuan terhadap sistem Hukum Islam sebagai bagian tak terpisahkan dari sistem hukum nasional, akan berdampak sangat positif terhadap upaya pembinaan hukum nasional. Setidak-tidaknya, kita dapat memastikan bahwa di kalangan sebagian terbesar masyarakat Indonesia yang akrab dengan nilai-nilai Islam, kesadaran kognitif dan pola perilaku mereka dapat dengan mudah memberikan dukungan terhadap norma-norma yang sesuai dengan kesadaran dalam menjalankan syari’at agama. Dengan demikian, pembinaan kesadaran hukum masyarakat dapat lebih mudah dilakukan dalam upaya membangun sistem supremasi hukum di masa yang akan datang. Hal itu akan sangat berbeda jika norma-norma hukum yang diberlakukan justru bersumber dan berasal dari luar kesadaran hukum masyarakat.
Pembenaran Filosofis dan Ketatanegaraan
Perkembangan ke arah adopsi yang makin luas terhadap sistem Hukum Islam yang bersesuaian dengan dinamika kesadaran hukum dalam masyarakat kita, yang dituangkan dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan serta diwujudkan dalam esensi kelembagaan hukum yang dikembangkan dapat dikaitkan pula dengan
dengan pertimbangan-pertimbangan yang bersifat filosofis dan ketatanegaraan. Secara umum dapat diakui bahwa UUD 1945 mengakui dan menganut ide ke-Tuhanan Yang Maha Esa dalam kehidupan bermasyarakat, berbanga dan bernegara. Ide Ketuhanan Yang Maha Esa itu tidak saja ditegaskan dalam rumusan Pembukaan UUD yang menyebut secara eksplisit adanya pengakuan ini, tetapi juga dengan tegas mencantumkan ide Ketuhanan Yang Maha Esa itu sebagai sila pertama dan utama dalam rumusan Pancasila. Bahkan, dalam Pasal 29 UUD 1945, ditegaskan pula bahwa Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dan dalam Pasal 9 ditentukan bahwa setiap Presiden dan Wakil Presiden sebelum memangku jabatan diwajibkan untuk bersumpah ‘Demi Allah’.
Ide Ke-Maha Esaan Tuhan itu bahkan dikaitkan pula dengan ide Ke-Maha Kuasaan Tuhan yang tidak lain merupakan gagasan Kedaulatan Tuhan dalam pemikiran kenegaraan Indonesia. Namun, prinsip Kedaulatan Tuhan itu berbeda dari paham teokrasi barat yang dijelmakan dalam kekuasaan Raja, maka dalam sistem pemikiran ketatanegaraan .
UNIVERSITAS ISLAM “45” BEKASI
FAKULTAS AGAMA ISLAM
SOAL UJIAN AKHIR SEMESTER GANJIL
TAHUN AKADEMIK 2007 / 2008
Mata Kuliah : Ilmu Hukum
Dosen : H.M.Aiz Muhadjirin,SH,MH
Semester : I (Satu)
Program Studi : Syariah
Hari/Tanggal : Selasa, 29 Januari 2008
Waktu : 13.00 – 14.30
Sifat Ujian : Close Book