Selasa, 22 Juli 2008

SISTEM PERBANKAN INDONESIA DALAM PERSPEKTIF
TEORI HUKUM ALAM
H.Muhammad Aiz,SH,MH

ABSTRACT

Indonesian banking law based on Law No.10 of 1998 is a product of politics that is concerned with the religion aspect. Most of Indonesian people are moslems. Syariah banking system is a solution. There is a relationship between law, politic, and religion. Domestic aspects such as historical, cultural, and religion backgrounds contribute a nuance in the legislation and application of syariah banking system. This article is to discuss the Indonesian banking law based on natural law theory perspective.

Pendahuluan
Fenomena perekonomian dunia telah berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan perkembangan jaman dan perubahan teknologi informasi yang berkembang pesat. Banyak nilai-nilai baru yang dibentuk namun sulit untuk menentukan mana yang benar dan mana salah, sehingga terkadang membawa kebaikan namun adakalanya menyesatkan. Globalisasi ekonomi yang diwarnai dengan bebasnya arus barang modal dan jasa, serta perdagangan antar negara, telah mengubah suasana kehidupan menjadi individualistis dan persaingan yang amat ketat.
Ketidakseimbangan ekonomi global, dan krisis ekonomi yang melanda Asia khususnya Indonesia adalah suatu bukti bahwa asumsi diatas salah total bahkan ada sesuatu yang tidak beres dengan sistem yang kita anut selama ini. Adanya kenyataan sejumlah besar bank ditutup, di-take-over, dan sebagian besar lainnya harus direkapitulasi dengan biaya ratusan trilliun rupiah dari uang negara yaitu sekitar 635 triliun rupiah, maka rasanya amatlah besar dosa kita bila tetap berdiam diri dan berpangku tangan tidak melakukan sesuatu untuk memperbaikinya.
Sekarang saatnya kita menunjukkan bahwa muamalah syariah dengan filosofi utama kemitraan dan kebersamaan (sharing) dalam profit dan risk dapat mewujudkan kegiatan ekonomi yang lebih adil dan transparan. Sekaligus pula membuktikan bahwa dengan sistem perbankan syariah, kita dapat menghilangkan wabah penyakit negative spread (keuntungan minus) dari dunia perbankan.
Sudah cukup lama umat Islam di seluruh dunia, termasuk di Indonesia mengharapkan munculnya sistem perekonomian yang berbasis pada nilai dan prinsip agama, atau yang lebih dikenal dengan istilah” syariah” (Islamic economic system) untuk dapat diaplikasikan dalam segenap aspek kehidupan bisnis dan transasksi umat.
Dalam tulisan ini akan dikemukakan berbagai aspek permasalahan dalam bidang perekonomian, khususnya perbankan yang mana merupakan jantungnya perekonomian sebuah negara, dalam kaitannya dengan perspektif Teori Hukum Alam (irasional). Peraturan perundang-undangan dalam dunia perbankan yang dibuat oleh Pemerintah tentunya bermuara kepada satu tujuan yaitu keadilan, dimana mengupayakan agar masyarakat secara keseluruhan, baik yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam kegiatan perbankan (pemilik bank dan nasabah) dapat merasakan manfaat yang pada akhirnya kesejahteraan masyarakat tersebut akan meningkat. Salah satu tujuan negara Indonesia sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 alenia ke-4 adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Untuk mencapai tujuan tersebut tentunya berbagai macam sumber dapat dijadikan rujukan, termasuk sudut pandang agama (Islam) yang merupakan salah satu bagian dari Teori Hukum Alam..
Ada sebagian anggota masyarakat, baik pakar maupun orang awam, yang beranggapan agama (Islam) tidak berurusan dengan dunia perbankan dan pasar uang. Hal ini disebabkan adanya asumsi bahwa agama (Islam) adalah dunia putih sedangkan bank dan pasar uang adalah dunia hitam yang penuh tipu daya dan kelicikan. Oleh karena itu tidaklah mengherankan bila pakar dan pelaku ekonomi melihat agama (Islam) dengan sistem nilai dan tatanan normatifnya (Al-Qur’an dan Hadits) sebagai faktor penghambat pembangunan (an obstacle to economic growth). Penganut paham liberalisme dan pragmatisme sempit ini menilai bahwa kegiatan ekonomi dan keuangan akan semakin meningkat dan berkembang bila dibebaskan dari nilai-nilai normatif dan rambu Ilahi.

Teori Hukum Alam.
Kepercayaan bahwa keadilan yang menjadi bagian integral dari hukum merupakan cahaya penuntun lahirnya teori Hukum Alam. Teori Hukum Alam sebenarnya telah berkembang sejak ribuan tahun yang lalu. Dilihat dari sejarahnya menurut Friedmann teori ini timbul karena kegagalan umat manusia dalam mencari keadilan yang absolut. Secara sederhana, Teori Hukum Alam dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu irasional dan rasional. (Darji Darmodihardjo & Shidarta,1996). Teori Hukum Alam yang irasional berpendapat bahwa hukum yang berlaku universal dan abadi bersumber dari Tuhan secara langsung Sedangkan yang rasional lebih mengedepankan rasio manusia sebagai sumber hukum tersebut.
Agama bagi manusia adalah sebagai satu kepercayaan. Konsep agama adalah amat luas menyelubungi keseluruhan corak hidup manusia. Manusia telah dicipta dengan akal sebagai alat untuk berpikir, dan agama sebagai pembimbing dalam berpikir itu. Dengan itu, konsep kepercayaan dan agama tidak boleh terpisah atau dipisahkan untuk mencari sesuatu jawapan mengenai kehidupan.
Hukum yang diperkenalkan Al-Qur'an bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, tapi merupakan bagian integral dari akidah. Akidah tentang Allah yang menciptakan alam semesta, mengaturnya, memeliharanya dan menjaganya sehingga segala makhluk itu menjalani kehidupannya masing-masing dengan baik dan melakukan fungsinya masing-masing dengan tertib. Hukum Allah meliputi segenap makhluk (alam semesta).
Salah seorang pendukung Teori Hukum Alam irasional adalah Thomas Aquinas., yang mendasarkan pemikirannya dengan persoalan teologia. Menurutnya ada pengetahuan yang tidak dapat ditembus oleh akal, dan untuk itulah diperlukan iman.Ia juga mengakui bahwa disamping kebenaran wahyu juga terdapat kebenaran akal. Berbicara tentang hukum, Aquinas mendefinisikannya sebagai ketentuan akal untuk kebaikan umum, yang dibuat oleh orang yang mengurus masyarakat. Menurutnya ada 4 macam hukum, yaitu : (1) lex aeterna (hukum rasio Tuhan yang tidak dapat ditangkap oleh pancaindera manusia, (2) lex divina (hukum rasio Tuhan yang dapat ditangkap oleh pancaindera manusia, (3) lex naturalis ( hukum alam, yaitu penjelmaan lex aeterna ke dalam rasio manusia), dan (4) lex positivis (penerapan lex naturalis ke dalam kehidupan manusia di dunia). Secara lebih lengkap Friedmann menggambarkan pemikiran Aquinas sebagai berikut :
“Sejak dunia diatur oleh ketentuan-ketentuan yang ditetapkan Tuhan, seluruh masyarakat di alam semesta daitur oleh akal yang berasal dari Tuhan. Hukum Tuhan berada di atas segalanya. Sekalipun demikian, tidak seluruh hukum Tuhan dapat diperoleh manusia. Bagian semacam ini dapat dimengerti oleh manusia dan diungkapkan melalui hukum abadi sebagai penjelmaan kearifan Tuhan yang mengatur segala tindakan dan pergerakan. Manusia sebagai mahluk yang berakal menerapkan bagian dari hukum Tuhan sehingga dapat membedakan yang baik dan yang buruk. Hukum manusia merupakan bagian dan bidang kecil dari kekuasaan Tuhan.”(Darji Darmodihardjo & Shidarta, 1996 ).

Jika Aquinas mengakui kemampuan rasio manusia untuk mengungkapkan kebenaran, maka filusuf lainnya, Occam berpendapat rasio manusia tidak dapat memastikan kebenaran sehingga diperlukan keyakinan akan suatu kepercayaan (iman). Para penganut Teori Hukum Alam menemukan basis hukumnya adalah sesuatu di luar kontrol manusia atau sesuatu yang mengikat pembuat hukum baik individual maupun kelompok dan memaksakan apakal kita suka atau tidak. Dalam kenyataan di zaman modern saat ini agama akan semakin penting untuk menjadi pedoman dalam beraktivitas sehingga “kegersangan” hati akan tersirami nilai-nilai ketuhanan yang tercermin dalam peraturan perundang-undangan.
Joseph Schumpeter menyebut dua kontribusi ekonom scholastic, yaitu penemuan kembali tulisan-tulisan Aristoteles dan “Towering Achievement” St. Thomas Aquinas. Schumpeter hanya menulis tiga baris dalam catatan kakinya nama Ibnu Rusyd dalam kaitan proses transmisi pemikiran-pemikiran Aristoteles ke Aquinas. Pemikiran-pemikiran Aquinas sendiri bnayk yang bertentangan dengan dogma-dogma gereja, sehingga para sejarahwan menduga bahwa Aquinas mencuri ide-ide tersebut dari para ekonom Islam. Menurut Harris, tanpa pengaruh peripatetisisme orang Arab, teologi Aquinas sama sekali tak terpahami seperti filsafatnya (C.R.S. Harris & Dunn Scotus, 1959).
Sebuah ajaran yang melandaskan kepada nilai-nilai agama dalam perjalanan waktu tidak akan pernah punah selama masih ada manusia yang meyakini terhadap nilai –nilai agama tersebut. Di Indonesia Teori Hukum Alam Irasional mendapatkan tempat tersendiri di hati sebagian masyarakat, tak terkecuali umat Islam. Apabila kita melihat sejarah negara Indonesia yang pernah dijajah oleh Belanda, maka akan dapat terlihat nilai-nilai agama (kristen) dalam berbagai macam bentuk peraturan yang dibuat oleh penjajah Belanda sebagai salah satu pedomannya. Dalam sejarah kemerdekaan negara Indonesia tidak sedikit nilai-nilai agama yang dijadikan sumber peraturan perundang-undangan. Tidak hanya sampai di taraf peraturan, bahkan
dasar negara Republik Indonesia yakni Pancasila memasukan nilai agama tersebut pada tingkatan yang tertinggi, sebagaimana tertulis dalam sila pertama”Ketuhanan Yang Maha Esa”. Selain yang tertulis dalam Pancasila, nilai-nilai agama juga masih dapat terlihat dalam Pembukaan UUD 1945. Dengan demikian negara Indonesia terlahir penuh dengan nilai-nilai agama di dalamnya.
Di samping hal-hal yang bersifat sebagai “Grundnorm” nilai agama pun telah menyentuh berbagai aspek kehidupan masyarakat di Indonesia. Mulai dari masalah hubungan kekeluargaan seperti perkawinan, perceraian dan lain-lain, sampai masalah lingkungan, keuangan dan bisnis. Dalam bidang keuangan dan bisnis nilai-nilai agama (Islam) telah memasuki bidang tersebut, sebagai contoh di bidang asuransi, perbankan, pajak (zakat) dan lainnya.
Dalam agama Islam, secara umum tugas kekhalifahan manusia adalah tugas untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan dalam kehidupan serta tugas pengabdian atau ibadah dalam arti luas. Untuk menunaikan tugas tersebut, Allah memberi manusia dua anugrah, yaitu “sistem kehidupan” dan “sarana kehidupan”. Sistem kehidupan adalah seluruh aturan kehidupan manusia yang bersumber pada Al Qur’an dan Hadits. Aturan tersebut berbentuk keharusan melakukan atau sebaiknya melakukan sesuatu, juga dalam bentuk larangan melakukan sesuatu atau sebaiknya menoinggalkan sesuatu. Aturan-aturan tersebut dimaksudkan untuk menjamin keselamatan manusia sepanjang hidupnya, baik yang menyangkut keselamatan agama, keselamatan diri, keselamatan akal, keselamatan harta benda, maupun keselamatan keturunan.
Pelaksanaan Islam sebagai way of life secara konsisten dalam semua kegiatan kehidupan, akan melahirkan sebuah tatanan kehidupan yang baik. Sebaliknya, menolak aturan itu atau sama sekali tidak memiliki keinginan untuk mengaplikasikannya dalam kehidupan, akan melahirkan kekacauan dalam kehidupan sekarang maupun yang akan datang.
Teori-teori ekonomi modern, termasuk perbankan, sebenarnya merupakan teori-teori yang yang ditulis oleh para ekonom muslim pada zaman kejayaan Islam. Tentunya teori-teori tersebut tidak terlepas daripada nilai-nilai agama Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits. Namun sayangnya hal ini tidak diketahui oleh masyarakat Islam itu sendiri, karena para ekonom barat yang melakukan plagiat tersebut sama sekali tidak menyebut referensinya berasal dari kitab-kitab klasik keilmuan Islam.(Zainul Arifin, 2000).
Josep Schumpeter mengatakan adanya great gap dalam sejarah pemikiran ekonomi selama lebih dari 500 tahun, yaitu masa yang dikenal sebagai Dark Ages. Masa kegelapan barat tersebut sebenarnya adalah masa kegemilangan Islam, suatu kenyataan yang berusaha mereka tutup-tutupi karena pemikiran-pemikiran ekonomi Islam pada waktu itu yang kemudian banyak dicuri oleh para ekonom barat. (Zainul Arifin,2000).
Para ekonom Islam sendiri mengakui banyak membaca dan dipengaruhi oleh tulisan-tulisan Aristoteles sebagai filusuf yang banyak menulis masalah-masalah ekonomi, namun tetap menjadikan Al Qur'an dan Hadits sebagai rujukan utama mereka dalam menulis teori-teori ekonomi Islam. Beberapa institusi ekonomi yang ditiru oleh barat dari dunia Islam antara lain ialah Syirkah (serikat dagang), Suftaja (bills of exchange), Hawala (letters of credit), Funduq (specialized large scale commercial institutions and markets which developed into virtual stock exchange) (Subhi Labib, 1969).
Konsep Islam dalam berekonomi telah mengalami masa kemunduran yang cukup panjang sejak zaman keemasannya. Proses kemunduran itu sendiri – boleh dikatakan akibat adanya ‘pemarginalan’ atau ‘pembusukan’ sistematis dari dalam -- konsep ekonomi Islam yang berlangsung seiring kemunduran peradaban Islam di atas muka bumi. Yaitu suatu titik balik dari kemajuan luar biasa yang pernah dicapai pada masa lalu yang kemudian masih redup perkembangannya hingga awal millenium ketiga ini.
Kemunduran ekonomi umat Islam di permukaan bumi ini sebenarnya berlangsung beriringan dengan lahirnya mazhab ekonomi kapitalistik yang menawarkan konsep pemujaan terhadap materialisme – saluran yang sangat pas dengan kebutuhan nafsu pemanjaan selera kemanusiawian dan syahwat harta-benda -- dengan tanpa atau longgarnya kendali moralitas agama (iman). Dengan kata lain, ‘candu’ kapitalistik bukanlah konsep yang lahir dari sebuah kesadaran keyakinan (iman) terhadap ajaran-ajaran yang bersumber dari wahyu sebagaimana halnya konsep berekonomi dalam Islam.
Bahwa mazhab ekonomi kapitalistik yang lahir dari kesadaran pemberhalaan syahwat materialisme masyarakat Barat selanjutnya mencapai perkembangan yang cukup pesat, dan berimplikasi negatif pada perkembangan praktek ekonomi yang menganut prinsip-prinsip Islam. Perkembangan ekonomi Islam yang pernah berjaya dan diyakini umat muslim sebagai jalan keselamatan hidupnya di dunia dan akhirat itu sekonyong-konyong ditinggalkan dan berubah menjadi ‘stigma’ keterbelakangan – sebagai biang ketertinggalan bagi peradaban modern yang disponsori Barat. Bahkan ia dituding sebagai tembok atau belenggu yang menghalangi umat manusia untuk meraih dan mengeksplorasi segala kenikmatan materialisme sepuas-puasnya di atas muka bumi ini dengan segala cara (immoralitas). Perkembangan ekonomi kapitalistik menjadi semakin kuat akibat kondisi terbalik yang sedang dihadapi masyarakat muslim dunia. Kaum intelektual dan ahli pikir muslim sendiri waktu itu sedang mengalami masa kemunduran. Perkembangan pemikiran-pemikiran yang ada di kalangan intelektual dan cendekiawan muslim pun mengalami masa stagnasi yang cukup panjang sehingga menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran berekonomi dan etos bekerja sesuai ajaran Islam.
Sejak awal kelahirannya bank syariah dilandasi dengan kehadiran dua gerakan renaissance Islam Modern: neorevivalis dan modernis, tujuan utama dari pendirian lembaga keuangan berlandaskan etika ini, tiada lain sebagai upaya kaum muslimin untuk mendasari segenap aspek kehidupan ekonominya berlandaskan Al-Qur’an dan Hadits. Upaya awal penerapan sistem profit dan loss sharing tercatat di Pakistan dan Malaysia sekitar tahun 1940-an, yaitu adanya upaya mengelola dana jamaah haji secara non-konvensional. Rintisan institusional lainnya adalah Islamic Rural Bank di desa Mit Ghamr pada tahun 1963 di Kairo, Mesir.
Di Indonesia perkembangan pemikiran-pemikiran tentang perlunya menerapkan prinsip Islam dalam berekonomi baru terdengar pada 1974. Tepatnya dimulai dalam sebuah seminar ‘Hubungan Indonesia-Timur Tengah’ yang diselenggarakan oleh Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan (LSIK). Perkembangan pemikiran tentang perlunya umat Islam Indonesia memiliki lembaga keuangan Islam sendiri mulai berhembus sejak itu, seiring munculnya kesadaran baru kaum intelektual dan cendekiawan muslim dalam memberdayakan ekonomi masyarakat. Pada awalnya memang sempat terjadi perdebatan yang melelahkan mengenai hukum bunga Bank dan hukum zakat vs pajak di kalangan para ulama, cendekiawan dan intelektual muslim.
Nilai-nilai agama yang hendak di transformasikan ke dalam bentuk perundang-undangan bukan lah sebagai hambatan untuk mengembangkan pola pikir dari manusia itu sendiri. Namun yang lebih penting adalah bahwa bagi masyarakat Indonesia saat ini masih meyakini bahwa dengan mempersatukan kedua hal tersebut diharapkan keadilan dan kesejateraan menjadi keniscayaan yang dapat segera terwujud.
Berdasarkan hal tersebut maka perkembangan negara Indonesia baik dilihat dari masyarakat maupun perangkat peraturan tidak pernah lepas dari ajaran yang berbasiskan kepada nilai ketuhanan, yang merupakan salah satu pedoman dalam Teori Hukum Alam.

Penutup
Berdasarkan pemaparan di atas, ternyata Teori Hukum Alam irasional (yang berbasiskan kepada nilai-nilai agama Islam ) terus mengalami perkembangan di berbagai aspek kehidupan masyarakat. Dalam kaitannya dengan pembangunan di Indonesia, baik fisik maupun non fisik, teori ini tidak dapat diabaikan begitu saja, apalagi jika dilihat kultur masyarakat Indonesia yang agamis. Namun demikian perspektif Hukum Alam ini jangan sampai mematikan kesempatan manusia untuk dapat berpikir kritis dan obyektif. Jika sebuah fenomena tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat kiranya dapat dikaji dan di formulasikan dengan menggunakan pikiran manusia. Namun hasil dari kajian atau keputusan tersebut hendaknya tidak bertentangan dengan Hukum Alam (agama).
Bangsa Indonesia nampaknya tidak akan mungkin melepaskan diri dari keyakinan terhadap Hukum Alam. Seiring perjalanan waktu sejak mulai berdiri tahun 1945 sampai dengan tahun 2003 ini nilai-nilai agama selalu hadir dalam setiap kebijakan., termasuk dalam UU No. 10 Tahun 1998.


Daftar Pustaka
C.R.S. Harris & Dunn Scotus, The Humanities, Press of New York, 1959.

Darji Darmodihardjo, & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Edisi Revisi , Jakarta: Gramedia, 1996.

Subhi Labib, Capitalism in Medievel Islam, Journal of Economic History, Vol 29, 1969.

UU No 10 Tahun 1998 tentang Perubahan UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Zainul Arifin, Memahami Bank Syariah: Lingkup, Peluang, Tantangan dan Prospek, Jakarta : AlvaBet, 2000.

















PERUBAHAN SOSIAL DALAM DUNIA PERBANKAN INDONESIA
H.M.Aiz Muhadjirin,SH,MH *

Abstrak
Masyarakat muslim sebagai bagian terbesar dari komponen bangsa Indonesia memiliki kemampuan untuk menggerakan perubahan masyarakat secara menyeluruh. Persoalan dunia perbankan yang semakin hari semakin tidak dapat dihindari dalam kehidupan bermasyarakat dianggap sebagai salah satu pokok persoalan yang harus disesuaikan dengan norma agama seiring dengan semakin tingginya kesadaran masyarakat akan norma agama (syari’ah) itu sendiri.

Pendahuluan
Pembentukan undang-undang merupakan salah satu bagian dari pembangunan hukum, khususnya pembangunan materi hukum. Salah satu konsep pembangunan hukum nasional adalah pembangunan hukum tertulis. Hukum tertulis merupakan bagian dari sistem hukum nasional dan secara konseptual pembangunan hukum tertulis dalam sistem hukum nasional mengacu kepada realitas sosial. Realitas masyarakat Indonesia dari tahun ke tahun sejak diproklamirkannya Negara Kesatuan Republik Indonesia telah mengalami berbagai macam perubahan, baik perubahan secara struktural maupun kultural.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang berisikan tentang perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan memuat beberapa perubahan dalam sistem perbankan Indonesia, yakni dengan diperkenalkannya sistem syariah. Selama Indonesia menjadi negara yang berdaulat sistem perbankan yang dikenal secara formal hanyalah sistem konvensional. Namun seiring dengan perkembangan masyarakat ternyata sistem konvensional dinilai tidak cukup mewakili kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dengan berkembangnya lembaga keuangan swasta yang menggunakan konsep syariah secara informal, seperti BMT ( Baitul Mal wa Tamwil ).
Perubahan masyarakat dalam dunia perbankan Indonesia dari hanya menggunakan sistem konvensional menjadi plus sistem syariah, yang diformalkan dengan lahirnya UU No.10 Tahun 1998 menjadi salah satu indikasi bahwa dunia perbankan Indonesia mengalami perubahan. Menurut Gilin dan Gilin :
“Perubahan-perubahan sosial sebagai satu variasi dari cara hidup yang diterima, baik karena perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat.” 1)
---------------------------------
1) Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Press, 1990, hal 337

Aspek Sosiologis Dalam UU No.10 Tahun 1998.
Apabila dilihat latar belakang lahirnya UU No.10 Tahun 1998 adalah dimulai dengan banyaknya cendikiawan ekonomi Islam yang mengkaji tentang sistem perbankan syariah yang telah dilaksanakan di negara-negara Islam lain. Diantara cendikiawan Islam tersebut antara lain M. Dawam Rahardjo, A.M Saefuddin, Karnaen A. Perwataatmadja, M. Amien Azis dan lain-lain yang telah membuat beberapa uji coba pada skala yang relatif terbatas, yakni BMT Salman di Bandung.2) Seiring perjalanan waktu, pada tahun 1990, Musyawarah Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan rekomendasi kepada Pemerintah untuk mendirikan bank dengan sistem syariah. Rekomendasi tersebut ditindak lanjuti oleh Pemerintah dengan mendirikan Bank Muammalat Indonesia pada tahun 1990 juga.
Dari uraian tersebut menunjukan pentingnya makna sosiologis dalam terciptanya UU No.10 Tahun 1998 yang memungkinkan sebuah bank menjalankan sistem konvensional dan syariah. Menurut Eugen Erlich, seorang tokoh aliran sosiological jurisprudence, hukum yang baik adalah hukum yang dirumuskan sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat ( living law ). Living law sebagai “inner order” dari masyarakat mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.3) Nilai-nilai yang hidup di masyarakat Indonesia dalam kaitannya dengan dunia perbankan adalah adanya kenyataan yang menunjukan bahwa masyarakat Indonesia mayoritas adalah beragama Islam. Nilai-nilai yang berlaku bagi mereka tentunya harus disesuaikan dengan ajaran agama Islam itu sendiri, dimana konsep bunga yang dipergunakan dalam sistem konvensional merupakan sesuatu yang dilarang. Keadaan seperti itu menjadi sebuah realita yang harus dihadapi oleh masyarakat sehingga menimbulkan kebingungan dan kebimbangan untuk memasuki dunia perbankan. Bahkan seorang cendikiawan muslim asal Timur Tengah , Maulana al-Maududi, mengatakan institusi bunga merupakan sumber bahaya dan kejahatan.4)
Apabila terlihat nilai-nilai Islam dalam UU No.10 Tahun 1998 sebenarnya bukan berarti nilai atau keyakinan yang lain tidak terakomodasi dalam undang-undang tersebut. Walaupun mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam tidak berarti sistem lain yang bukan berasal dari nilai Islam harus dihapus.
Hal ini disebabkan negara Indonesia adalah sebuah negara yang sangat majemuk dimana berbagai suku dan agama tergabung di dalamnya. Keadaan inilah yang terkadang menjadi persoalan dalam menentukan nilai masyarakat manakah yang dijadikan rujukan atau pedoman Menurut Northrop, sebagaimana dikutip oleh Mochtar Kusumaatmadja berpendapat bahwa dalam situasi konkrit, jalan praktis yang perlu ditempuh adalah.” …the best solution is that which shows the greatest sensitivity to all factors in the problematic situation..”5)
Kepentingan kelompok dan konflik nilai merupakan sisi sosiologis yang dominan dalam proses pembentukan setiap undang-undang. Rumusan pasal-pasal dalam sebuah Undang-undang ( termasuk dalam UU No.10 Tahun 1998 ) akan mencerminkan berbagai kepentingan kelompok dan nilai-nilai yang ada dimasyarakat tersebut. Oleh karena itu nilai dan kepentingan mempunyai pengaruh yang besar dalam mengambil keputusan terhadap rumusan akhir suatu ketentuan dalam undang-undang.
Dalam pembentukan peraturan pendekatan sosiologis adalah sesuatu yang mutlak diperlukan. Menurut Roman Tomasic, sebagaimana dikutip oleh Inosentius Samsul, secara teoritis ada beberapa teori yang berkaitan dengan nilai-nilai dalam masyarakat dan kepentingan kelompok, yaitu teori konflik (conflict theories), teori konsensus ( consensus theories ), teori pluralis ( pluralist theories ) dan teori elit penguasa ( power elit theories ).6) Pandangan teori-teori tersebut terhadap nilai masyarakat dan kepentingan kelompok adalah sebagai berikut :
· Teori konflik melihat peranan hukum sebagai sarana kontrol sosial dengan membatasi posisi dari suatu sistem nilai tertentu sehingga nilai-nilai tersebut tidak dapat berpengaruh dalam masyarakat. Dengan demikian nilai-nilai dari sistem masyarakat yang dikesampingkan tidak tertampung dalam rumusan peraturan perundang-undangan yang ada. Berdasarkan hal tersebut maka asumsi dasar bagi pemahaman masalah-masalah hukum adalah bahwa setiap masyarakat senantiasa mengalami perubahan sosial, konflik, paksaan oleh sejumlah anggota masyarakat terhadap masyarakat lainnya.
· Teori konsensus melihat tujuan dari hukum atau undang-undang yang dirumuskan untuk mengakomodasi sistem nilai yang berbeda dalam suatu masyarakat. Dengan demikian dalam teori ini membutuhkan upaya keras dalam mecoba menyatukan visi dari berbagai nilai yang ada.
· Teori pluralis berorientasi pada pengakuan terhadap keanekaragaman kepentingan dalam masyarakat. Implikasi dari pengakuan tersebut adalah bahwa dalam merumuskan peraturan perundang-undangan selalu berusaha agar undang-undang yang dibentuk merupakan hasil dari perumusan berbagai kepentingan kelompok yang beraneka ragam dalam masyarakat.
· Teori elit penguasa menformulasikan dan memperjuangkan agar kepentingan-kepentingan kelompok elit penguasa terlindungi dalam suatu undang-undang. Jadi tujuannya adalah untuk memperjuangkan kepentingan kelompok tertentu dan menyingkirkan kepentingan dari kelompok lainnya.
Dalam konteks negara Indonesia, pemberlakuan sistem syariah dalam perbankan nasional lebih mencerminkan kepada diperhatikannya nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Struktur sosial yang ditandai dengan keanekaragaman suku, adat istiadat dan agama memberikan corak pluralistis pada nilai yang ada di masyarakat Indonesia. Pilihan terhadap nilai dan kepentingan kelompok mana yang dapat diformulasikan dalam sebuah undang-undang merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Dalam kondisi yang pluralistis ini benturan nilai dan kepentingan sangat potensial untuk muncul ke permukaan dalalam pembentukan undang-undang. Dalam kondisi seperti ini pemikiran teori pluralis dengan konsep “unity diversity” mungkin dapat membantu untuk keluar dari benturan kepentingan dan nilai yang beraneka ragam.

Perubahan Masyarakat Perbankan Indonesia
Dengan diakuinya dinamika sebagai inti jiwa masyarakat, memunculkan perhatian yang besar terhadap masalah-masalah perubahan sosial dan kebudayaan dalam masyarakat. Masalah tersebut menjadi lebih penting lagi dalam hubungannya dengan pembangunan ekonomi yang tengah diusahakan dan dilakukan oleh kebanyakan negara-negara di dunia, termasuk Indonesia.
Dalam realitas kehidupan masyarakat Indonesia, yang berhubungan dengan dunia perbankan, lahirnya UU No.10 Tahun 1998 seolah-olah menjadi angin segar yang telah lama dinanti-nanti. Apabila selama ini hanya ada satu sistem dalam perbankan, yaitu konvensional, kini tidak demikian halnya. Sistem syariah yang baru diformalkan pada tahun 1998 tersebut secara langsung maupun tidak langsung telah merubah pola pikir masyarakat Indonesia tentang perbankan. Selama ini masyarakat hanya mengenal konsep bunga yang ditawarkan oleh sistem konvensional tersebut. Dengan adanya sistem syariah maka konsep bunga tidak lagi menjadi instrumen tunggal karena telah diimbangi dengan konsep bagi hasil. Sistem syariah ini tidak hanya sebatas merubah konsep bunga menjadi bagi hasil, namun berpengaruh juga terhadap instrumen perbankan lainnya seperti munculnya Dewan Pengawas Syariah, Badan Arbitrase Muammalat Indonesia (BAMUI) dan sebagainya, yang sebelumnya tidak ada. Selain itu pola pikir mayarakat dalam hal mencari keuntungan di bank juga mengalami perubahan. Mungkin selama ini keuntungan dari dana yang diinvestasikan di bank telah ditentukan besar keuntungan yang akan diraih tanpa melihat seberapa besar keuntungan yang sesungguhnya yang diperoleh bank. Kini hal tersebut telah berubah dengan konsep bagi hasil yang lebih mengedepankan pola bagi hasil dari keuntungan bank.
Perubahan masyarakat yang terjadi dalam dunia perbankan Indonesia dengan diberlakukannya UU No.10 Tahun 1998 secara teoritis dapat dikelompokan ke dalam perubahan cepat, perubahan besar, dan perubahan yang direncanakan atau dikehendaki ( intended change )7).
a. Perubahan cepat
Sistem syariah yang dilegalkan dengan UU No.10 Tahun 1998 sebenarnya dapat dikategorikan revolusi dalam dunia perbankan Indonesia, khususnya masyarakat yang beragama Islam yang merasa tidak puas dengan hanya ada satu sistem perbankan, yakni konvensional. Pemahaman revolusi tidak selalu dikaitkan denganwaktu yang cepat karena hal tersebut bersifat relatif. Namun paling tidak istilah revolusi dalam dunia perbankan Indonesia dapat dipahami dengan terjadinya perubahan menyangkut dasar atau sendi pokok kehidupan masyarakat, yaitu lembaga keuangan masyarakat (bank).
b. Perubahan besar
Perubahan sistem perbankan Indonesia merupakan perubahan yang akan membawa pengaruh besar terhadap masyarakat. Pelbagai lembaga kemasyarakatan akan ikut terpengaruh. Dalam pelaksanaan sistem syariah di Indonesia akan terlihat munculnya lembaga-lembaga lain yang berfungsi sebagai penunjang serta pelengkap dari sebab munculnya sistem syariah, seperti dengan adanya Dewan Pengawas Syariah ( DPS ), Dewan Syariah Nasional ( DSN ), dan Badan Arbitrase Muammalat Indonesia ( BAMUI ). Selain itu, di tengah masyarakat juga terjadi perubahan pola pikir mengenai perbankan itu sendiri. Perbankan yang selama ini diidentikan dengan dunia yang penuh dengan tipu daya, kini telah berubah menjadi dunia yang bersih karena telah mengikuti nilai-nilai yang hidup pada masyarakat dimana berdasrkan nilai agama.
c. Perubahan yang dikehendaki atau direncanakan ( intended change )
Perubahan dalam dunia perbankan Indonesia tidak terjadi secara mendadak, namun telah direncanakan dan memang dikehendaki. Apabila dilihat latar belakang diizinkannya pelaksanaan sistem syariah di Indonesia tentunya akan terlihat telah melalui tahap-tahap pengkajian yang sangat menyeluruh.
Dalam setiap perubahan yang dikehendaki ( intended change ) terdapat agent of change, yaitu seseorang atau sekelompok orang yang mendapat kepercayaan pimpinan lembaga kemasyarakatan. Agent of change memimpin masyarakat dalam mengubah sistem sosial. Apabila dikaitkan dengan perubahan sistem perbankan di Indonesia, maka tokoh-tokoh yang mencetuskan ide dilaksanakannya sistem syariah, yakni cendikiawan yang tergabung dalam MUI dapat dikelompokan sebagai agent of change. Melalui tahap kajian-kajian yang telah mereka lakukan sampai saat dilahirkannya UU No.10 Tahun 1998 merupakan langkah konkrit mereka telah bertindak sebagai agent of change.
UU No.10 Tahun 1998 dan perubahan masyarakat yang terjadi di Indonesia dalam dunia perbankan merupakan dua unsur atau faktor yang saling berhubungan. Dilihat dari faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut, maka UU tersebut jelas mempengaruhi perubahan masyarakat. Dengan demikian UU atau hukum tersebut dapat dikategorikan sebagai unsur independent. Sebelum UU tersebut lahir sebagian masyarakat tidak dapat menggunkan sistem syariah. Naum setelah berlakunya UU tersebut maka masyarakat Indonesia dikondisikan untuk mendapatkan sistem alternatif dalam perbankan. Ada beberapa faktor lain yang dapat mendorong jalannya proses perubahan dalam sistem perbankan Indonesia, yaitu :
· Kontak dengan kebudayaan lain
Proses yang menyangkut hal ini adalah difusi. Difusi adalah proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari individu kepada individu lainnya atau dari suatu masyarakat kepada masyarakat lainnya. Kontak dengan kebudayaan lain dapat dilihat bahwa pada awalnya sistem syariah dalam dunia perbankan telah dimulai di negara-negara Timur Tengah, dan kemudian dicoba untuk dipraktekan atau dilaksanakan di Indonesia. Dengan proses tersebut masyarakat Indonesia mampu menghimpun penemuan-penemuan baru yang telah dihasilkan. Dengan terjadinya difusi suatu penemuan baru yang telah diterima oleh masyarakat dapat diteruskan dan disebarkan kepada masyarakat luas. Proses tersebut merupakan pendorong pertumbuhan suatu kebudayaan dan ikut memperkaya kebudayaan masyarakat.
· Sistem pendidikan formal yang maju
Pendidikan mengajarkan kepada individu aneka ragam kemampuan. Pendidikan memberikan nilai-nilai tertentu bagi manusia, terutama dalam membuka pikirannya serta menerima hal-hal baru dan juga mengajarkan bagaimana berpikir secara obyektif, hal mana akan memberikan kemapuan untuk menilai aspek kebudayaan masyarakatnya akan dapat memenuhi kebutuhan jaman atau tidak.
· Penduduk yang heterogen
Masyarakat Indonesia yang terdiri dari kelompok-kelompok sosial yang mempunyai latar belakang kebudayaan berbeda, maupun ideologi yang berbeda mempermudah terjadinya perubahan dalam masyarakat
· Nilai bahwa manusia harus senantiasa berikhtiar untuk memperbaiki hidupnya
Performa dunia perbankan Indonesia yang terpuruk di akhir tahun 90-an telah menjadi tonggak hadirnya perubahan di dunia perbankan Indonesia. Disadari atau tidak disadari. Bahwa sebagian masyarakat berasumsi serta berharap dengan diperkenalkannya sistem syariah maka kehidupan dunia perbankan akan menjadi lebih baik.
Proses perubahan sosial tidak dapat berjalan tanpa melalui saluran perubahan sosial ( chanel of change ). Pada umumnya saluran-saluran tersebut adalah lembaga kemasyarakatan bidang pemerintahan, ekonomi, penduduk, agama dan lain-lain. Lembaga yang menjadi titik tolak tergantung pada kultural fokus masyarakat pada masa tertentu. Lembaga kemasyarakatan yang pada suatu waktu mendapatkan penilaian tertinggi dari masyarakat cenderung untuk menjadi saluran utama perubahan sosial dan kebudayaan. Perubahan lembaga kemasyarakatan tersebut akan membawa akibat pada lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya, karena lembaga-lembaga tersebut merupakan suatu sistem yang terintegrasi.
Demikian pula halnya dengan perubahan dalam dunia perbankan Indonesia, tanpa melalui saluran-saluran perubahan maka mustahil sistem syariah dapat diterima dan dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia. Meskipun secara keyakinan masyarakat Indonesia yang beragama Islam mendukung hal tersebut, namun karena tidak adanya salurannya mereka tidak dapat melaksanakan dan memanfaatkannya. Di samping itu pula unsur lainnya adalah adanya kemauan Pemerintah ( political will ) untuk menciptakan peraturan atau undang-undang mengenai hal tersebut. Apabila lembaga kemsyarakatan tersebut sebagai suatu sistem sosial, maka dapat dikategorikan sebagai berikut :
· Organisasi politik : Peranan Pemerintah bersama dengan wakil rakyat di DPR sangatlah dominan dalam rangka memunculkan aturan yang melandasi proses perubahan itu sendiri. Dalam hal ini lahirnya UU No. 10 Tahun 1998 merupakan suatu pedoman bagi lembaga kemasyarakatan lainnya untuk melakukan aktivitas yang berhubungan dengan proses perubahan sosial di bidang perbankan.Dalam rangka mencetuskan pedoman bagi proses perubahan sosial, seyogyanya Pemerintah bersama DPR harus dapat bersifat aspiratif dalam menghadapi berbagai macam kepentingan serta nilai-nilai di masyarakat Selain menyediakan perangkat perundang-undangan Pemerintah dalam hal ini harus pula dapat menetralisasi faktor-faktor kemasyarakatan yang mengalami perubahan dan perkembangan..
· Organisasi ekonomi : Perubahan sosial yang dimunculkan dari UU No. 10 Tahun 1998 adalah perubahan di bidang ekonomi. Oleh karena itu organisasi ekonomi merupakan “ujung tombak” dari pelaksanaan proses perubahan sosial tersebut. Dan karenanya pula diperlukan lembaga ekonomi yang dapat mendukung berjalannya proses tersebut. Bank-bank yang berlandaskan sistem syariah mutlak harus dimunculkan. Selain dari pada bank syariah sebagai lembaga operasional dari proses perubahan di dunia perbankan Indonesia, maka lembaga atau badan ekonomi lain yang menunjang harus pula dihadirkan.
· Organisasi hukum : Perangkat-perangkat hukum dalam pelaksanaan proses perubahan sosial harus berbajalan berdampingan dalam upaya menjaga agar tidak sampai proses perubahan dalam dunia perbankan keluar dari jalur yang sudah ditetapkan. Oleh karenanya badan atau lembaga yang dipersiapkan untuk menyelesaikan masalah yang akan timbul di kemudian hari harus sudah diantisipasi. Untuk mengantisipasi kemungkinan tersebut, masyarakat bank-bank syariah serta para pengguna jasanya menyadari bahwa mereka tidak dapat mengandalkan instansi peradilan yang ada. Terlebih bahwa lembaga peradilan yang sekarang ada memiliki dasar-dasar hukum penyelesaian perkara yang berbeda dengan yang dikehendaki pihak-pihak yang terikat dalam akad syariah. Pengadilan Negeri tidak menggunkan syariah sebagai landasan hukum bagi penyelesaian perkara seperti itu, sedangkan wewenang Pengadilan Agama telah dibatasi UU No. 7 Tahun 1989. Institusi ini hanya dapat memeriksa dan mengadili perkara-perkara menyangkut perkawinan, warisan, waqaf, hibah, dan sedekah. Peradilan Agama tidak dapat memeriksa dan mengadili perkara-perkara di luar kelima bidang tersebut. Keberadaan Badan Arbitrase Muammalah Indonesia (BAMUI) sangat tepat dalam upaya menjawab tantangan tersebut. Hal demekian kiranya akan dapat mendukung pertumbuhan bank syariah, sebagai lukomotif perubahan sosial dalam bidang perbankan, yang mulai marak dewasa ini. Seperangkat konsep pun harus telah disusun untuk kepentingan tersebut. Perangkat ini menyangkut rancangan akta pendirian yayasan bagi pendirian lembaga tersebut., yang di dalamnya memuat anggaran rumah tangga yang merupakan kelengkapan anggaran dasar yayasan serta rancangan peraturan prosedur arbitrase, yang bila telah disahkan akan berlaku baik bagi para wasit dalam melaksanakan tugasnya menyelesaikan perkara-perkara maupun bagi para calon pengguna jasa lembaga dimaksud.
· Organisasi pendidikan : Faktor sosialisasi sangat penting dalam upaya untuk melakukan suatu perubahan sosial. Sosialisasi dapat dilakukan baik melalui jalur formal maupun non-formal. Lembaga-lembaga yang bergerak di bidang pendidikan dapat melakukan salah satu fungsinya yaitu memberikan pengetahuan atau sosialisasi tentang proses perubahan yang sedang terjadi dalam dunia perbankan kepada masyarakat luas. Dengan demikian masyarakat menjadi tahu proses apa yang sedang terjadi di sekeliling mereka .

Penyesuaian terhadap perubahan UU Perbankan
Keserasian atau harmoni dalam masyarakat merupakan keadaan yang diidam-idamkan setiap masyarakat. Dengan keserasian masyarakat dimaksudkan sebagai suatu keadaan dimana lembaga-lembaga kemasyarakatan yang pokok benar-benar berfungsi dan saling mengisi. Penyesuaian terhadap sistem perbankan yang baru dalam realitas masyarakat dapat dilakukan dengan cara melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Sosialisasi mutlak diperlukan dalam upaya mempersatukan pandangan terhadap sistem perbankan yang baru. Sosialisasi merupakan proses belajar anggota masyarakat untuk mengenal dan memahami sistem, tat nilai, dan budaya yang berlaku di masyarakat.8) Pengenalan dan pemahaman itu akan menjadi sempurna apabila mencakup semua latar belakang timbulnya sistem, tata nilai, dan budaya tersebut. Bertitik tolak dari pengertian tersebut maka sosialisasi lebih bersifat transformasi pemikiran daripada transformasi suatu pola kegiatan. Dengan demikian sosialisasi suatu sistem berarti harus lebih kepada proses transformasi pemikiran yang melandasi terwujudnya sistem itu, dibandingkan hanya sekedar pada cara bekerjanya sistem itu sendiri.
Usaha untuk melembagakan unsur baru, dalam hal ini sistem syariah, di tengah masyarakat menyangkut proses difusi yang merupakan proses penyebaran ide-ide baru ( sistem syariah ) hingga ide baru tersebut diterima atau diadpsi oleh masyarakat. Pengertian adopsi dalam arti sosiologis adalah keputusan untuk sepenuhnya mempergunakan atau memanfaatkan ide baru tersebut.9) Unsur-unsur yang cenderung lebih mudah untuk diadopsi adalah metode yang lebih baik dan menguntungkan bagi masyarakat yang mengadopsinya. Selain itu unsur-unsur yang serasi dengan norma serta nilai yang berlaku dan yang sifatnya lebih sederhana serta dapat dicoba secara berangsur-angsur. Ide baru tentang sistem syariah dapat mudah diterima oleh masyarakat apabila lebih mudah dimengerti melalui komunikasi yang sederhana.
“Kesuksesan” untuk melakukan perubahan dalam sistem perbankan di Indonesia yang ide awalnya dicetuskan oleh para cendikiawan yang tergabung dalam MUI telah sesuai dengan teori yang diutarakan oleh William M. Evan. Menurutnya ada 7 kondisi yang harus dipenuhi untuk terlaksananya suatu perubahan sosial.10) Dari beberapa kondisi tersebut antara lain diuatarakan bahwa sebuah hukum yang akan dijadikan sebuah instrumen perubahan sosial harus dapat diterima secara rasional dan sesuai dengan nilai-nilai masyarakat. Di sini dapat dibuktikan melalui realita yang ada bahwa memang secara rasional sistem syariah dapat dipertanggungjawabkan dan sangat menjunjung nilai-nilai moral masyarakat. Selain itu pula sistem syariah telah terbukti berhasil di negara-negara lain, seperti Mesir, Kuwait, bahkan Malaysia yang telah terlebih dahulu mempraktekannya. Lebih lanjut William M. Evan mengatakan :“…Law can affect behavior directly only through the process of institutionalization; if how ever, the institutionalization process is successful, it, in turn, facilitates the internalization of attitudes or beliefs”.11)
Sejak diundangkannya UU No.10 Tahun 1998 dimana mengizinkan bank untuk beroperasi dengan sistem syariah, maka dapat terlihat bahwa keberadaan bank yang melaksanakan sistem syariah mengalami kemajuan yang sangat berarti. Dilihat dari jumlah bank-bank swasta maupun pemerintah terlihat kenaikan jumlah yang signifikan. Apabila pada awalnya bank syariah identik dengan Bank Muammalat Indonesia, kini tidak lagi demikian. Saat ini bank-bank yang beroperasi dengan sistem syariah antara lain ialah Bank Syariah Mandiri, Bank IFI, Bank BNI 46, BPD Jabar, dan lainnya. Dilihat dari sudut jumlah nasabah yang bertransaksi di bank syariah maka secara otomatis juga mengalami pertambahan. Hal ini disebabkan para nasabah atau masyarakat sudah dapat mengakses bank-bank syariah dengan mudah, tidak seperti pada awal tahun 90-an dimana unit-unit bank syariah sulit untuk ditemui karena masih sedikit.
Penyesuaian terhadap sitem syariah di Indonesia tentunya diharapkan akan terus terjadi. Untuk mencapai tingkat penyesuaian yang diharapkan tentunya memerlukan waktu dan sosialisasi yang berkesinambungan. Hal ini sangat perlu karena sebagian besar masyarakat Indonesia selama ini masih belum dapat memanfaatkan institusi perbankan. Keadaan ini mungkin dapat dimengerti apabila sebagian besar masyarakat hidup di daerah-daerah yang terkadang belum terjangkau oleh .institusi keuangan tersebut.
Arah perubahan
Perubahan yang terjadi di tengah masyarakat adalah suatu keniscayaan yang selalu terjadi. Perubahan-perubahan tersebut bergerak meninggalkan faktor yang diubah. Mungkin perubahan itu bergerak menuju ke arah suatu bentuk yang baru sama sekali, atau justru bergerak kepada suatu yang sudah ada di masa lampau. Sesuatu yang sudah ada di masa lampau tersebut tentunya harus dikondisikan dengan masa sekarang. Konsep bagi hasil merupakan suatu sistem yang sudah dikenal sejak dahulu dalam ajaran Islam. Namun bukan berarti konsep yang sudah kuno tidak dapat beradaptasi dengan lembaga keuangan, seperti bank, di masa sekarang.
Sesuai dengan skema Zarqa, seperti dikutip oleh Zaenal Arifin, bahwa syariah ( Hukum Islam ) terdiri atas bidang ibadah dan muammalah.12) Ibadah merupakan sarana manusia untuk berhubungan dengan Tuhannya. Sedangkan muammalah digunakan sebagai aturan main manusia dalam berhubungan dengan sesamanya. Muammalah inilah yang menjadi subyek paling luas yang harus digali manusia dari masa ke masa, karena seiring dengan perkembangan kebutuhan hidup manusia akan senantiasa berubah. Perilaku kehidupan individu dan masyarakat ditujukan ke arah bagaimana cara pemenuhan kebutuhan mereka dilaksanakan dan bagaimana menggunakan sumber daya yang ada. Hal inilah yang menjadi subyek yang dipelajari dalam ekonomi Islam sehingga implikasi ekonomi yang dapat ditarik dari ajaran Islam berbeda dari ekonomi tradisional. Dan sesuai dengan konsep prinsip dan variabel, sistem ekonomi Islam yang dilakukan sebagai suatu variabel haruslah sesuai dengan prinsip-prinsip ekonomi Islam.
Dalam hal perubahan masyarakat Indonesia dalam dunia perbankan , sistem syariah sebenarnya bukanlah suatu sistem yang baru karena telah dipraktekan sejak dahulu. Pada kenyataannya sistem syariah tidak dipergunakan di Indonesia, padahal komposisi penduduk di Indonesia mendukung untuk dilaksanakannya sistem tersebut. Barulah setelah tahun 90-an muncul rekomendasi untuk mempergunakan sistem syariah masuk ke dalam kegiatan lembaga keuangan, yang dalam prakteknya tidak hanya terbatas kepada dunia perbankan tetapi juga telah merambah dunia pasar uang.
Arah perubahan yang hendak dituju oleh para cendikiawan pencetus atau penggagas sistem syariah di Indonesia adalah untuk mewujudkan masyarakat (Islam) yang benar-benar sesuai dengan tuntunan Ilahi dalam segala aktifitasnya. Secara lebih konkret perubahan ini juga mencakup aspek ekonomi yang sangat luas dan besar pengaruhnya. Sehingga pada saatnya nanti prinsip-prinsip ekonomi Islam dapat diterapkan oleh masyarakat. Dalam ekonomi Islam yang menjadi tujuan utama tidak hanya terbatas kepada mencapai Profit oriented (keuntungan materi) namun juga mengusahakan agar teciptanya falah oriented, yakni mencari kemakmuran di dunia dan kebahagiaan di akhirat
Dalam konteks hukum, perubahan UU Perbankan merupakan salah satu sarana yang telah dipersiapkan oleh Pemerintah untuk memudahkan serta memperlancar interaksi sosial dalam bidang perbankan. Interaksi sosial yang biasanya dilakukan dengan berdasarkan UU Perbankan yang lama, seringkali menimbulkan konflik bagi para pelakunya. Konflik yang kerapkali terjadi selama ini menjadi hilang dengan lahirnya UU No. 10 Tahun 1998 tersebut. Hal ini disebabkan oleh karena UU Perbankan yang baru tersebut menjadi sarana atau alat yang mendorong masyarakat untuk tidak takut dan khawatir dalam melakukan interaksi, dalam hal ini bertransaksi di bank. Lebih lanjut L.L Fuller mengatakan, sebagaimana dikutip oleh Soerjono Soekanto :
“To interact meaningfully men require a social setting in which he moves of the participating players fall generally within some predictable pattern. To engage in effective social behavior men need the support of intermeshing anticipations that will let them know what their opposite number will do, or what will at least enable them to gauge the general scope of the repertory from which responses to their actions will be drawn.”.13)
Jika interaksi sosial telah berjalan sebagaimana mestinya, maka pada saat itu telah terjadi perubahan pola perilaku masyarakat Indonesia, khususnya dalam dunia perbankan. Perubahan perilaku ini merupakan point yang sangat penting dalam konteks arah perubahan.



Penutup
Sebagai penutup tulisan ini, beberapa hal yang dapat digarisbawahi adalah bahwa masyarakat secara umum dapat dikategorikan dua macam, yang pertama adalah masyarakat statis dan yang kedua adalah masyarakat dinamis. Masyarakat statis dimaksudkan sebagai masyarakat yang sedikit sekali mengalami perubahan dan berjalan secara lambat. Sedangkan masyarakat dinamis adalah masyarakat yang mengalami berbagai perubahan yang cepat. Perubahan-perubahan bukanlah semata-mata berarti suatu kemajuan namun dapat pula berarti kemuduran dari bidang-bidang kehidupan tertentu.
Perubahan sosial ( Masyarakat ) adalah suatu keniscayaan yang harus terjadi, sehingga bukanlah sesuatu yang luar biasa apabila dalam bidang perbankan di Indonesia mengalami hal yang serupa. Namun demikian setiap perubahan yang terjadi hendaknya melalui saluran-saluran yang tepat, sehingga maksud dan tujuan dari agenda perubahan tersebut tercapai secara maksimal. Banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat berakhir di tengah jalan karena mengalami proses yang prematur dan melalui saluran yang tidak tepat . Untuk dapat melihat hasil dari suatu perubahan sosial, apakah positif atau justru negatif, maka tergantung kepada sinkronisasi antara efektifitas menanamkan unsur-unsur yang baru, kekuatan-kekuatan yang menentang dari masyarakat dan kecepatan menanamkan unsur-unsur yang baru dalam masyarakat.
Perubahan-prubahan masyarakat yang terjadi dalam bidang perekonomian, dengan adanya UU Perbankan yang baru tersebut akan mempunyai implikasi terhadap lembaga-lembaga kemsyarakatan di bidang lain. Hal tersebut sangatlah lumrah dimana lembaga-lembaga kemsyarakatan tersebut bersifat interdependen, maka sulit sekali untuk mengisolasi perubahan pada lembaga-lembaga tertentu saja yang pada akhirnya akan terjadi proses saling mempengaruhi secara timbal balik antara lembaga kemasyarakatan di bidang ekonomi dengan lembaga kemsyarakatan di bidang non ekonomi..
Dalam hubungannya dengan UU No. 10 tahun 1998 sebagai salah satu unsur terpenting dari proses perubahan dalam dunia perbankan di Indonesia, maka keberadaan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat merupakan basis sosial yang sangat menentukan “hidup tidaknya” UU tersebut di tengah masyarakat. Oleh karenanya dalam proses pembentukan UU tersebut, para pengambil keputusan, baik Pemerintah maupun DPR, perlu memahami nilai dan kepentingan yang ada dalam masyarakat agar nilai yang ada dapat tertampung dalam UU tersebut dan sekaligus dapat mengatasi benturan kepentingan berbagai kelompok masyarakat. Keanekaragaman suku, budaya, agama, struktur dan status sosial di Indonesia sangat potensial untuk terjadinya benturan nilai dan kepentingan dalam pembentukan UU. Dengan begitu majemuknya negara Indonesia, maka keberadaan suatu peraturan harus diikuti dengan proses sosialisasi di masyarakat. Betapun bagusnya suatu peraturan tanpa dipahami oleh masyarakat maka akan sia-sia.
Suatu proses perubahan sosial juga tidak selalu didominasi kepada sesuatu hal yang baru, karena mungkin saja proses perubahan berjalan ke arah suatu fenomena yang sudah ada sejak lama dan hendak dihidupkan kembali untuk memenuhi kebutuhan masyarakat itu sendiri. Dengan demikian maka perubahan sosial diperlukan untuk memenuhi setiap kebutuhan masyarakat, baik kebutuhan primernya yang mencakup masalah spiritual maupun material, serta kebutuhan sekundernya. Kebuthan masyarakat senantiasa berkembang, dan oleh sebab itu perubahan dibutuhkan untuk menyesuaikan diri dalam upaya menjawab tantangan yang dihadapinya, baik yang berasal dari lingkungan sosial maupun dari lingkungan alam.

Daftar Pustaka
Al Maududi, Abul A’la, Riba,1951.
Arifin, Zainal, Prinsip-prinsip Ekonomi Islam, www.Tazkia.com, Edisi 8 Februari 2002.
Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek, Gema Insani Press 2001.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990.
Kusumaatmadja, Mochtar, Hukum, Masyarakat Dan Pembinaan Hukum nasional, Bina Cipta, 1976,
Samsul, Inosentius, Aspek Nilai Dan Kepentingan Dalam Pembentukan Undang-Undang Suatu Tinjauan Sosiologis, Era Hukum Jurnal Ilmu Hukum, 1996,
Soekanto, Soerjono, Fungsi Hukum Dan Perubahan Sosial, Citra Aditya Bakti, 1991,
_______________, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Press, 1990.
Vago, Steven, Law And Society, Kumpulan Artikel Sosiologi Oleh Winarno Yudho .



2 ) Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek, Gema Insani Press 2001, hal 25.
3 ) Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat Dan Pembinaan Hukum nasional, Bina Cipta, 1976, hal 5.
4 ) Abul A’la al-Maududi, Riba, 1951.
5 ) Mochtar Kusumaatmadja, Op.Cit, hal 5.
6 ) Inosentius Samsul, Aspek Nilai Dan Kepentingan Dalam Pembentukan Undang-Undang Suatu Tinjauan Sosiologis, Era Hukum Jurnal Ilmu Hukum, 1996, hal 64.
7 ) Soerjono Soekanto, Op.Cit, hal 345-349.
8 ) Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990.
9 ) Soejono Soekanto, Fungsi Hukum Dan Perubahan Sosial, Citra Aditya Bakti, 1991, hal 28.
10 ) Steven Vago, Law And Society, Kumpulan Artikel Sosiologi Oleh Winarno Yudho, hal 591.
11 ) Ibid.
12 ) Zaenal Arifin, Prinsip-prinsip Ekonomi Islam, www.Tazkia.com, Edisi 8 Februari 2002.
13 Soerjono Soekanto, Op.Cit, hal 49.