Selasa, 06 Juli 2010

QUO VADIS PENDIDIKAN SEKS ?
Oleh : H.Muhammad Aiz,SH.,MH.
(Pengasuh Pondok Pesantren Annida Al islamy Bekasi)


Menjelang berakhirnya tahun pelajaran 2009-2010 ini, muncul sebuah wacana untuk memasukan pendidikan seks ke dalam kurikulum pendidikan di tingkat menengah pertama dan atas. Wacana yang terus dihembuskan oleh berbagai kalangan tersebut sedikit banyak menarik perhatian yang pada akhirnya menjadi bahan diskusi bagi para penentu kebijakan di ranah pendidikan. Degradasi moral di kalangan pelajar menjadi penyebab utama munculnya wacana tersebut.
Quo vadis yang berasal dari bahasa latin memiliki arti “kemana kau pergi?”. Kemunculan wacana perlunya pendidikan seks dijadikan sebagai mata pelajaran / kurikulum tersendiri meninggalkan pertanyaan yang mendasar ”kemana perginya pendidikan seks di tingkat pendidikan menengah selama ini? Pertanyaan ini pastinya akan direspon dengan berbagai pernyataan dalam perspektif yang berbeda-beda atau bahkan kepentingan sebagai bentuk jawaban.
Pendidikan seks dapat diartikan sebagai penerangan tentang anatomi fisiologi seks manusia,bahaya penyakit kelamin. Pendidikan seks adalah membimbing serta mengasuh seseorang agar mengerti tentang arti,fungsi,dan tujuan seks,sehingga ia dapat menyalurkan secara baik,benar,dan legal. Tujuan pendikan seks secara umum sesuai dengan kesepakatan interpersonal ”conference of sex education anfd family planning pada tahun 1962,adalah:”Untuk menghasilkan manusia-manusia dewasa yang dapat menjalankan kehidupan yang bahagia,serta bertanggung jawab terhadap dirinya dan terhadap orang lain.
Apabila kita membandingkan kurikulum pendidikan di Indonesia dengan kurikulum pendidikan di negara lain, maka kita akan melihat beberapa negara yang telah menjadikan pendidikan seks sebagai bagian kurikulum pendidikannya, seperti Inggris, Australia, Amerika Serikat dan Thailand. Berdasarkan data penelitian yang dilansir oleh WHO pada tahun 1998 justru implikasi dari pendidikan seks tersebut adalah positif dan tidak membahayakan. Jika hasil penelitian tersebut kita jadikan sebagai referensi untuk memberlakukan pendidikan seks dalam kurikulum pendidikan di Indonesia apakah harus menambah mata pelajaran baru atau membuang mata pelajaran yang sudah ada ? Dan jika harus membuang mata pelajaran, lalu mata pelajaran apakah yang dengan tega kita buang? Tentu pertanyaan-pertanyaan tersebut akan terus bergulir, mengingat kurikulum pendidikan di Indonesia termasuk kurikulum yang ”gemuk”.
Essensi Wacana Pendidikan Seks
Terciptanya manusia yang bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri maupun orang lain, baik di hadapan manusia maupun sang Kholik tentu merupakan cita-cita utama. Terjaganya karunia sang Pencipta dalam bentuk atau anatomi tubuh yang dianugerahkan kepada hambanya menjadi pesan penting yang harus mampu disampaikan atau ditransformasikan kepada setiap pelajar. Kekuatan untuk dapat menjaga karunia sang Raja Manusia berasal dari berbagai aspek kehidupan, baik pendidikannya maupun lingkungannya. Jadi apabila kita menggantungkan harapan setinggi langit pada kurikulum yang memasukan materi pendidikan seks, maka bersiaplah untuk kecewa. Hal ini disebabkan karena bukan materi pendidikan seks an sich yang dapat meng up grade moral para pelajar namun pemahaman yang maksimal terhadap amanah karunia Allah Subhana wa Ta’ala untuk terus dijaga dan dipelihara dengan sebaik-baiknya. Inilah yang menurut penulis harus terus ditumbuhkembangkan oleh para pendidik di dalam menyajikan pendidikan seks, entah sebagai materi pelajaran tersendiri maupun dipadukan dengan materi pelajaran lainnya.
Sikap alergi yang berlebihan pun tidak perlu ditonjolkan menyikapi wacana pendidikan seks tersebut. Toh di kalangan Pondok Pesantren, persoalan pendidikan seks bukanlah masalah tabu akan tetapi merupakan masalah yang memang telah diajarkan oleh para Kyai, Ustadz dalam keseharian, yakni dalam materi fiqih. Fiqih merupakan jawaban konkrit bagi kita bahwa pendidikan seks bukan persoalan yang harus dihindari namun harus disampaikan secara utuh sesuai tingkat kematangan dari pelajar. Kesepakatan tentang batasan-batasan yang akan disajikan bagi para pelajar dalam pendidikan seks (jika itu diberlakukan) yang harus disesuaikan dengan rambu-rambu agama. Jika itu dipatuhi, Insya Allah pendidikan seks tidak lagi menjadi perdebatan yang tiada ujung pangkalnya dan harapan terhadap peningkatan moral anak bangsa ini akan segera tercapai. Semoga. Wallahua’lam bisshowab.
(Telah dimuat di koran Radar Bekasi, 29 Mei 2010)

Sabtu, 03 Juli 2010

Das Sein dan Das Sollen dalam Dunia Pendidikan
Oleh : H.Muhammad Aiz,SH.,MH.
(Pengasuh Pondok Pesantren Annida Al islamy Bekasi)

Dalam teori filsafat hukum terdapat istilah das sein dan das sollen. Das sein adalah kondisi realita, konkrit yang ada di hadapan kita. Adapun das sollen adalah sebuah kondisi ideal, sempurna, dan yang diharapkan.. Adanya harapan dan kenyataan yang terkadang bertolak belakang seharusnya dapat memunculkan kesadaran bahwa ada sesuatu yang belum dilaksanakan secara baik dan optimal, dan keinsyafan dalam diri manusia bahwa idealisme dalam berbagai bentuk manifestasinya tidak jarang hanya dapat dirasakan dalam dunia utopia dan sulit diwujudkan dalam dunia nyata.
Bulan Mei yang merupakan bulan pendidikan merupakan momentum yang baik untuk menelaah lagi sejauhmanakah teori filsafat hukum tersebut dapat kita jadikan sebagai cermin atas ”carut marut”nya dunia pendidikan nasional. Mulai dari kurikulum, proses pembelajaran, sampai dengan tahap evaluasi, baik dalam bentuk Ujian Akhir Semester, Ujian Nasional, UASBN dan lainnya.
Kebijakan public (public policy) dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk persoalan pendidikan, merupakan reaksi, respon atau tanggapan keinginan rakyat, kemauan Negara dan kehendak bangsa, diwujudkan dalam sikap-sikap, langkah-langkah dan perbuatan-perbuatan yang ditetapkan dan dilakukan oleh pemerintah. Public policy may be either negative or positive (kebijakan dapat berbentuk negatif atau melarang dan juga dapat berupa pengarahan untuk melaksanakan atau menganjurkan . Kebijakan publik tidak lahir dalam ruang hampa, eksistensinya dalam formulasi/proses perumusan (formulation) serta implementasinya (implementation) berkorelasi erat dengan ruang dan tempat serta waktu (context) dimana kebijakan tersebut dilahirkan baik dalam dimensi politik, sosial, ekonomi, budaya dan hukum yang melingkupi keberadaan kebijakan tersebut.
Das sollen dalam dunia pendidikan sesungguhnya dapat kita cermati dalam pelbagai peraturan perundang-undangan yang ada, mulai dari pasal 31 UUD 1945 tentang hak setiap warganegara untuk mendapatkan pengajaran, UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sampai dengan Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional yang dijadikan dasar pelaksanaan Ujian Nasional. Semua kondisi ideal yang diharapkan tertuang dalam peraturan-peraturan tersebut.
Das sein yang kita saksikan selama satu dasawarsa terakhir justru menunjukan ”jauh panggang dari api”. Model kurikulum mutakhir, evaluasi terkini, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi belum mampu memunculkan pribadi maupun komunitas pelaku dunia pendidikan yang diharapkan. Moral atau akhlak yang semestinya menjadi filter dari kejeniusan seseorang saat ini begitu rapuh sehingga terkesan tidak berdaya menahan laju ”kekinian” yang diartikan sebagai pengaruh dunia barat yang negatif.
Di lain aspek, kondisi lulusan, baik di tingkat SLTA maupun Perguruan Tinggi juga menyisakan tanda tanya besar. Seberapa minimnya kemampuan maupun keahlian yang dimiliki oleh para lulusan tersebut untuk dapat diterima oleh para pengguna, baik di dunia industri maupun sosial. Lulusan sekolah kejuruan belum mampu mengaplikasikan keahliannya di dunia kerjanya sehingga hanya berkutat di wilayah kerja yang sesungguhnya ”siapapun” bisa mengerjakan hal tersebut. Para sarjana pun demikian halnya sehingga label kesarjanaannya belum mampu menjawab kebutuhan pasar. Lalu bagaimana dengan lulusan pesantren? Jujur harus diakui pula bahwa saat ini harapan yang menggunung dari para orangtua santri belum sesuai dengan kenyataan yang ada. Satu hal yang lebih membuat hati bangsa ini menangis adalah belum mampunya Pemerintah menjalankan amanah konstitusi untuk mendidik seluruh anak bangsa dari tingkatan yang paling rendah sampai ke tingkatan yang tinggi. Jumlah anak putus sekolah setiap tahunnya sulit untuk diminimalisir.
Jika hal-hal tersebut telah menjadi realitas dalam kehidupan pendidikan kita, lalu harus bagaimana kita menyikapinya ?
Beberapa hal yang kita cermati bersama adalah kondisi nyata yang menunjukan bahwa secara ilmu pengetahuan dan teknologi dunia pendidikan saat ini sungguh berada pada grafik peningkatan yang sangat positif. Namun kemajuan tersebut tidak diimbangi oleh moralitas atau akhlak yang santun sehingga kejahatan moral atau akhlak seakan-akan lebih nyata dan menakutkan dibandingkan kejahatan konvensional. Hal ini disebabkan karena munculnya kejahatan bermuara dari kehancuran moral atau akhlak dari pribadi-pribadi tersebut. Hal berikutnya yang dapat kita cermati pula adalah kurikulum yang hanya berbasis kepada aspek pedagogik tanpa mendalami aspek afektif yang seharusnya didasari kepada persoalan agama. Agama seharusnya menjadi basis kurikulum sehingga secanggih apapun sebuah disain kurikulum tetap diwarnai dengan nilai-nilai agama secara komprehensif dan tidak parsial. Prinsip yang harus kita pahami dan disosialisasikan kepada masyarakat adalah bahwa agama bukan merupakan penghambat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, bahkan justru sebagai ”umbrella” bagi semua itu. Agama sangat mewajibkan umat pemeluknya untuk belajar berbagai disiplin ilmu dan diimbangi dengan nilai-nilai agama. Seandainya hal-hal ini kita sadari dan laksanakan sangatlah tidak mustahil adanya keselarasan antara impian (das sollen) dengan kenyataan (das sein)
Cerdas dan berakhlakul karimah merupakan potret dari wujud das sollen dunia pendidikan Indonesia. Akankah hal tersebut juga menjadi potret das sein dunia pendidikan kita ? Tentunya kita semua dan para stkeholder dunia pendidikan yang harus dan dapat menjawabnya. Wallahu’alam bisshowab.
(Telah dimuat di koran Radar Bekasi, 26-27 Mei 2010)

Jumat, 02 Juli 2010

Masa Depan Madrasah di Indonesia
Oleh : H.Muhammad Aiz,SH,MH
(Pengasuh Pondok Pesantren Annida Al Islamy Bekasi)


Kata ”madrasah” berasal dari bahasa Arab yang memiliki arti sebagai tempat belajar. Kemajemukan masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam agama maupun adat istiadat, menjadi alasan utama penggunaan istilah lain yang kita kenal dengan ”sekolah”. Terlepas dari perbedaan penggunaan istilah tersebut, ada satu sisi kesamaan, yakni keduanya merupakan tempat belajar bagi para peserta didik, baik di tingkat dasar sampai menengah atas. Berdasarkan persamaan makna tersebut, menjadi kewajiban bagi pemerintah pula untuk dapat memperlakukan kedua institusi pembelajaran tersebut secara adil.
Kondisi ideal dan kondisi riil terkadang menjadi persoalan yang sulit untuk disejajarkan apabila membincangkan kondisi madrasah dengan kondisi sekolah. Kenyataan yang terjadi, sejak kemerdekaan sampai dengan saat ini adalah bahwa adanya suatu lembaga pendidikan di negara Indonesia ini yang masih membutuhkan “legitimasi” keberadaaannya di mata Pemerintah. Persoalan belum disejajarkannya kedudukan madrasah dibandingkan dengan sekolah pada umumnya, seperti SLTP, SMU, maupun SMK, menjadi pertanyaan yang sangat mendasar yang dapat diajukan kepada pemerintah. Dunia pendidikan, di belahan bumi manapun pasti tidak akan pernah terlepas dari pengaruh kekuasaan. Sejak bangsa ini dijajah ratusan tahun yang lalu, proses marginalisasi pendidikan telah dilakukan. Namun demikian sangatlah tidak pantas apabila kita menyamaratakan maksud dan tujuan Pemerintah Kolonial dengan Pemerintah Indonesia saat ini, yang dirasakan oleh sebagian besar para pengelola madrasah, dimana masih tetap melakukan proses marginalisasi terhadap suatu lembaga pendidikan yang bernama madrasah.

Akar berdirinya madrasah
Secara historis perkembangan madrasah di Indonesia tidak terlepas dari pada perkembangan dunia Pesantren. Madrasah merupakan bentuk "kompromi" Pesantren dengan Pemerintah, dengan tujuan dan harapan agar mendapatkan “pengakuan” sebagai sebuah lembaga pendidikan yang lulusannya dapat diterima serta memenuhi kebutuhan pasar. Sikap “kompromi” inilah yang menjadi sebab lemahnya para lulusan madrasah, walaupun di sisi lain tidak dipungkiri terdapat pula hal positif yang dapat diraih. Di sisi lain bahwa banyak para orang tua kecewa dengan hasil didikan madrasah karena hanya menghasilkan lulusan yang “serba setengah” (setengah memahami agama-setengah memahami pengetahuan umum). Para lulusan yang “serba setengah” inilah yang menjadi pijakan bagi masyarakat dalam menilai lemahnya para lulusan madrasah.Apabila dilakukan perbandingan antara madrasah dan sekolah secara struktur antara madrasah dengan sekolah memiliki jalur organisasi yang berbeda. Madrasah menginduk kepada Kantor Kementerian Agama sedangkan sekolah menginduk kepada Kementerian Pendidikan Nasional . Dualisme yang terjadi secara langsung maupun tidak langsung menciptakan “korban” di salah satu pihak yang kedudukan lebih lemah. Hal inilah yang terjadi mengapa dalam permasalahan anggaran pendidikan selalu yang diutamakan adalah sekolah . Penulis tidak bermaksud untuk mengatakan kedudukan Kementerian Pendidikan Nasional lebih kuat di bandingkan Kementerian Agama dalam urusan pendidikan, tetapi kenyataannya terjadi seperti itu.Implementasi otonomi daerah yang menggariskan bahwa Kementerian Agama tidak termasuk dalam bagian yang di otonomikan menjadi alasan pembenar bagi sebagian pejabat di daerah untuk meng “anak tirikan” lembaga madrasah.
Persaingan global saat ini menuntut semua pihak pengelola pendidikan (madrasah maupun sekolah ) untuk terus meningkatkan kualitas lulusannya. Hal itu menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi agar keberadaan sebuah lembaga pendidikan tetap eksis dan diakui oleh masyarakat pada umumnya. Persaingan yang terjadi di antara para pelajar di Indonesia saat ini untuk dapat menjadi pelajar yang berkualitas nampaknya hanya akan semakin membenamkan wajah madrasah. Faktor ketidakadilan anggaran yang dialokasikan untuk madrasah dan sekolah sangat jarang sekali dijadikan wacana untuk dicarikan solusinya. Masyarakat kita hanya tertuju melihat hasil tanpa pernah mau melihat proses yang terjadi. Bagaimana kita dapat “memvonis” bahwa sebagian besar Madrasah di Indonesia tidak memiliki mutu, sedangkan kita tidak pernah sekalipun mencoba untuk mengetahui proses mengapa madrasah menjadi tidak bermutu?

Madrasah di masa mendatang
Proses kematangan pendidikan di Indonesia bukan lagi merupakan harapan akan tetapi sudah merupakan tuntutan yang dipenuhi. Keberadaan madrasah, sebagai salah satu lembaga pendidikan di Indonesia sudah sepatutnya mendapatkan porsi perhatian yang lebih. Bukan lagi zamannya bagi Pemerintah (Kementerian Pendidikan Nasional pusat maupun daerah) untuk bertindak tidak adil terhadap sesama pengelola lembaga pendidikan. Masyarakat Indonesia yang sangat majemuk merupakan faktor utama yang harus diperhatikan oleh para “stake holder” di dunia pendidikan Indonesia, bahwa tidak sedikit masyarakat yang lebih mempercayai lembaga pendidikan madrasah di banding dengan lembaga pendidikan lainnya. Haruskah masyarakat ini terus menjadi korban ketidakadilan para pengambil kebijakan ?Menurut hemat penulis, Pemerintah Pusat seharusnya berani bertindak ksatria di dalam menentukan arah pendidikan di Indonesia. Jika memang madrasah dinilai tidak memiliki out put yang baik, bubarkan atau bekukkan saja keberadaan madrasah di seluruh tanah air, atau dipindahtangankan pengelolaannya dari Kementerian Agama kepada Kementerian Pendidikan Nasional. Sebaliknya, jika Pemerintah masih memandang perlu dengan keberadaan madrasah sudah waktunya (belum terlalu terlambat) untuk memposisikan kedua lembaga pendidikan tersebut (madrasah dan sekolah ) pada posisi yang sejajar dalam segala bidang. Dengan demikian pada akhirnya masyarakat akan menilai dan memutuskan akan diarahkan kemana anak bangsa untuk dididik hari esok. Wallahua’lam bisshowab.
(telah dimuat di Koran Radar Bekasi, Kamis, 22 April 2010)

Rabu, 31 Maret 2010

Pajak ala Gayus Tambunan

Pagi ini, tanggal 31 Maret 2010, saya baru saja mendengar dari berita di tv bahwa salah satu orang yang paling dicari saat ini, yakni Gayus Tambunan telah ditangkap oleh Satgas Mafia Hukum di salah satu pusat perbelanjaan di Singapura.
Ucapan syukur pastinya terucapkan, walaupun hanya di dalam hati, oleh sebagian besar masyarakat Indonesia yang mengharapkan kasus korupsi pajak itu terkuak. Namun ucapan "Inna lillahi" pastinya juga terucap dari sebagian kecil masyarakat yang khawatir akan terseret lingkaran setan yang akan digariskan oleh si Gayus tadi.
Sudah menjadi rahasia publik, bahwa pegawai Departemen Keuangan, merupakan pegawai yang seringkali Allah "kasih" nikmat yang berlebih apabila dibandingkan dengan pegawai departemen lain. Sebab, penghasilan mereka jauh melebihi rekan seangkatan atau segolongan di departemen lain. Bisa kita perbandingankan dari kasus Gayus ini, bahwa ia dengan hanya Golongan III A sudah berhak untuk mendapatkan gaji halal sebesar 11-12 juta per bulan. Cobalah kita tengok golongan III A di Depertemen (atau sekarang disebut Kementerian) Agama, tentu penghasilannya tidak sampai separuhnya. Apalagi jika kita menengok lebih dalam lagi nasib para guru-guru, baik yang bernaung di lingkungan Kementerian Pendidikan maupun Agama, tentunya kita akan mengucapkan sumpah serapah kepada sosok Gayus ini yang tidak tahu bersyukur atas nikmat yang telah dianugerahkan kepadanya.
Pajak yang katanya digunakan untuk pelaksanaan pembangunan semakin "dhoif" dengan terkuaknya kenyataan kasus Gayus ini. Kita pasti bertanya-tanya, ada berapa puluh-ratus-ribu orang model Gayus di lingkungan Direktorat Pajak seluruh Indonesia? Hanya Allah SWT yang tahu, seperti halnya kapan Bajaj akan belok, hanya Tuhan yang tahu. Semua serba gelap.
Hukuman berat harus dijatuhkan kepada orang model Gayus ini. Bangsa yang tengah sakit ini harus berani mengamputasi anggota-anggota "tubuh" yang hanya akan menambah deretan derita berkepanjangan. Pecat, sita asetnya, dan tentunya hukum dengan seberat-beratnya, bahkan kalau perlu hukum mati untuk para koruptor untuk memunculkan efek kapok bagi pelaku maupun yang lainnya.
Sialnya...kita hidup di negeri kaya namun penuh dengan perampok berjubah aparat!!!!!

Jumat, 19 Februari 2010

"Kriminalisasi" Nikah Siri

Satu minggu terakhir, dunia perpolitikan masih diselimuti kabut gelap kasus century. Tiba-tiba menjelang kesimpulan akhir tim pansus, kita mendengar beredarnya RUU Perkawinan versi mutakhir yang di dalamnya terdapat pasal yang akan mempidanakan orang-orang yang tersangkut persoalan nikah siri. Tidak hanya si penikmat nikah siri namun juga para wali maupun saksi yang terlibat langsung pun akan diseret ke penjara.
Ide "brilian" Kementerian Agama ini mendapat penentangan yang cukup sengit dari berbagai pihak, termasuk MUI Pusat yang disuarakan oleh Prof.Mustafa Ya'kub dalam suatu kesempatan di TV One.
Usulan tersebut setidaknya membawa pemahaman kepada kita, bahwa negara sudah begitu ikut campur terhadap persoalan person keagamaan. Dampak negatif yang begitu "banyak" (versi Pemerintah) harus disiasati dengan memperketat aturan pernikahan bahkan kalau perlu mengirimkan pelaku pelanggaran ke hotel "prodeo" biar tobat.
Persoalan menjadi rumit manakala dalil agama yang menyebutkan bahwa perkawinan akan dianggap sah jika telah memenuhi syarat, dan rukun perkawinan dan tidak mensyaratkan harus dicatat oleh negara.
Keputus asaan Pemerintah ini semakin membuka mata kita bahwa ternyata punishment memang harus dinyatakan agar masyarakat menjadi patuh. Keterpurukan ekonomi, status, dan lainnya semestinya juga menjadi fokus perhatian Pemerintah guna menarik benang merah penyebab terjadinya nikah siri (di bawah tangan) ini.
Tidak banyak komentar yang perlu disampaikan dan diuraikan pada usulan mutakhir ini, selain ucapan "kurang kerjaan"...seperti ucapan Menteri Pemberdayaan Perempuan saat mengomentari fatwa yang dikeluarkan oleh forum pondok pesantren putri Jawa Timur. Memang...memang...kurang kerjaan.