Jumat, 02 Juli 2010

Masa Depan Madrasah di Indonesia
Oleh : H.Muhammad Aiz,SH,MH
(Pengasuh Pondok Pesantren Annida Al Islamy Bekasi)


Kata ”madrasah” berasal dari bahasa Arab yang memiliki arti sebagai tempat belajar. Kemajemukan masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam agama maupun adat istiadat, menjadi alasan utama penggunaan istilah lain yang kita kenal dengan ”sekolah”. Terlepas dari perbedaan penggunaan istilah tersebut, ada satu sisi kesamaan, yakni keduanya merupakan tempat belajar bagi para peserta didik, baik di tingkat dasar sampai menengah atas. Berdasarkan persamaan makna tersebut, menjadi kewajiban bagi pemerintah pula untuk dapat memperlakukan kedua institusi pembelajaran tersebut secara adil.
Kondisi ideal dan kondisi riil terkadang menjadi persoalan yang sulit untuk disejajarkan apabila membincangkan kondisi madrasah dengan kondisi sekolah. Kenyataan yang terjadi, sejak kemerdekaan sampai dengan saat ini adalah bahwa adanya suatu lembaga pendidikan di negara Indonesia ini yang masih membutuhkan “legitimasi” keberadaaannya di mata Pemerintah. Persoalan belum disejajarkannya kedudukan madrasah dibandingkan dengan sekolah pada umumnya, seperti SLTP, SMU, maupun SMK, menjadi pertanyaan yang sangat mendasar yang dapat diajukan kepada pemerintah. Dunia pendidikan, di belahan bumi manapun pasti tidak akan pernah terlepas dari pengaruh kekuasaan. Sejak bangsa ini dijajah ratusan tahun yang lalu, proses marginalisasi pendidikan telah dilakukan. Namun demikian sangatlah tidak pantas apabila kita menyamaratakan maksud dan tujuan Pemerintah Kolonial dengan Pemerintah Indonesia saat ini, yang dirasakan oleh sebagian besar para pengelola madrasah, dimana masih tetap melakukan proses marginalisasi terhadap suatu lembaga pendidikan yang bernama madrasah.

Akar berdirinya madrasah
Secara historis perkembangan madrasah di Indonesia tidak terlepas dari pada perkembangan dunia Pesantren. Madrasah merupakan bentuk "kompromi" Pesantren dengan Pemerintah, dengan tujuan dan harapan agar mendapatkan “pengakuan” sebagai sebuah lembaga pendidikan yang lulusannya dapat diterima serta memenuhi kebutuhan pasar. Sikap “kompromi” inilah yang menjadi sebab lemahnya para lulusan madrasah, walaupun di sisi lain tidak dipungkiri terdapat pula hal positif yang dapat diraih. Di sisi lain bahwa banyak para orang tua kecewa dengan hasil didikan madrasah karena hanya menghasilkan lulusan yang “serba setengah” (setengah memahami agama-setengah memahami pengetahuan umum). Para lulusan yang “serba setengah” inilah yang menjadi pijakan bagi masyarakat dalam menilai lemahnya para lulusan madrasah.Apabila dilakukan perbandingan antara madrasah dan sekolah secara struktur antara madrasah dengan sekolah memiliki jalur organisasi yang berbeda. Madrasah menginduk kepada Kantor Kementerian Agama sedangkan sekolah menginduk kepada Kementerian Pendidikan Nasional . Dualisme yang terjadi secara langsung maupun tidak langsung menciptakan “korban” di salah satu pihak yang kedudukan lebih lemah. Hal inilah yang terjadi mengapa dalam permasalahan anggaran pendidikan selalu yang diutamakan adalah sekolah . Penulis tidak bermaksud untuk mengatakan kedudukan Kementerian Pendidikan Nasional lebih kuat di bandingkan Kementerian Agama dalam urusan pendidikan, tetapi kenyataannya terjadi seperti itu.Implementasi otonomi daerah yang menggariskan bahwa Kementerian Agama tidak termasuk dalam bagian yang di otonomikan menjadi alasan pembenar bagi sebagian pejabat di daerah untuk meng “anak tirikan” lembaga madrasah.
Persaingan global saat ini menuntut semua pihak pengelola pendidikan (madrasah maupun sekolah ) untuk terus meningkatkan kualitas lulusannya. Hal itu menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi agar keberadaan sebuah lembaga pendidikan tetap eksis dan diakui oleh masyarakat pada umumnya. Persaingan yang terjadi di antara para pelajar di Indonesia saat ini untuk dapat menjadi pelajar yang berkualitas nampaknya hanya akan semakin membenamkan wajah madrasah. Faktor ketidakadilan anggaran yang dialokasikan untuk madrasah dan sekolah sangat jarang sekali dijadikan wacana untuk dicarikan solusinya. Masyarakat kita hanya tertuju melihat hasil tanpa pernah mau melihat proses yang terjadi. Bagaimana kita dapat “memvonis” bahwa sebagian besar Madrasah di Indonesia tidak memiliki mutu, sedangkan kita tidak pernah sekalipun mencoba untuk mengetahui proses mengapa madrasah menjadi tidak bermutu?

Madrasah di masa mendatang
Proses kematangan pendidikan di Indonesia bukan lagi merupakan harapan akan tetapi sudah merupakan tuntutan yang dipenuhi. Keberadaan madrasah, sebagai salah satu lembaga pendidikan di Indonesia sudah sepatutnya mendapatkan porsi perhatian yang lebih. Bukan lagi zamannya bagi Pemerintah (Kementerian Pendidikan Nasional pusat maupun daerah) untuk bertindak tidak adil terhadap sesama pengelola lembaga pendidikan. Masyarakat Indonesia yang sangat majemuk merupakan faktor utama yang harus diperhatikan oleh para “stake holder” di dunia pendidikan Indonesia, bahwa tidak sedikit masyarakat yang lebih mempercayai lembaga pendidikan madrasah di banding dengan lembaga pendidikan lainnya. Haruskah masyarakat ini terus menjadi korban ketidakadilan para pengambil kebijakan ?Menurut hemat penulis, Pemerintah Pusat seharusnya berani bertindak ksatria di dalam menentukan arah pendidikan di Indonesia. Jika memang madrasah dinilai tidak memiliki out put yang baik, bubarkan atau bekukkan saja keberadaan madrasah di seluruh tanah air, atau dipindahtangankan pengelolaannya dari Kementerian Agama kepada Kementerian Pendidikan Nasional. Sebaliknya, jika Pemerintah masih memandang perlu dengan keberadaan madrasah sudah waktunya (belum terlalu terlambat) untuk memposisikan kedua lembaga pendidikan tersebut (madrasah dan sekolah ) pada posisi yang sejajar dalam segala bidang. Dengan demikian pada akhirnya masyarakat akan menilai dan memutuskan akan diarahkan kemana anak bangsa untuk dididik hari esok. Wallahua’lam bisshowab.
(telah dimuat di Koran Radar Bekasi, Kamis, 22 April 2010)