Sabtu, 03 Juli 2010

Das Sein dan Das Sollen dalam Dunia Pendidikan
Oleh : H.Muhammad Aiz,SH.,MH.
(Pengasuh Pondok Pesantren Annida Al islamy Bekasi)

Dalam teori filsafat hukum terdapat istilah das sein dan das sollen. Das sein adalah kondisi realita, konkrit yang ada di hadapan kita. Adapun das sollen adalah sebuah kondisi ideal, sempurna, dan yang diharapkan.. Adanya harapan dan kenyataan yang terkadang bertolak belakang seharusnya dapat memunculkan kesadaran bahwa ada sesuatu yang belum dilaksanakan secara baik dan optimal, dan keinsyafan dalam diri manusia bahwa idealisme dalam berbagai bentuk manifestasinya tidak jarang hanya dapat dirasakan dalam dunia utopia dan sulit diwujudkan dalam dunia nyata.
Bulan Mei yang merupakan bulan pendidikan merupakan momentum yang baik untuk menelaah lagi sejauhmanakah teori filsafat hukum tersebut dapat kita jadikan sebagai cermin atas ”carut marut”nya dunia pendidikan nasional. Mulai dari kurikulum, proses pembelajaran, sampai dengan tahap evaluasi, baik dalam bentuk Ujian Akhir Semester, Ujian Nasional, UASBN dan lainnya.
Kebijakan public (public policy) dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk persoalan pendidikan, merupakan reaksi, respon atau tanggapan keinginan rakyat, kemauan Negara dan kehendak bangsa, diwujudkan dalam sikap-sikap, langkah-langkah dan perbuatan-perbuatan yang ditetapkan dan dilakukan oleh pemerintah. Public policy may be either negative or positive (kebijakan dapat berbentuk negatif atau melarang dan juga dapat berupa pengarahan untuk melaksanakan atau menganjurkan . Kebijakan publik tidak lahir dalam ruang hampa, eksistensinya dalam formulasi/proses perumusan (formulation) serta implementasinya (implementation) berkorelasi erat dengan ruang dan tempat serta waktu (context) dimana kebijakan tersebut dilahirkan baik dalam dimensi politik, sosial, ekonomi, budaya dan hukum yang melingkupi keberadaan kebijakan tersebut.
Das sollen dalam dunia pendidikan sesungguhnya dapat kita cermati dalam pelbagai peraturan perundang-undangan yang ada, mulai dari pasal 31 UUD 1945 tentang hak setiap warganegara untuk mendapatkan pengajaran, UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sampai dengan Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional yang dijadikan dasar pelaksanaan Ujian Nasional. Semua kondisi ideal yang diharapkan tertuang dalam peraturan-peraturan tersebut.
Das sein yang kita saksikan selama satu dasawarsa terakhir justru menunjukan ”jauh panggang dari api”. Model kurikulum mutakhir, evaluasi terkini, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi belum mampu memunculkan pribadi maupun komunitas pelaku dunia pendidikan yang diharapkan. Moral atau akhlak yang semestinya menjadi filter dari kejeniusan seseorang saat ini begitu rapuh sehingga terkesan tidak berdaya menahan laju ”kekinian” yang diartikan sebagai pengaruh dunia barat yang negatif.
Di lain aspek, kondisi lulusan, baik di tingkat SLTA maupun Perguruan Tinggi juga menyisakan tanda tanya besar. Seberapa minimnya kemampuan maupun keahlian yang dimiliki oleh para lulusan tersebut untuk dapat diterima oleh para pengguna, baik di dunia industri maupun sosial. Lulusan sekolah kejuruan belum mampu mengaplikasikan keahliannya di dunia kerjanya sehingga hanya berkutat di wilayah kerja yang sesungguhnya ”siapapun” bisa mengerjakan hal tersebut. Para sarjana pun demikian halnya sehingga label kesarjanaannya belum mampu menjawab kebutuhan pasar. Lalu bagaimana dengan lulusan pesantren? Jujur harus diakui pula bahwa saat ini harapan yang menggunung dari para orangtua santri belum sesuai dengan kenyataan yang ada. Satu hal yang lebih membuat hati bangsa ini menangis adalah belum mampunya Pemerintah menjalankan amanah konstitusi untuk mendidik seluruh anak bangsa dari tingkatan yang paling rendah sampai ke tingkatan yang tinggi. Jumlah anak putus sekolah setiap tahunnya sulit untuk diminimalisir.
Jika hal-hal tersebut telah menjadi realitas dalam kehidupan pendidikan kita, lalu harus bagaimana kita menyikapinya ?
Beberapa hal yang kita cermati bersama adalah kondisi nyata yang menunjukan bahwa secara ilmu pengetahuan dan teknologi dunia pendidikan saat ini sungguh berada pada grafik peningkatan yang sangat positif. Namun kemajuan tersebut tidak diimbangi oleh moralitas atau akhlak yang santun sehingga kejahatan moral atau akhlak seakan-akan lebih nyata dan menakutkan dibandingkan kejahatan konvensional. Hal ini disebabkan karena munculnya kejahatan bermuara dari kehancuran moral atau akhlak dari pribadi-pribadi tersebut. Hal berikutnya yang dapat kita cermati pula adalah kurikulum yang hanya berbasis kepada aspek pedagogik tanpa mendalami aspek afektif yang seharusnya didasari kepada persoalan agama. Agama seharusnya menjadi basis kurikulum sehingga secanggih apapun sebuah disain kurikulum tetap diwarnai dengan nilai-nilai agama secara komprehensif dan tidak parsial. Prinsip yang harus kita pahami dan disosialisasikan kepada masyarakat adalah bahwa agama bukan merupakan penghambat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, bahkan justru sebagai ”umbrella” bagi semua itu. Agama sangat mewajibkan umat pemeluknya untuk belajar berbagai disiplin ilmu dan diimbangi dengan nilai-nilai agama. Seandainya hal-hal ini kita sadari dan laksanakan sangatlah tidak mustahil adanya keselarasan antara impian (das sollen) dengan kenyataan (das sein)
Cerdas dan berakhlakul karimah merupakan potret dari wujud das sollen dunia pendidikan Indonesia. Akankah hal tersebut juga menjadi potret das sein dunia pendidikan kita ? Tentunya kita semua dan para stkeholder dunia pendidikan yang harus dan dapat menjawabnya. Wallahu’alam bisshowab.
(Telah dimuat di koran Radar Bekasi, 26-27 Mei 2010)