Rabu, 02 April 2008

Sistem Perbankan Indonesia

SISTEM PERBANKAN INDONESIA DALAM PERSPEKTIF
TEORI HUKUM ALAM
H.Muhammad Aiz,SH,MH

ABSTRACT

Indonesian banking law based on Law No.10 of 1998 is a product of politics that is concerned with the religion aspect. Most of Indonesian people are moslems. Syariah banking system is a solution. There is a relationship between law, politic, and religion. Domestic aspects such as historical, cultural, and religion backgrounds contribute a nuance in the legislation and application of syariah banking system. This article is to discuss the Indonesian banking law based on natural law theory perspective.

Pendahuluan
Fenomena perekonomian dunia telah berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan perkembangan jaman dan perubahan teknologi informasi yang berkembang pesat. Banyak nilai-nilai baru yang dibentuk namun sulit untuk menentukan mana yang benar dan mana salah, sehingga terkadang membawa kebaikan namun adakalanya menyesatkan. Globalisasi ekonomi yang diwarnai dengan bebasnya arus barang modal dan jasa, serta perdagangan antar negara, telah mengubah suasana kehidupan menjadi individualistis dan persaingan yang amat ketat.
Ketidakseimbangan ekonomi global, dan krisis ekonomi yang melanda Asia khususnya Indonesia adalah suatu bukti bahwa asumsi diatas salah total bahkan ada sesuatu yang tidak beres dengan sistem yang kita anut selama ini. Adanya kenyataan sejumlah besar bank ditutup, di-take-over, dan sebagian besar lainnya harus direkapitulasi dengan biaya ratusan trilliun rupiah dari uang negara yaitu sekitar 635 triliun rupiah, maka rasanya amatlah besar dosa kita bila tetap berdiam diri dan berpangku tangan tidak melakukan sesuatu untuk memperbaikinya.
Sekarang saatnya kita menunjukkan bahwa muamalah syariah dengan filosofi utama kemitraan dan kebersamaan (sharing) dalam profit dan risk dapat mewujudkan kegiatan ekonomi yang lebih adil dan transparan. Sekaligus pula membuktikan bahwa dengan sistem perbankan syariah, kita dapat menghilangkan wabah penyakit negative spread (keuntungan minus) dari dunia perbankan.
Sudah cukup lama umat Islam di seluruh dunia, termasuk di Indonesia mengharapkan munculnya sistem perekonomian yang berbasis pada nilai dan prinsip agama, atau yang lebih dikenal dengan istilah” syariah” (Islamic economic system) untuk dapat diaplikasikan dalam segenap aspek kehidupan bisnis dan transasksi umat.
Dalam tulisan ini akan dikemukakan berbagai aspek permasalahan dalam bidang perekonomian, khususnya perbankan yang mana merupakan jantungnya perekonomian sebuah negara, dalam kaitannya dengan perspektif Teori Hukum Alam (irasional). Peraturan perundang-undangan dalam dunia perbankan yang dibuat oleh Pemerintah tentunya bermuara kepada satu tujuan yaitu keadilan, dimana mengupayakan agar masyarakat secara keseluruhan, baik yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam kegiatan perbankan (pemilik bank dan nasabah) dapat merasakan manfaat yang pada akhirnya kesejahteraan masyarakat tersebut akan meningkat. Salah satu tujuan negara Indonesia sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 alenia ke-4 adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Untuk mencapai tujuan tersebut tentunya berbagai macam sumber dapat dijadikan rujukan, termasuk sudut pandang agama (Islam) yang merupakan salah satu bagian dari Teori Hukum Alam..
Ada sebagian anggota masyarakat, baik pakar maupun orang awam, yang beranggapan agama (Islam) tidak berurusan dengan dunia perbankan dan pasar uang. Hal ini disebabkan adanya asumsi bahwa agama (Islam) adalah dunia putih sedangkan bank dan pasar uang adalah dunia hitam yang penuh tipu daya dan kelicikan. Oleh karena itu tidaklah mengherankan bila pakar dan pelaku ekonomi melihat agama (Islam) dengan sistem nilai dan tatanan normatifnya (Al-Qur’an dan Hadits) sebagai faktor penghambat pembangunan (an obstacle to economic growth). Penganut paham liberalisme dan pragmatisme sempit ini menilai bahwa kegiatan ekonomi dan keuangan akan semakin meningkat dan berkembang bila dibebaskan dari nilai-nilai normatif dan rambu Ilahi.

Teori Hukum Alam.
Kepercayaan bahwa keadilan yang menjadi bagian integral dari hukum merupakan cahaya penuntun lahirnya teori Hukum Alam. Teori Hukum Alam sebenarnya telah berkembang sejak ribuan tahun yang lalu. Dilihat dari sejarahnya menurut Friedmann teori ini timbul karena kegagalan umat manusia dalam mencari keadilan yang absolut. Secara sederhana, Teori Hukum Alam dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu irasional dan rasional. (Darji Darmodihardjo & Shidarta,1996). Teori Hukum Alam yang irasional berpendapat bahwa hukum yang berlaku universal dan abadi bersumber dari Tuhan secara langsung Sedangkan yang rasional lebih mengedepankan rasio manusia sebagai sumber hukum tersebut.
Agama bagi manusia adalah sebagai satu kepercayaan. Konsep agama adalah amat luas menyelubungi keseluruhan corak hidup manusia. Manusia telah dicipta dengan akal sebagai alat untuk berpikir, dan agama sebagai pembimbing dalam berpikir itu. Dengan itu, konsep kepercayaan dan agama tidak boleh terpisah atau dipisahkan untuk mencari sesuatu jawapan mengenai kehidupan.
Hukum yang diperkenalkan Al-Qur'an bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, tapi merupakan bagian integral dari akidah. Akidah tentang Allah yang menciptakan alam semesta, mengaturnya, memeliharanya dan menjaganya sehingga segala makhluk itu menjalani kehidupannya masing-masing dengan baik dan melakukan fungsinya masing-masing dengan tertib. Hukum Allah meliputi segenap makhluk (alam semesta).
Salah seorang pendukung Teori Hukum Alam irasional adalah Thomas Aquinas., yang mendasarkan pemikirannya dengan persoalan teologia. Menurutnya ada pengetahuan yang tidak dapat ditembus oleh akal, dan untuk itulah diperlukan iman.Ia juga mengakui bahwa disamping kebenaran wahyu juga terdapat kebenaran akal. Berbicara tentang hukum, Aquinas mendefinisikannya sebagai ketentuan akal untuk kebaikan umum, yang dibuat oleh orang yang mengurus masyarakat. Menurutnya ada 4 macam hukum, yaitu : (1) lex aeterna (hukum rasio Tuhan yang tidak dapat ditangkap oleh pancaindera manusia, (2) lex divina (hukum rasio Tuhan yang dapat ditangkap oleh pancaindera manusia, (3) lex naturalis ( hukum alam, yaitu penjelmaan lex aeterna ke dalam rasio manusia), dan (4) lex positivis (penerapan lex naturalis ke dalam kehidupan manusia di dunia). Secara lebih lengkap Friedmann menggambarkan pemikiran Aquinas sebagai berikut :
“Sejak dunia diatur oleh ketentuan-ketentuan yang ditetapkan Tuhan, seluruh masyarakat di alam semesta daitur oleh akal yang berasal dari Tuhan. Hukum Tuhan berada di atas segalanya. Sekalipun demikian, tidak seluruh hukum Tuhan dapat diperoleh manusia. Bagian semacam ini dapat dimengerti oleh manusia dan diungkapkan melalui hukum abadi sebagai penjelmaan kearifan Tuhan yang mengatur segala tindakan dan pergerakan. Manusia sebagai mahluk yang berakal menerapkan bagian dari hukum Tuhan sehingga dapat membedakan yang baik dan yang buruk. Hukum manusia merupakan bagian dan bidang kecil dari kekuasaan Tuhan.”(Darji Darmodihardjo & Shidarta, 1996 ).

Jika Aquinas mengakui kemampuan rasio manusia untuk mengungkapkan kebenaran, maka filusuf lainnya, Occam berpendapat rasio manusia tidak dapat memastikan kebenaran sehingga diperlukan keyakinan akan suatu kepercayaan (iman). Para penganut Teori Hukum Alam menemukan basis hukumnya adalah sesuatu di luar kontrol manusia atau sesuatu yang mengikat pembuat hukum baik individual maupun kelompok dan memaksakan apakal kita suka atau tidak. Dalam kenyataan di zaman modern saat ini agama akan semakin penting untuk menjadi pedoman dalam beraktivitas sehingga “kegersangan” hati akan tersirami nilai-nilai ketuhanan yang tercermin dalam peraturan perundang-undangan.
Joseph Schumpeter menyebut dua kontribusi ekonom scholastic, yaitu penemuan kembali tulisan-tulisan Aristoteles dan “Towering Achievement” St. Thomas Aquinas. Schumpeter hanya menulis tiga baris dalam catatan kakinya nama Ibnu Rusyd dalam kaitan proses transmisi pemikiran-pemikiran Aristoteles ke Aquinas. Pemikiran-pemikiran Aquinas sendiri bnayk yang bertentangan dengan dogma-dogma gereja, sehingga para sejarahwan menduga bahwa Aquinas mencuri ide-ide tersebut dari para ekonom Islam. Menurut Harris, tanpa pengaruh peripatetisisme orang Arab, teologi Aquinas sama sekali tak terpahami seperti filsafatnya (C.R.S. Harris & Dunn Scotus, 1959).
Sebuah ajaran yang melandaskan kepada nilai-nilai agama dalam perjalanan waktu tidak akan pernah punah selama masih ada manusia yang meyakini terhadap nilai –nilai agama tersebut. Di Indonesia Teori Hukum Alam Irasional mendapatkan tempat tersendiri di hati sebagian masyarakat, tak terkecuali umat Islam. Apabila kita melihat sejarah negara Indonesia yang pernah dijajah oleh Belanda, maka akan dapat terlihat nilai-nilai agama (kristen) dalam berbagai macam bentuk peraturan yang dibuat oleh penjajah Belanda sebagai salah satu pedomannya. Dalam sejarah kemerdekaan negara Indonesia tidak sedikit nilai-nilai agama yang dijadikan sumber peraturan perundang-undangan. Tidak hanya sampai di taraf peraturan, bahkan
dasar negara Republik Indonesia yakni Pancasila memasukan nilai agama tersebut pada tingkatan yang tertinggi, sebagaimana tertulis dalam sila pertama”Ketuhanan Yang Maha Esa”. Selain yang tertulis dalam Pancasila, nilai-nilai agama juga masih dapat terlihat dalam Pembukaan UUD 1945. Dengan demikian negara Indonesia terlahir penuh dengan nilai-nilai agama di dalamnya.
Di samping hal-hal yang bersifat sebagai “Grundnorm” nilai agama pun telah menyentuh berbagai aspek kehidupan masyarakat di Indonesia. Mulai dari masalah hubungan kekeluargaan seperti perkawinan, perceraian dan lain-lain, sampai masalah lingkungan, keuangan dan bisnis. Dalam bidang keuangan dan bisnis nilai-nilai agama (Islam) telah memasuki bidang tersebut, sebagai contoh di bidang asuransi, perbankan, pajak (zakat) dan lainnya.
Dalam agama Islam, secara umum tugas kekhalifahan manusia adalah tugas untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan dalam kehidupan serta tugas pengabdian atau ibadah dalam arti luas. Untuk menunaikan tugas tersebut, Allah memberi manusia dua anugrah, yaitu “sistem kehidupan” dan “sarana kehidupan”. Sistem kehidupan adalah seluruh aturan kehidupan manusia yang bersumber pada Al Qur’an dan Hadits. Aturan tersebut berbentuk keharusan melakukan atau sebaiknya melakukan sesuatu, juga dalam bentuk larangan melakukan sesuatu atau sebaiknya menoinggalkan sesuatu. Aturan-aturan tersebut dimaksudkan untuk menjamin keselamatan manusia sepanjang hidupnya, baik yang menyangkut keselamatan agama, keselamatan diri, keselamatan akal, keselamatan harta benda, maupun keselamatan keturunan.
Pelaksanaan Islam sebagai way of life secara konsisten dalam semua kegiatan kehidupan, akan melahirkan sebuah tatanan kehidupan yang baik. Sebaliknya, menolak aturan itu atau sama sekali tidak memiliki keinginan untuk mengaplikasikannya dalam kehidupan, akan melahirkan kekacauan dalam kehidupan sekarang maupun yang akan datang.
Teori-teori ekonomi modern, termasuk perbankan, sebenarnya merupakan teori-teori yang yang ditulis oleh para ekonom muslim pada zaman kejayaan Islam. Tentunya teori-teori tersebut tidak terlepas daripada nilai-nilai agama Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits. Namun sayangnya hal ini tidak diketahui oleh masyarakat Islam itu sendiri, karena para ekonom barat yang melakukan plagiat tersebut sama sekali tidak menyebut referensinya berasal dari kitab-kitab klasik keilmuan Islam.(Zainul Arifin, 2000).
Josep Schumpeter mengatakan adanya great gap dalam sejarah pemikiran ekonomi selama lebih dari 500 tahun, yaitu masa yang dikenal sebagai Dark Ages. Masa kegelapan barat tersebut sebenarnya adalah masa kegemilangan Islam, suatu kenyataan yang berusaha mereka tutup-tutupi karena pemikiran-pemikiran ekonomi Islam pada waktu itu yang kemudian banyak dicuri oleh para ekonom barat. (Zainul Arifin,2000).
Para ekonom Islam sendiri mengakui banyak membaca dan dipengaruhi oleh tulisan-tulisan Aristoteles sebagai filusuf yang banyak menulis masalah-masalah ekonomi, namun tetap menjadikan Al Qur'an dan Hadits sebagai rujukan utama mereka dalam menulis teori-teori ekonomi Islam. Beberapa institusi ekonomi yang ditiru oleh barat dari dunia Islam antara lain ialah Syirkah (serikat dagang), Suftaja (bills of exchange), Hawala (letters of credit), Funduq (specialized large scale commercial institutions and markets which developed into virtual stock exchange) (Subhi Labib, 1969).
Konsep Islam dalam berekonomi telah mengalami masa kemunduran yang cukup panjang sejak zaman keemasannya. Proses kemunduran itu sendiri – boleh dikatakan akibat adanya ‘pemarginalan’ atau ‘pembusukan’ sistematis dari dalam -- konsep ekonomi Islam yang berlangsung seiring kemunduran peradaban Islam di atas muka bumi. Yaitu suatu titik balik dari kemajuan luar biasa yang pernah dicapai pada masa lalu yang kemudian masih redup perkembangannya hingga awal millenium ketiga ini.
Kemunduran ekonomi umat Islam di permukaan bumi ini sebenarnya berlangsung beriringan dengan lahirnya mazhab ekonomi kapitalistik yang menawarkan konsep pemujaan terhadap materialisme – saluran yang sangat pas dengan kebutuhan nafsu pemanjaan selera kemanusiawian dan syahwat harta-benda -- dengan tanpa atau longgarnya kendali moralitas agama (iman). Dengan kata lain, ‘candu’ kapitalistik bukanlah konsep yang lahir dari sebuah kesadaran keyakinan (iman) terhadap ajaran-ajaran yang bersumber dari wahyu sebagaimana halnya konsep berekonomi dalam Islam.
Bahwa mazhab ekonomi kapitalistik yang lahir dari kesadaran pemberhalaan syahwat materialisme masyarakat Barat selanjutnya mencapai perkembangan yang cukup pesat, dan berimplikasi negatif pada perkembangan praktek ekonomi yang menganut prinsip-prinsip Islam. Perkembangan ekonomi Islam yang pernah berjaya dan diyakini umat muslim sebagai jalan keselamatan hidupnya di dunia dan akhirat itu sekonyong-konyong ditinggalkan dan berubah menjadi ‘stigma’ keterbelakangan – sebagai biang ketertinggalan bagi peradaban modern yang disponsori Barat. Bahkan ia dituding sebagai tembok atau belenggu yang menghalangi umat manusia untuk meraih dan mengeksplorasi segala kenikmatan materialisme sepuas-puasnya di atas muka bumi ini dengan segala cara (immoralitas). Perkembangan ekonomi kapitalistik menjadi semakin kuat akibat kondisi terbalik yang sedang dihadapi masyarakat muslim dunia. Kaum intelektual dan ahli pikir muslim sendiri waktu itu sedang mengalami masa kemunduran. Perkembangan pemikiran-pemikiran yang ada di kalangan intelektual dan cendekiawan muslim pun mengalami masa stagnasi yang cukup panjang sehingga menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran berekonomi dan etos bekerja sesuai ajaran Islam.
Sejak awal kelahirannya bank syariah dilandasi dengan kehadiran dua gerakan renaissance Islam Modern: neorevivalis dan modernis, tujuan utama dari pendirian lembaga keuangan berlandaskan etika ini, tiada lain sebagai upaya kaum muslimin untuk mendasari segenap aspek kehidupan ekonominya berlandaskan Al-Qur’an dan Hadits. Upaya awal penerapan sistem profit dan loss sharing tercatat di Pakistan dan Malaysia sekitar tahun 1940-an, yaitu adanya upaya mengelola dana jamaah haji secara non-konvensional. Rintisan institusional lainnya adalah Islamic Rural Bank di desa Mit Ghamr pada tahun 1963 di Kairo, Mesir.
Di Indonesia perkembangan pemikiran-pemikiran tentang perlunya menerapkan prinsip Islam dalam berekonomi baru terdengar pada 1974. Tepatnya dimulai dalam sebuah seminar ‘Hubungan Indonesia-Timur Tengah’ yang diselenggarakan oleh Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan (LSIK). Perkembangan pemikiran tentang perlunya umat Islam Indonesia memiliki lembaga keuangan Islam sendiri mulai berhembus sejak itu, seiring munculnya kesadaran baru kaum intelektual dan cendekiawan muslim dalam memberdayakan ekonomi masyarakat. Pada awalnya memang sempat terjadi perdebatan yang melelahkan mengenai hukum bunga Bank dan hukum zakat vs pajak di kalangan para ulama, cendekiawan dan intelektual muslim.
Nilai-nilai agama yang hendak di transformasikan ke dalam bentuk perundang-undangan bukan lah sebagai hambatan untuk mengembangkan pola pikir dari manusia itu sendiri. Namun yang lebih penting adalah bahwa bagi masyarakat Indonesia saat ini masih meyakini bahwa dengan mempersatukan kedua hal tersebut diharapkan keadilan dan kesejateraan menjadi keniscayaan yang dapat segera terwujud.
Berdasarkan hal tersebut maka perkembangan negara Indonesia baik dilihat dari masyarakat maupun perangkat peraturan tidak pernah lepas dari ajaran yang berbasiskan kepada nilai ketuhanan, yang merupakan salah satu pedoman dalam Teori Hukum Alam.

Penutup
Berdasarkan pemaparan di atas, ternyata Teori Hukum Alam irasional (yang berbasiskan kepada nilai-nilai agama Islam ) terus mengalami perkembangan di berbagai aspek kehidupan masyarakat. Dalam kaitannya dengan pembangunan di Indonesia, baik fisik maupun non fisik, teori ini tidak dapat diabaikan begitu saja, apalagi jika dilihat kultur masyarakat Indonesia yang agamis. Namun demikian perspektif Hukum Alam ini jangan sampai mematikan kesempatan manusia untuk dapat berpikir kritis dan obyektif. Jika sebuah fenomena tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat kiranya dapat dikaji dan di formulasikan dengan menggunakan pikiran manusia. Namun hasil dari kajian atau keputusan tersebut hendaknya tidak bertentangan dengan Hukum Alam (agama).
Bangsa Indonesia nampaknya tidak akan mungkin melepaskan diri dari keyakinan terhadap Hukum Alam. Seiring perjalanan waktu sejak mulai berdiri tahun 1945 sampai dengan tahun 2003 ini nilai-nilai agama selalu hadir dalam setiap kebijakan., termasuk dalam UU No. 10 Tahun 1998.


Daftar Pustaka
C.R.S. Harris & Dunn Scotus, The Humanities, Press of New York, 1959.

Darji Darmodihardjo, & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Edisi Revisi , Jakarta: Gramedia, 1996.

Subhi Labib, Capitalism in Medievel Islam, Journal of Economic History, Vol 29, 1969.

UU No 10 Tahun 1998 tentang Perubahan UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Zainul Arifin, Memahami Bank Syariah: Lingkup, Peluang, Tantangan dan Prospek, Jakarta : AlvaBet, 2000.