Senin, 20 Oktober 2008

Nostalgia Catatan Kuliah 2003

PENGGUNAAN DOKTRIN STRICT LIABILITY DALAM KASUS TABRAKAN KERETA API DI PASAR MINGGU(SUATU TINJAUAN DALAM HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN)
Latar Belakang
Seringnya terjadi kecelakaan pada perkeretaapian di Indonesia mengindikasikan betapa kompleksnya persoalan manajemen di dalam PT. Kereta Api Indonesia. Keperihatinan akan hal itu senantiasa terucapkan oleh berbagai pihak, baik yang berkompeten mengomentari persoalan tersebut maupun tidak.. Kereta api (KA) sebagai angkutan massal yang selama ini dinilai cukup aman, ternyata belum memenuhi harapan masyarakat, ini terbukti dengan tingginya frekuensi kecelakaan KA sepanjang tahun 2002 tercatat 229 kasus (81 tewas), 2003 sebanyak 216 kasus 216 kasus (72 tewas), 2004 semester I tercatat 128 kasus, dan pada tahun 2005 ini tercatat 2 tabrakan KA terbesar, yaitu KA Fajar Utama dan KA Babaranjang di Bandar Lampung pada Mei lalu, yang menewaskan 7 orang penumpang.(Media Indonesia, 3 Juli 2005). Dan kejadian yang paling muta’akhir adalah tabrakan KA di Pasar Minggu beberapa hari yang lalu. Jumlah yang tergolong sangat tinggi dalam sejarah perkeretaapian dunia.Jumlah kecelakaan kereta api di Indonesia mungkin tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan volume perjalanan kereta api itu sendiri. Namun demikian bukan berarti jumlah yang sedikit tersebut hanya merenggut korban sedikit pula dalam setiap kecelakaan. Kecelakaan kereta api yang terjadi beberapa tahun terakhir yang cukup banyak menelan korban adalah kejadian tabrakan antara kereta api Empu Jaya dengan kereta api Gaya Baru Malam di stasiun Ketanggungan Barat, Brebes Jawa Tengah pada tanggal 25 Desember 2001 yang lalu. Musibah itu seakan melengkapi kecelakaan kereta api selama setahun terakhir. Sejak 19 Januari 2001 sampai 25 Desember 2001 telah terjadi 12 kali kecelakaan. Kecuali korban luka, nyawa yang lenyap di rel kereta api selama itu mencapai 133 jiwa. Dan selama 11 tahun terakhir sejak 1990 sampai 2001, kecelakaan kereta api ternyata tak kunjung surut walaupun sudah berkali-kali dijeritkan masyarakat kecil atau dikecam berbagai kalangan di media massa. (Gamma, Nomor 44-3,2002). Pada dekade tersebut, menurut catatan PT KAI, sudah terjadi 106 kali tabrakan antarkereta api dan 793 tabrakan dengan kendaraan di jalan raya. Selain itu, gerbong kereta yang anjok atau terguling sebanyak 984 kali, sementara kecelakaan akibat banjir dan longsor 144 kali. Sedangkan, kecelakaan yang disebabkan kejadian lain 300 kali. Dari total sejumlah kejadian selama 11 tahun terakhir itu sebanyak 965 jiwa penumpang tewas, sementara yang luka berat sejak 1995-2000 sudah 484 orang dan yang luka ringan sejak 1990-2001 sudah 1.911 orang. Selama 11 tahun itu total kecelakaan kereta api dengan berbagai sebab di negeri ini sangat mengenaskan: 2.327 kali. Bayangkan, setiap tahun terjadi 212 kecelakaan(Gamma, Nomor 44-3, 2002). Berarti tak tak sampai dua hari sekali pasti terjadi kecelakaan kereta api. Dari sini bisa ditafsirkan, kereta api di negeri ini ternyata bukan alat transportasi yang aman. Padahal, di dunia luar, kereta api dikenal sebagai alat angkut yang paling aman. Tapi di Indonesia kereta api bisa menakutkan.Kecelakaan demi kecelakaan KA yang terjadi di Indonesia pada kenyataannya kurang diiringi dengan pertanggungjawaban yang pantas, baik dari si pelaku maupun dari Pemerintah- dalam hal ini PT KAI dibawah Departemen Perhubungan- yang memiliki otoritas. Derita konsumen selaku korban sering dianggap sebagai suratan takdir Tuhan yang tidak perlu dipersoalkan. Padahal secara konteks perlindungan konsumen, hal tersebut harus mendapatkan perhatian yang lebih besar dari Pemerintah karena menyangkut kewajiban sebagai pemberi pelayanan jasa.Perhatian Pemerintah Indonesia terhadap perlindungan konsumen secara umum baru terlihat pada saat setelah reformasi terjadi. Lebih dari 54 tahun setelah bangsa Indonesia merdeka, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen lahir ( yang menurut sebagian pihak mengatakan akibat adanya desakan dari IMF ). Terlepas dari alasan tersebut, patut disayangkan lambannya respon Pemerintah di masa Orde Baru yang mengesampingkan akan perlunya perlindungan terhadap konsumen. Abdul Hakim Garuda Nusantara pun mengemukakan keheranannya mengapa persoalan perlindungan konsumen yang jelas menyangkut hajat hidup orang banyak kurang mendapatkan perhatian (Abdul Hakim Garuda Nusantara: 1988 ). Perubahan peta perpolitikan di Indonesia, tidak hanya terbatas kepada pergantian kepemimpinan nasional, namun lebih dari itu dengan lebih terakomodirnya hak-hak rakyat secara menyeluruh. Sekedar mengingatkan, di masa berlakunya GBHN beberapa tahun yang lalu dalam TAP MPR No. IV Tahun 1999 Tentang GBHN Bab IV hurup B angka 1 disebutkan : .Mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan dengan prinsip persaingan sehat dan memperhatikan pertumbuhan ekonomi, nilai-nilai keadilan, kepentingan sosial, kualitas hidup, pembangunan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan sehingga terjamin kesempatan yang sama dalam berusaha dan bekerja, perlindungan hak-hak konsumen, serta perlakuan yang adil bagi seluruh masyarakat.Dari sekian persoalan yang menyangkut perlindungan konsumen, ada beberapa hal yang senantiasa luput dari perhatian pembuat kebijakan, yakni tentang tanggung jawab yang harus dipikul akibat kelalaian atau kecerobohan. Secara teoritis ada beberapa jenis tanggung jawab, yakni tanggung jawab atas dasar kesalahan (based on fault / negligence), tanggung jawab atas dasar praduga ( presumption of liability ), tanggung jawab atas prinsip tanggung jawab mutlak ( strict / absolute liability ) . Dari ketiga jenis tanggung jawab tersebut maka yang paling berpihak kepada konsumen adalah jenis tanggung jawab ketiga, yakni tanggung jawab mutlak atau strict liability. Untuk memberlakukan prinsip strict liability tentunya diperlukan suatu perangkat peraturan perundang-undangan yang mendukung hal tersebut, apalagi jika menyangkut mengenai jasa pengangkutan seperti perkerataapian.Peraturan perundang-undangan mengenai KA telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 Tentang Perkeretaapian. Dalam hal pertanggungjawaban mengenai kecelakaan, undang-undang tersebut tidak mengatur secara khusus sehingga lebih cenderung untuk dialihkan kepada pasal 1365 KUH Perdata. Dengan pasal itu, konsumen, khususnya penumpang, harus membuktikan kelalaian atau kesalahan PT KAI untuk bisa mendapatkan ganti rugi dalam suatu kasus kecelakaan, keterlambatan perjalanan, dan lain-lain. Tentu sistem pembuktian kesalahan tersebut menyulitkan pihak konsumen yang rata-rata rakyat biasa. Sebab, bagi pemerintah pun pembuktian seperti itu tidaklah mudah.Lemahnya kedudukan konsumen KA telah membuat kurangnya perhatian dan tanggung jawab penyelenggara jasa angkutan tersebut sehingga pada akhirnya jasa perkeretaapian di Indonesia tidak pernah membaik dan yang paling dirugikan adalah konsumen KA yang harus selalu was-was akan terjadinya berbagai hal yang tidak diinginkan. Dari fenomena tersebut, mungkinkah kiranya dilakukan sebuah terobosan, baik secara kebijakan maupun implementasi di lapangan yang lebih memperhatikan kedudukan konsumen sebagai pihak yang memang wajib untuk dilindungi ?Strict Liability di PT KAIPelayanan umum ( public servis ) memang sarat dengan berbagai masalah, apalagi wilayah jangkauannya sendiri sangat luas meliputi sektor profit maupun non profit. Pembedaan pelayanan umum menjadi sektor profit dan non profit semata-mata didasarkan pada misi yang yang diemban instansi / institusi pelayanan umum tersebut. PT KAI merupakan salah satu pelayanan umum yang bersifat profit. Meskipun demikian, perusahaan negara seperti PT KAI sangat memberikan manfaat dan keuntungan bagi masyarakat banyak. Tujuannya lebih banyak diarahkan pada usaha memakmurkan rakyat (T.Mulya Lubis :1992 ).Konsep pertanggungjawaban di PT KAI yang selama ini memegang doktrin tanggung jawab atas kesalahan ( Based on fault / negligence ) telah mengakibatkan rendahnya rasa tanggung jawab para pihak yang terlibat, baik langsung maupun tidak langsung. Pertanggung jawaban dari sisi moril merupakan suatu hal yang sangat subjektif sifatnya, karena akan sangat tergantung dari masing-masing individu yang terlibat. Belum pernah terdengar bahwa pejabat setingkat menteri yang mengundurkan diri apabila terjadi kecelakaan yang menimbulkan banyak korban. Di sisi lain, pertanggungjawaban secara materil bagi para konsumen yang menjadi korban seharusnya mendapatkan porsi perhatian yang lebih besar, mengingat pertanggungjawaban inilah yang secara langsung dapat dinikmati oleh konsumen yang menjadi korban.Kesalahan yang selama ini dilemparkan pada masinis KA seharusnya saat ini sudah dapat dilakukan pengkajian ulang. Adalah sangat tidak adil jika setiap kecelakaan disebabkan karena kelalaian masinis. Dalam setiap kecelakaan kereta api, banyak faktor yang harus dikaji. Mulai dari masalah teknis, kelalaian manusia, kecilnya gaji masinis hingga buruknya manajemen kereta api. Dengan demikian kecelakaan kereta api seharusnya menjadi tanggungjawab manajemen PT Kereta Api Indonesia secara keseluruhan dan para pejabat tinggi lainnya yang membawahi. Namun selama ini sering dijadikan tumpuan, maka yang disalahkan hanyalah para pegawai rendahan seperti masinis, penjaga pintu kereta api, petugas sinyal dan lainnya. Jika demikian tentunya semboyan aman dan nyaman yang ditawarkan PT Kereta Api kepada masyarakat sebaiknya ditinjau kembali.Ada hal lain yang sebenarnya lebih merupakan inti persoalan dari setiap kecelakaan KA yang terjadi. PT KAI selama ini hanya melihat konsumen sebagai objek yang secara sadar memilih menggunakan angkutan umum KA. Dengan segala keterbatasan yang dimiliki oleh PT KAI persoalan keselamatan konsumen sebagai penumpang seringkali terabaikan. Keterbatasan yang ada pada prinsipnya disadari betul oleh setiap konsumen yang memilih KA, namun bukan berarti keselamatan mereka harus di nomor duakan atau bahkan diabaikan. Mekanisme perawatan dan pemeliharaan KA merupakan salah satu inti persoalan yang harus dicarikan solusinya, selain peningkatan pelayanan dan operasional. Ganti rugi yang selama ini diberikan kepada korban kecelakaan KA di Indonesia hanya berasal dari asuransi PT Jasa Raharja, sedangkan dari PT KAI sendiri sebagai pihak penyelenggara tidak memberikan ganti rugi apapun. Pada hal secara teoritis PT KAI harus mempertanggungjawabkan segala tindakan maupun akibat selama konsumen mempunyai hubungan. Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen pasal 19 disebutkan bahwa pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/ jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Selanjutnya ganti rugi tersebut dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/ atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/ atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bentuk ideal tersebut pada realitasnya tidak dapat dilaksanakan karena berbenturan dengan doktrin yang berlaku pada pertanggungjawaban PT KAI.Untuk lebih memperhatikan dan melindungi konsumen, mungkin sudah saatnya sekarang PT KAI merubah paradigma lama yang berkaitan dengan soal pertanggung jawaban. Dalam pasal 28 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 disebutkan bahwa(1) Badan penyelenggara bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pengguna jasa dan/atau pihak ketiga yang timbul dari penyelenggaraan pelayanan angkutan kereta api.(2) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diberikan dengan ketentuan:a. sumber kerugian berasal dari pelayanan angkutan dan harus dibuktikan adanya kelalaian petugas, atau pihak lain yang dipekerjakan oleh badan penyelenggara;b. besarnya ganti rugi dibatasi sejumlah maksimum asuransi yang ditutup oleh badan penyelenggara dalam hal penyelenggaraan kegiatannya.Selanjutnya dalam pasal 43 disebutkan pula:(1) Terhadap setiap kecelakaan kereta api harus dilakukan penelitian sebab-sebabnya.(2) Penelitian kecelakaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan oleh Panitia yang pembentukan, susunan dan tugas-tugasnya diatur lebih lanjut oleh Menteri.Dalam pasal-pasal tersebut dinyatakan dengan jelas adanya kewajiban pembuktian yang harus dilakukan oleh para konsumen. Hal ini dalam kenyataan sangatlah tidak mungkin mengingat keterbatasan kemampuan yang dimiliki oleh para konsumen.Meskipun terbilang sulit dalam hal pembuktian atas terjadinya kecelakaan KA, namun upaya-upaya ke arah itu telah sering dilakukan oleh para korban dengan mengajukan gugatan class action. Contoh kasus adalah yang dilakukan oleh para korban kecelakaan KA Empu Jaya dan KA Gaya Baru Malam yang terjadi pada 25 Desember 2001 sekitar pukul 04.33 WIB, di Stasiun KA Ketanggungan Barat, Desa Ciampel Ketanggungan Barat, Kecamatan Kersana, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Pengajuan gugatan class action terhadap pihak-pihak yang dianggap bertanggung jawab atas terjadinya kecelakaan yang menewaskan sekitar 31 meninggal dunia, lima orang masuk ICU, 44 orang menjalani rawat inap, 20 orang menjalani rawat jalan, dan ratusan konsumen yang selamat perjalanannya tapi terlambat 10 jam sampai kota tujuan. Para penggugat menganggap tergugat PT KAI telah melakukan perbuatan melawan hukum yang melanggar azas kepatutan dan kehati-hatian. PT KAI memberhentikan kereta api sekaligus dalam satu stasiun yang hanya terdiri dari tiga sepur. Berdasarakn manajemen lalu lintas (traffic management) perkereta-apian yang baik hal tersebut sangat berbahaya karena dapat menimbulkan kecelakaan berupa tabrakan antarkereta. Gugatan tersebut tidak hanya terbatas pada PT KAI tetapi juga disampaikan pada tergugat Menteri Perhubungan yang dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum in casu pasal 75 PP No. 69 Tahun 1998 tentang Prasarana dan Sarana Kereta Api, yang di dalamnya menyebutkan bahwa Menteri melakukan pembinaan terhadap penyediaan, perawatan dan pengusahaan prasarana dan sarana kereta api melalui kegiatan pengaturan, pengawasan dan pengendalian. Hal itu untuk meningkatkan peran serta angkutan kereta api dalam keseluruhan armada transportasi secara terpadu. Sedangkan tergugat III Menneg BUMN dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum in casu pasal 1 ayat (1) PP No. 50 Tahun 1998 tentang pengalihan kedudukan, tugas, dan kewenangan Menteri Keuangan selaku pemegang saham atau rapat umum pemegang saham (RUPS) pada perusahaan perseroan (Persero) kepada Menteri Negara Pemberdayaan BUMN. Dalam pasal 1 ayat (1) PP tersebut menyebutkan bahwa kedudukan tugas dan kewenangan Menteri Keuangan yang mewakili pemerintah selaku pemegang saham atau rapat umum pemegang saham (RUPS) pada perusahaan perseroan (Persero), dialihkan kepada Menteri Negara Pemberdayaan BUMN. Selain itu tergugat Menteri Keuangan dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum in casu pasal 5 ayat (1) PP No. 3 Tahun 1983 tentang tatacara pembinaan dan pengawasan Perusahaan Jawatan, perusahaan umum, dan perusahaan perseroan, disebutkan pembinaan kekayaan negara yang tertanam dalam Persero dilakukan oleh Menkeu yang berkedudukan sebagai RUPS, dalam hal seluruh modal Persero adalah modal negara, dan sebagai pemegang saham dalam hal tidak seluruh modal Persero adalah modal negara.Berbagai kesulitan pembuktian yang harus dilakukan oleh para konsumen, walaupun telah diwakilkan, terkadang mementahkan segala macam penderitaan yang telah dialami oleh para korban. Hilangnya jiwa atau cacat tubuh seolah tidak mampu untuk dijadikan alat bukti untuk mendukung gugatan mereka dalam upaya mendapatkan ganti rugi yang layak. Dalam kenyataannya, berbagai gugatan class action terhadap suatu kecelakaan yang ditujukan kepada suatu institusi pemerintah maupun swasta sulit sekali mencapai hasil yang maksimal yang salah satunya disebabkan oleh lemahnya pembuktian kesalahan.Di lain pihak kemampuan untuk melakukan pembuktian pun sebenarnya bukanlah tugas yang mudah bagi Pemerintah. Berbagai macam kebobrokan perilaku para pejabat di PT KAI serta lemahnya pengawasan membuat penyelidikan atas sebuah kecelakaan seringkali didasarkan atas kesalahan si masinis atau pegawai rendahan lainnya, seperti penjaga kereta dan lainnya. Kesimpulan seperti ini tidak saja membebaskan para pejabat yang membuat kebijakan, tetapi juga mengaburkan pihak mana yang secara substansial harus bertanggung jawab. Pertanggungjawaban masinis secara pidana akibat “kesalahan” yang dituduhkannya memang dapat dilakukan. Tetapi pertanggung jawaban terhadap konsumen selaku korban kecelakaan KA juga harus jelas. Meskipun terbilang sulit dalam hal pembuktian atas terjadinya kecelakaan KA,Salah satu usulan yang sangat maju telah diusulkan oleh Prof. Endang Saefullah, dimana beliau mengatakan bahwa untuk memperbaiki kinerja serta manejemen PT KAI maka doktrin atau prinsip pertanggung jawabannya adalah mutlak atau strict liability. Untuk merubah doktrin tersebut tentunya diperlukan perangkat-perangkat lain yang mendukung terlaksananya doktrin strict liability dalam pertanggung jawaban PT KAI. Secara teoritis doktrin strict liability hanya dapat dikenakan pada pelaku usaha apabila terdapat cacat pada barang yang diproduksi oleh pelaku usaha tersebut. Dengan demikian ada keterbatasan-keterbatasan yang mempersulit berlakunya doktrin strict liability untuk diberlakukan pada pertanggung jawaban PT KAI. Persoalan yang mencuat adalah tiadanya kemampuan dari pihak konsumen untuk membuktikan adanya kesalahan atau kelalaian sehingga mengakibatkan pihak konsumen tidak berhak untuk mendapatkan ganti rugi yang layak, selain asuransi keselamatan dari PT Jasa Raharja. Keadaan seperti ini akan terus berlangsung selama prinsip pertanggungjawaban di PT KAI masih seperti sekarang, karena tidak adanya “alat” penekan yang membuat PT KAI menjadi lebih profesional dalam menyelenggarakan jasa angkutan darat tersebut. Di lain pihak kita juga melihat adanya perbedaan posisi yang sangat signifikan antara konsumen sebagai penumpang dibandingkan dengan posisi PT KAI sebagai penyelenggara jasa angkutan. Tidak adanya kesetaraan antara dua pihak tersebut sering menjadikan pihak konsumen tidak mempunyai pilihan lain, kecuali menggunakan alat angkutan KA yang memang relatif lebih murah. PT KAI sebagai pihak yang menyelenggarakan angkutan umum tersebut tentu saja dapat dikategorikan sebagai produsen. Dalam prinsip strict liability disebutkan bahwa pertanggungjawaban dapat bersifat mutlak apabila kerugian konsumen diakibatkan karena cacatnya suatu produk. Pertanyaan akan muncul bagaimanakah jika dikaitkan dengan pelayanan jasa ? Tentunya prinsip strict liability juga dapat diterapkan. “Keberpihakan” strict liability terhadap produk barang dan bukannya jasa secara umum dapat dipahami, karena secara luas produk baranglah yang lebih banyak atau sering menimbulkan persoalan. Namun demikian bukan berarti sama sekali tertutup kemungkinan diberlakukannya doktrin strict liability dalam hal jasa angkutan. Di Amerika Serikat dan Eropa pertanggungjawaban perusahaan kereta api telah menggunakan doktrin strict liability. ( Suara Merdeka:2001). Pelaksanaan doktrin tersebut sebenarnya lebih melihat kepada perusahaan KA sebagai pihak yang mengeluarkan sarana angkutan umum tersebut dan sudah menjadi kewajibannya pula untuk menanggung resiko yang mungkin muncul. Selain itu pula adanya sebuah asas umum yang berlaku bahwa angkutan yang dijadikan untuk melayani konsumen sudah melewati pemeriksaan yang menjamin bahwa sarana angkutan tersebut aman untuk dipergunakan sehingga apabila terjadi suatu hal, misalnya kecelakaan, maka menjadi kewajibannya untuk memberikan tanggungan atau ganti rugi. Disamping itu juga penerapan strict liability untuk layanan angkutan KA dapat didasarkan kepada analogi pemahaman Social Climate Theory, yaitu suatu pemahaman bahwa PT KAI adalah pihak yang berada dalam posisi keuangan lebih baik untuk menanggung beban kerugian, dan pada setiap kasus yang mengharuskan melakukan ganti rugi, pihak tersebut akan meneruskan kerugian tersebut dan membagi resiko kepada banyak pihak dengan cara menutup asuransi yang preminya dimasukan ke dalam perhitungan harga tiket. Hal ini dikenal dengan deep pocket theory. (D.L. Dann, Strict Liability in the USA, The Royal Aeronautical Society, London, 1972). Pelaksanaan doktrin strict liability sebenarnya memudahkan bagi kedua belah pihak , baik PT KAI maupun konsumen ( korban ), untuk mendapatkan ganti rugi. Tanpa harus memproses pembuktian kesalahan pihak penyelenggara jasa angkutan, ganti rugi dapat diterima oleh konsumen ketika angkutan yang dipakainya terlambat atau kecelakaan. Dengan mengambil contoh di negara-negara maju tersebut tentunya perlindungan terhadap konsumen pengguna pelayanan jasa angkutan kereta api menjadi lebih baik.Ada beberapa hal yang dapat dijadikan pertimbangan untuk memungkinkan dilaksanakannya doktrin strict liability pada PT KAI, antara lain adalah adanya kewajiban bagi para pelaku usaha, termasuk PT KAI, untuk bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan, sebagaimana dicantumkan dalam pasal 19 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Ketentuan ini sebenarnya dapat diinterpretasikan secara luas, termasuk kewajiban PT KAI sebagai penyelenggara angkutan kereta api di Indonesia untuk bertanggung jawab kepada para penumpang atau konsumen jika terjadi keterlambatan atau kecelakaan kereta api. Dengan begitu strict liability sebagai salah satu prinsip pertanggung jawaban dapat dilaksanakan. Adapun teknis pelaksanaannya dapat dengan cara mengalihkan resiko pertanggungjawaban kepada perusahaan reasuransi. Pola ini tentu saja memerlukan biaya. Oleh karena itu PT KAI harus dapat menyisihkan pemasukan yang berasal dari tiket yang dibeli oleh para konsumen untuk membayar premi reasuransi tersebut. Untuk itu, penanganan penumpang KA harus ditangani secara serius dan profesional. Bahkan kalau memang perlu harus diadakan audit keuangan secara berkala untuk memenuhi kewajiban membayar premi asuransi. Pola seperti inilah yang telah berlaku di Amerika dan Eropa dalam upaya memberikan perlindungan semaksimal mungkin bagi para konsumen. Tidak adanya penumpang “gelap” menjadikan seluruh penumpang memiliki tiket yang pada akhirnya dapat dijadikan sebagai bukti untuk mendapatkan ganti rugi.Untuk mendukung terlaksananya pola tersebut, maka langkah awal yang harus dilaksanakan adalah melakukan revisi atas peraturan mengenai perkeretaapian yakni Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 , khususnya tentang kewajiban untuk pembuktian kesalahan serta kebijakan mengenai ganti rugi bagi konsumen atau korban. Dasar hukum yang selama ini bersandar pada pasal 1365 KUH Perdata untuk mengajukan tuntutan ganti rugi harus sudah direvisi karena hanya kan menyulitkan penumpang dalam mengajukan tuntutan ganti rugi tersebut. Kemudian tindakan selanjutnya adalah memperbaiki sistem manejemen, operasional maupun pemeliharaan kereta api secara berkala sehingga perusahaan reasuransi merasa yakin akan hal tersebut. Usulan dilaksanakannya pemilihan direksi PT KAI melalui fit and proper test merupakan langkah maju dan positif dalam membenahi kinerja PT KAI. Selama ini terkesan KA merupakan alat angkutan massal yang pemeliharaannya sangat minim bahkan tidak terurus. Keterbatasan anggaran yang disediakan Pemerintah telah menjadikan KA sebagai angkutan yang di nomor duakan. Seharusnya, untuk menambah keyakinan perusahaan reasuransi, maka sistem pengamanan kereta api harus dibuat secara berlapis sehingga tidak hanya tergantung kepada seorang masinis.Pengajuan wacana di atas hendaknya lebih mengedepankan aspek perlindungan terhadap para korban kecelakaan KA yang kerap kali terjadi dibanding dengan pengertian strict liability secara kaku. Pengistilahan strict liability dapat dimaksudkan untuk menjelaskan kedudukan para pihak, yakni PT KAI dan penumpang sebagai konsumen, di dalam hubungan hukum yang mereka lakukan. Pertanggungjawaban akibat dari suatu kecelakaan adalah hal terpenting dalam suatu hubungan hukum. Hak untuk mendapatkan ganti rugi yang layak senantiasa menjadi inti persoalanPerhatian Pemerintah terhadap angkutan massal ini juga harus ditingkatkan. “Terabaikannya" KA menurut Djoko Setijowarno, seorang ahli perkeretaapian, bukan saja disebabkan oleh tiadanya kemauan pemerintah mengembangkan transportasi massal ini. Tetapi, dunia pendidikan pun seolah tidak melihatnya sebagai angkutan masa depan yang menguntungkan. Hal ini dapat dilihat dalam pendidikan transportasi pada jurusan teknik sipil yang 30 tahun terakhir menjadikan mata kuliah jalan raya, bukan kereta api sebagai pilihan utama. Selain itu pula Pemerintah kurang memanfaatkan jaringan KA untuk menghadapi persoalan transportasi. Apalagi melihat upaya mengatasi persoalan perhubungan darat selama ini lebih dilakukan dengan memperbanyak jaringan jalan raya yang dapat dipastikan semakin menghabiskan lahan pertanian. Pada akhirnya, pembangunan jalan raya itu dilihat sebagai suatu proses pemiskinan masyarakat yang bisa menimbulkan konflik sosial. Harapan adanya "Revolusi Mental" sebagai kiat privatisasi KA yang bakal menjadi kunci meningkatkan peran KA dalam sistem transportasi Indonesia. Sebagai salah satu contoh adalah Jepang yang sukses membangkitkan kembali per-KA-an mereka setelah pernah terpuruk seperti yang dialami PT KAI.(Kompas, 29 Mei 2002). Revolusi mental PT KAI harus dilaksanakan secara menyeluruh baik dari pejabat tinggi sampai pejabat rendahan di lingkungan PT KAI sehingga tidak hanya sebatas slogan belaka.PenutupSaat ini pengoperasian KA di Indonesia banyak hal yang harus menjadi perhatian Pemerintah di dalam upaya memperbaiki kinerja PT KAI maupun peningkatan perlindungan terhadap penumpang selaku konsumen yang memang wajib untuk mendapatkan perlindungan. Lemahnya pengawasan serta pemeliharaan angkutan massal tersebut tidak jarang justru mengakibatkan terjadinya kecelakaan yang memakan banyak korban.Wacana perubahan prinsip pertanggungjawaban dalam perkeretaapian di Indonesia merupakan suatu bentuk nyata keberpihakan terhadap penumpang KA yang selama ini selalu berada pada posisi yang tidak menguntungkan. Oleh karena itu menjadi tugas dan kewajiban Pemerintah untuk memikirkan dilaksanakannya doktrin strict liability. Perubahan prinsip pertanggungjawaban di dalam transportasi KA bukanlah sesuatu yang baru atau mengada-ada, karena di belahan dunia lain, yakni Amerika dan Eropa, doktrin strict liability telah dilaksanakan.
Daftar Pustaka
Dann, D.L, Strict Liability in the USA, The Royal Aeronautical Society, London, 1972.
Gamma, Tak Ada Jaminan Aman, Nomor 44-3, 6 Januari 2002
Ketetapan MPR-RI Nomor IV Tahun 1999 Tentang GBHN.
Lubis, T.Mulya, Hukum dan Ekonomi, Jakarta : Sinar Harapan, 1992.
Nusantara, Abdul Hakim Garuda, Politik Hukum Indonesia, Jakarta : YLBHI, 1988
Setijowarno, Djoko, Perlu Revolusi Mental PT KAI, Harian Kompas 29 Mei 2002.
Suara Merdeka, Direksi PT KAI Harus Lulus Tes, 30 Desember 2001.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 Tentang Perkeretaapian, lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 47.

Tidak ada komentar: